Posisi petahana, Recep Tayyip Erdogan lebih diunggulkan dari pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu. Untuk pilpres putaran kedua, kampanye Erdogan dan Kilicdaroglu cenderung bernuansa ultranasionalis.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
ANKARA, MINGGU - Masyarakat Turki memberi hak suara mereka untuk mencoblos calon presiden mereka periode 2023-2028. Setelah polarisasi yang menganga, kampanye antara Presiden Petahanan Recep Tayyip Erdogan (69) dan lawannya Kemal Kilicdaroglu (74) di putaran kedua ini sama-sama bernuansa ultranasionalis dan anti terhadap kaum pengungsi.
Pemilihan umum presiden putaran kedua ini dilangsungkan pada hari Minggu (28/5/2023) mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00 waktu setempat atau 21.00 WIB. Setelah itu, pemenangnya akan menjadi kepala negara Turki untuk lima tahun ke depan.
"Perkiraannya, Erdogan yang akan menang dengan peluang sampai dengan 87 persen," kata Hamish Kinnear, peneliti isu Timur Tengah dan Afrika Utara untuk firma aktuaria Verisk Maplecroft kepada CNBC.
Erdogan sejak awal dikenal sebagai sosok yang nasionalis dan konservatif. Ia menjabat sebagai perdana menteri sejak tahun 2003 dan terpilih menjadi presiden pada 2014. Di tahun 2016, ia selamat dari upaya makar oleh militer. Tentara menyerang gedung DPR dan 250 orang tewas dalam peristiwa itu.
Sebanyak 77.000 orang termasuk banyak wartawan dipersekusi atas tuduhan berkomplot melawan presiden. Dunia mengkritik era itu sebagai pengkriminalan wartawan terbesar. Sejak saat itu, Erdogan bersikap otoriter dan memberangus kebebasan pers. Ia juga tidak segan membui lawan politiknya.
Dari segi ekonomi, Erdogan mengeluarkan kebijakan menurunkan suku bunga. Akibatnya, Turki mengalami inflasi 43 persen yang membuat harga kebutuhan pokok meroket. Bahkan, lira Turki devaluasi 80 persen dibandingkan dengan dollar Amerika Serikat.
Pada Februari lalu, pemerintahan Erdogan juga mengalami tantangan akibat gempa yang menewaskan 50.000 orang. Penyebab jumlah korban ini ialah gedung-gedung yang dibangun sembarangan karena pemerintah gegabah menerbitkan izin tanpa ada pemantauan penerapan standar. Erdogan mengakui kesalahan itu.
"Kita melihat hal-hal yang berimbas langsung kepada rakyat ini ternyata tidak berpengaruh terhadap kepopuleran Erdogan. Pemilu Turki justru kental dengan nuansa politik dalam negeri dan nasionalisme sayap kanan radikal," papar Kinnear.
Pada 14 Mei, Turki mengadakan pilpres. Akan tetapi, tidak satu pun calon yang bisa meraih 50 persen suara. Erdogan memperoleh 49,5 persen, Kilicdarogru mendapat 44,9 persen, dan capres ultranasionalis Sinan Ogan hanya 5,2 persen. Ogan kemudian menyatakan dukungan terhadap Erdogan.
Tajuk rencana media MENAFN menulis bahwa ini pertama kalinya dua kandidat sama-sama ultranasionalis. Kilicdaroglu yang awalnya mengkritik sikap otoriter Erdogan berkoalisi dengan Partai Kemenangan (VP) yang juga ultranasionalis. Bahkan, di dalam pidatonya, Kilicdaroglu berjanji mendeportasi tiga juta pengungsi dari Suriah. Sentimen ini disambut baik oleh masyarakat.
Erdogan dan Kilicdaroglu kini memperebutkan suara delapan juta orang dengan hak pilih yang sebelumnya tidak menggunakannya di pilpres putaran pertama. Selama dua pekan menuju putaran kedua, Erdogan dan Kilicdaroglu dikritik oleh media karena tidak mengutarakan hal-hal substantif. Total masyarakat dengan hak pilih di Turki adalah 64 juta dari 85 juta jiwa.
Erdogan menghina Kilicdaroglu sebagai teroris karena berkoalisi dengan partai Kurdi. Adapun Kilicdaroglu menghina gaya hidup mewah Erdogan. "Masyarakat tampaknya tetap condong kepada Erdogan, mengingat ia sudah lebih dikenal dan kebijakannya lebih bisa ditebak," tulis MENAFN.
Sejumlah hal yang diangkat Erdogan ialah keberhasilannya membuka jalur gandum Laut Hitam untuk ekspor gandum dari Ukraina. Kedekatannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin memungkinkan Erdogan menegosiasi pembukaan blokade Laut Hitam. (AP/Reuters)