Tegaskan Kebijakan Garis Keras, China-AS Saling Ancam di Singapura
China dan Amerika Serikat sama-sama menegaskan garis keras kebijakannya masing-masing soal Taiwan. Dalam kompetisi dua adidaya itu, isu Taiwan menjadi salah satu titik panas yang berkali-kali memicu ketegangan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
SINGAPURA, MINGGU - Menteri Pertahanan China Li Shangfu dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin menegaskan posisi pemerintahannya masing-masing terkait Taiwan. Keduanya secara eksplisit menyampaikan kebijakan garis keras masing-masing pemerintahan.
Hal ini disampaikan pada pidato terpisah dalam Dialog Pertahanan Shangri-La ke-20 di Singapura, 3-4 Juni 2023. Li menyampaikan pidato pada hari terakhir, Minggu (4/6/2023). Sementara Austin menyampaikan pidato sehari sebelumnya.
”Saat ini, apa yang Asia-Pasifik butuhkan adalah kerja sama terbuka dan inklusif yang besar, bukan kelompok kecil yang mementingkan diri sendiri dan eksklusif,” kata Li yang juga Jenderal Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) itu.
Mengutip CGTN, Li menyatakan, China siap bekerja sama dengan semua pihak untuk membangun sistem keamanan dan membangun kepercayaan yang lebih kuat. China juga siap bekerja sama dengan semua pihak untuk mempromosikan aturan keamanan yang lebih adil, meningkatkan mekanisme keamanan multilateral, serta melakukan kerja sama pertahanan dan keamanan yang lebih efektif.
Jika ada yang berani memisahkan Taiwan dari China, militer China tidak akan ragu sedetik pun. Kami tidak akan takut pada lawan mana pun serta tegas menjaga kedaulatan nasional dan integritas teritorial, apa pun ongkosnya.
”China tetap berkomitmen pada jalur pembangunan damai. Namun, kami tidak akan pernah ragu untuk membela hak dan kepentingan kami yang sah, apalagi mengorbankan kepentingan inti bangsa,” kata Li.
Soal Taiwan, Li menyatakan, belakangan semakin merajalela kegiatan separatis untuk ”kemerdekaan Taiwan”. Jika ada yang berani memisahkan Taiwan dari China, militer China tidak akan ragu sedetik pun. Kami tidak akan takut pada lawan mana pun serta tegas menjaga kedaulatan nasional dan integritas teritorial, apa pun ongkosnya,” katanya.
Li juga mengkritik perilaku AS yang tebang pilih dalam menerapkan peraturan internasional. Ia juga menyatakan bahwa pandangan AS mengenai Indo-Pasifik yang bebas dan merdeka itu tidak lebih daripada kedok hegemoni Washington.
Sehari sebelumnya, Austin menyatakan, AS berkomitmen penuh mempertahankan status quo di Selat Taiwan. Hal ini dilakukan secara konsisten dengan kebijakan Satu China dan dengan memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan di bawah Undang-Undang Hubungan Taiwan.
”Kebijakan kami konstan dan tegas. Itu telah berlaku di seluruh administrasi pemerintahan AS. Dan kami akan terus menentang secara tegas perubahan sepihak terhadap status quo dari kedua sisi,” katanya.
Namun, jangan salah, konflik di Taiwan akan sangat menghancurkan. Jadi, kami bertekad menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.
Austin juga menyatakan, konflik bukanlah sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat ataupun tak terelakkan. Pencegahan ke arah konflik sangat kuat hari-hari ini. AS berkomitmen terus melanjutkannya.
Seluruh dunia, Austin melanjutkan, memiliki andil dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Keamanan jalur pelayaran komersial dan rantai pasokan global bergantung pada selat itu. Begitu juga dengan kebebasan navigasi di seluruh dunia.
”Namun, jangan salah, konflik di Taiwan akan sangat menghancurkan. Jadi, kami bertekad menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Demikian pula sejumlah negara lain. Dan jumlahnya terus bertambah.
Sementara itu, di hari saat Austin berpidato, Angkatan Laut (AL) AS dan AL Kanada bersitegang dengan AL China di Selat Taiwan. Ketika itu, kapal perusak AL AS dan fregat AL Kanada berlayar di Selat Taiwan. Kapal-kapal itu kemudian dicegat oleh kapal PLA.
Menurut laporan Komando Indo-Pasifik AS, kapal PLA melakukan manuver yang jaraknya hanya 140 meter dari kapal perusak AS. "Ini tindakan yang membahayakan semua pihak karena jika silap sedikit, terjadi tabrakan," demikian bunyi keterangan Komando Indo-Pasifik AS.
Li mempertahankan argumen bahwa Selat Taiwan merupakan wilayah milik China. Berbeda dengan pendapat AS bahwa Selat Taiwan adalah perairan internasional. Li mengatakan agar AS berlayar di wilayah mereka sendiri.
Kawan datang kami sambut dengan minuman anggur yang enak. Tapi, jika yang datang adalah serigala dan ajag, kami sambut dengan senapan.
"Mengutip lagu populer di China, kawan datang kami sambut dengan minuman anggur yang enak. Tapi, jika yang datang adalah serigala dan ajag, kami sambut dengan senapan," ujar Li.
Ia menuturkan bahwa China konsisten menerapkan hubungan luar negeri berlandaskan multilateralisme. Dalam hal ini, semua pihak yang terlibat di dalam hubungan itu berkomitmen untuk saling menguntungkan dan menerapkan pembangunan yang bernasis perdamaian.
"China tidak mau berkonflik dengan AS karena akan membawa bencana besar bagi kita semua," ujarnya. Ucapan Li ini senada dengan pidato Austin bahwa jika terjadi konflik di Selat Taiwan, seluruh dunia yang akan menderita.
Li juga menekankan kembali Insiatif Keamanan Global yang dibuat oleh China. Intinya, segala hal diselesaikan dengan perundingan damai, bukan dengan unjuk kekuatan militer. Ini menyindir Austin yang sebelumnya mengatakan bahwa AS hendak melakukan latihan militer bersama negara-negara di Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Samudera Hindia guna mencegah terjadinya konflik dan memperkuat pertahanan.
Li dan Austin tidak menggelar dialog di sela-sela Dialog Pertahanan Sangri-La di Singapura. Hal ini disayangkan oleh berbagai pihak karena ketegangan hubungan kedua negara berpengaruh kepada dinamika politik global. Mereka hanya bertemu dan berjabat tangan.
"Ini tentu tidak bisa menggantikan dialog yang substantif," tutur Austin. Ia menyayangkan bahwa sejak 2021, Kementerian Pertahanan China selalu menolak ajakan Departemen Pertahanan AS untuk melakukan dialog antarpejabat.
Hilangnya kesempatan dialog itu disesalkan oleh Singapura selaku tuan rumah. Menteri Pertahanan Singapura Ng Eng Hen mengatakan bahwa justru 600.perwakilan negara maupun lembaga yang ada di Dialog Shangri-La menunggu terobosan dalam ketegangan hubungan AS-China.
"Mereka berdua ini seperti pebalap yang mengebut di lintasan yang sama, tetapi keduanya memakai penutup mata. Jika ketegangan ini tidak diturunkan, berisiko sekali bagi dunia," tutur Ng yang dikutip oleh Bloomberg.
Hal serupa turut diutarakan oleh Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta. Penerima Anugerah Nobel Perdamaian 1996 ini mengatakan, jika tidak bisa berdialog mengenai Selat Taiwan, paling kurang AS-China bisa membahas persoalan ketegangan di Semenanjung Korea. "Sebagai dua negara adidaya, tentu AS dan China memiliki banyak kesamaan di dalam tujuan menggapai perdamaian dunia," ujarnya. (AP/REUTERS)