Keramahan khas Asia begitu terasa ketika sejumlah wartawan dari beberapa negara berkunjung ke China. Mereka disambut senyum tulus dan sapaan hangat.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA dari SHANDONG, CHINA
·4 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Anak-anak dalam bus sekolah tersenyum dan melambaikan tangan kepada rombongan wartawan Asia Pasifik yang merupakan peserta program pelatihan dari China International Press Communication Center Program (CIPCC) 2023 ketika berpapasan di sebuah persimpangan di Kota Weifang, Shandong, China, Rabu (24/5/2023), pagi
Pada masanya, China mendapat julukan sebagai Negara Tirai Bambu. Sematan bahwa negara ini adalah negara tertutup tinggallah gimik belaka sekarang. Wajah-wajah China justru tersenyum hangat menyambut orang asing yang datang berkunjung.
Ada sebuah ungkapan tua di China. Sungguh menyenangkan memiliki teman yang datang dari jauh, begitu kira-kira bunyinya.
Ungkapan itu betul terasa bagi rombongan wartawan Asia Pasifik yang sedang mengikuti program pelatihan dari China International Press Communication Center Program (CIPCC) 2023 di Beijing. Sebanyak 16 wartawan berkunjung ke lima kota di Provinsi Shaanxi dan Shandong selama 14-26 Mei 2023.
Pengalaman berkesan terasa ketika para wartawan meliput Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) China-Asia Tengah di Xi’an, Shaanxi, selama 18-19 Mei 2023. Sejumlah bus membawa jurnalis dari dalam dan luar negeri pulang setelah meliput acara jamuan penyambutan lima kepala negara Asia Tengah oleh Presiden Xi Jinping, Kamis (18/5).
Pemandangan itu menggelitik minat warga Xi’an. Ketika bus melintasi jalan, wajah-wajah pengemudi tampak terpana melihat orang asing dalam bus di setiap perempatan lampu merah. Seorang pengemudi pria ragu-ragu mengangkat tangan ke arah bus, tetapi satu jurnalis yang melihat balas melambai. Sontak sang pengemudi melompat kegirangan di kursinya.
“Secara umum, orang China terbuka dengan orang asing. Kami dengan hangat menyambut semakin banyak orang asing yang datang ke China dan belajar lebih banyak tentang China,” ujar Cao Maomao (23), warga Shaanxi, Rabu (24/5).
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Sekelompok anak-anak melambaikan tangan dan tersenyum untuk menyapa rombongan wartawan Asia Pasifik yang merupakan peserta program pelatihan dari China International Press Communication Center Program (CIPCC) 2023 ketika berpapasan di Gunung Ni, tempat Patung Confucius tertinggi di dunia berada, Kota Qufu, Shandong, China, Jumat (26/5/2023)
Cao adalah contoh nyata warga China yang terbuka. Ia mengambil kuliah yang berkaitan dengan bahasa Inggris untuk pendidikan sarjana dan pascasarjana. Ia percaya bahasa ini adalah jembatan penghubung dengan dunia luar. “Belajar bahasa Inggris membuat saya lebih inklusif dan terbuka serta memberi perspektif baru untuk melihat dunia,” ujarnya.
Keterbukaan itu bahkan telah terasa di kota yang lebih kecil. Di Yan'An, Shaanxi, warga setempat tak kalah antusias. Malahan rombongan wartawan dari Afrika yang turut serta dalam kunjungan menjadi pusat perhatian ketika berkunjung ke sebuah pusat kebudayaan dan kuliner, Senin (15/5), malam.
Tim Ansai Waist Drum yang sedang berlatih mengajak mereka menari dan bernyanyi bersama. Setelah itu, anak kecil, remaja, hingga dewasa yang ada mengantri demi berfoto bersama. Tangan mereka juga sibuk memegang ponsel pintar demi merekam momen interaksi hangat itu. Har itu lalu ditutup dengan jamuan makan malam yang santai.
“Ini kali pertama saya merasakan koneksi kuat dengan penduduk setempat. Kami makan, tertawa, dan minum seperti di rumah sendiri. Sambutan masyarakat setempat terhadap orang asing sangat menyentuh dan itulah mengapa Yan'an menjadi salah satu tempat favorit saya di China,” kata Talibeh Hydara (31), wartawan dari Republik Gambia.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Dua staf melambaikan tangan seiring kepergian rombongan wartawan Asia Pasifik dan Afrika yang merupakan peserta program pelatihan dari China International Press Communication Center Program (CIPCC) 2023 dari salah satu titik tertinggi di Kota Yan'an, Shaanxi, China, Minggu (14/5/2023).
Letak geografis
Perjalanan rombongan wartawan Asia Pasifik berlanjut ke Shandong. Setelah mampir Qingdao, bus melaju ke Weifang, Rabu (24/5), pagi. Kebetulan bus berhenti di sebuah perempatan berdampingan dengan sebuah bus sekolah kuning yang membawa puluhan anak usia sekolah dasar.
Pagi yang tenang itu mendadak gaduh. Anak-anak dengan energik melambai tangan dan berseru kepada wartawan yang sedang terkantuk-kantuk. Terjadilah adu melambai di jalanan Weifang. Senyum merekah di wajah semua orang.
Letak geografis adalah salah satu faktor yang memengaruhi seberapa sering warga China berinteraksi dengan orang asing. Lebih mudah bertemu orang asing di kota metropolitan, seperti Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan Shenzhen.
Orang asing juga bisa dijumpai di kota perbatasan negara, kota pesisir, atau kota yang merupakan Zona Perdagangan Bebas. Sebutlah kota seperti Shandong, Yunnan, Hainan, Hunan, Fujian, Shaanxi, dan Jiangsu. Bagi orang-orang yang berada di kawasan yang lebih pedalaman, bisa jadi mereka lebih jarang bertemu orang asing.
Namun, ada juga kota pedalaman yang ramai dikunjungi wisatawan dan investor asing karena terkenal dengan pariwisata. “Jadi keterbukaan kota-kota China juga tergantung pada posisi geografis dan perkembangan ekonomi. Jika itu adalah kota pedalaman yang tak berkembang maka mungkin akan lebih sedikit orang asing di kota itu,” tutur Li Xinhui (23), warga Jiangsu.
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Dua warga senior melihat ke arah rombongan wartawan Asia Pasifik yang merupakan peserta program pelatihan dari China International Press Communication Center Program (CIPCC) 2023 ketika berpapasan di Kota Weifang, Shandong, China, Rabu (24/5/2023), pagi
Meskipun berasal dari Zona Perdagangan Bebas, Li lahir di kota Yangzhou yang lebih kecil. Alhasil, gadis ini lebih jarang bertemu orang asing saat masih kecil. Setelah bekerja di Beijing, melihat orang asing sudah menjadi pemandangan biasa baginya. Apalagi kantor tempatnya bekerja dekat dengan kantor kedutaan berbagai negara dan organisasi internasional.
Li melanjutkan, faktor lain yang menentukan keramahan warga China dengan orang asing adalah kemajuan teknologi. Anak muda China tentulah lebih familiar melihat orang asing dengan ras, etnis, warna kulit, dan karakter yang berbeda daripada orang tua. Semua ini berkat kecanggihan internet dan teknologi.
Karena itu, janganlah kaget ketika melihat ada juga warga China yang bisa menatap orang asing tanpa berkedip dan keheranan. Beberapa bahkan merekam dengan ponsel pintar secara sembunyi-sembunyi.
“Sikap generasi yang lebih tua itu mungkin lebih pada rasa penasaran dan takjub karena bisa melihat orang asing langsung, bukan takut. Pada dasarnya, China percaya bahwa dunia adalah satu komunitas dengan masa depan bersama sehingga kita saling terhubung. Sikap kami terhadap orang asing berdasarkan prinsip kesetaraan, komunikasi dan rasa hormat,” kata Li.
Keramahan Asia adalah selalu tersenyum, hangat, sopan, dan menjamu tamu dengan hangat. China berhasil menunjukkan kekhasan itu.