Erdogan Sementara Ungguli Oposisi
Keputusan akhir dari pemilu ini –siapa pun pemenangnya- bisa berimplikasi jauh di luar Ankara karena posisi Turki berada di persimpangan antara Eropa dan Asia serta memainkan peran penting di NATO.

Presiden Turki dan calon presiden dari Partai AK, Recep Tayyip Erdogan, (kanan), bersama istrinya Emine Erdogan (kiri), memberikan suaranya pada hari pemilihan presiden putaran kedua di sebuah sekolah di Istanbul, Minggu (28/5/2023).
Ankara, Minggu - Hasil penghitungan suara awal pemilihan presiden Turki putaran kedua menempatkan kandidat petahana, Presiden Recep Tayyip Erdogan, sementara unggul atas rivalnya, pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu.
Dua kantor berita Turki, Anadolu dan Anka, merilis hasil berbeda. Menurut Anadolu, dari 50 persen suara yang masuk, Erdogan unggul dengan perolehan 57,09 persen dibandingkan Kilicdaroglu yang memperoleh 43,64 persen. Sementara Anka melaporkan, Kilicdaroglu memimpin dengan 50,87 persen suara atas Erdogan yang mendapat 49,13 persen.
Para pemilih Turki kembali memberikan suaranya pada putaran kedua pemilihan presiden Turki untuk menentukan apakah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akan kembali memimpin untuk ketiga kalinya. Erdogan yang sudah memimpin Turki selama 20 tahun ini diunggulkan untuk memenangi masa jabatan lima tahun ketiga setelah gagal meraih lebih dari 50 persen suara di putaran pertama, 14 Mei lalu. Erdogan dan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan, menghadapi tantangan dari kandidat aliansi enam partai dan pemimpin partai oposisi utama kiri-tengah Turki, Kemal Kilicdaroglu, yang menjanjikan pemulihan masyarakat yang lebih demokratis.
Baca juga : Hari yang Menentukan Masa Depan Turki
Para pemilih berdatangan ke tempat pemungutan suara, Minggu (28/5/2023) pagi waktu setempat. Sekitar 64 juta orang berhak untuk memberikan suara dan pada putaran pertama tercatat 87 persen pemilih memberikan suaranya. Hasil awal dari penghitungan suara kemungkinan akan keluar beberapa jam setelah pemungutan suara ditutup pada pukul 17.00 waktu setempat atau pukul 21.00 WIB. Keputusan akhir dari pemilu ini –siapa pun pemenangnya- bisa berimplikasi jauh di luar Ankara karena posisi Turki berada di persimpangan antara Eropa dan Asia serta memainkan peran penting di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Erdogan (69) mengubah negaranya dari semula berwawasan ke dalam menjadi pemain geopolitik dengan pijakan di “daerah panas” seperti Suriah dan Libya. “Ini pemilihan presiden dua putaran yang pertama dalam sejarah Turki. Saya berdoa kepada Tuhan, semoga pemilu ini bermanfaat bagi bangsa dan negara kita,” kata Erdogan kepada wartawan setelah memberikan suaranya di sebuah sekolah di ibu kota Istanbul.

Seorang pemilih memberikan suaranya saat pemilihan putaran kedua presiden di Diyarbakir, Minggu (28/5/2023).
Adapun Kilicdaroglu (74) menggambarkan putaran kedua pemilu ini sebagai referendum atas masa depan Turki. Dia menilai pemilu ini berlangsung dalam keadaan yang sangat sulit, diperparah dengan berbagai macam fitnah dan pencemaran nama baik yang beredar. “Tetapi saya percaya pada akal sehat masyarakat. Demokrasi dan kebebasan akan datang. Orang akan bisa turun di jalanan dan bebas mengkritik politisi,” kata Kilicdaroglu yang memberikan suaranya pada waktu yang bersamaan di lokasi terpisah dengan Erdogan.
Baca juga : Turki Pertahankan Sekularisme Warisan Ataturk
Jika Erdogan menang, ia akan berkuasa hingga 2028. Dengan tiga kali menjabat sebagai perdana menteri dan dua kali sebagai presiden, Erdogan menjadi pemimpin yang paling lama berkuasa di Turki. Paruh pertama masa jabatan Erdogan mencakup reformasi yang memungkinkan Turki memulai pembicaraan untuk bergabung dengan Uni Eropa dan pertumbuhan ekonomi yang mengangkat banyak orang dari kemiskinan.
Namun, Erdogan kemudian menekan kebebasan dan media serta memusatkan lebih banyak kekuasaan di tangannya. Itu dilakukan terutama setelah upaya kudeta gagal yang menurut Turki didalangi oleh Fethullah Gulen yang berbasis di Amerika Serikat. Erdogan mengubah peran kepresidenan dari semula mayoritas hanya seremonial menjadi jabatan yang kuat melalui referendum 2017. Menang tipis, ia menghapus sistem pemerintahan parlementer Turki. Erdogan adalah presiden pertama yang dipilih secara langsung pada 2014 dan menang pemilu lagi pada 2018.
Namun, pada tahun ini Erdogan tidak langsung menang. Para kritikus menyalahkan kebijakan ekonomi Erdogan yang tidak konvensional karena meroketnya inflasi yang memicu krisis biaya hidup. Banyak juga yang menyalahkan pemerintahnya karena lambat merespons dampak gempa yang menewaskan sedikitnya 50.000 orang di Turki. Erdogan mempertahankan dukungan dari para pemilih konservatif yang tetap setia kepadanya untuk mengangkat profil Islam di Turki yang didirikan berdasarkan prinsip-prinsip sekuler dan untuk meningkatkan pengaruh Turki dalam politik dunia.
Untuk menarik hati para pemilih yang terdampak inflasi, Erdogan menaikkan upah dan pensiun serta menyubsidi tagihan listrik dan gas. Ia juga memamerkan industri pertahanan dan proyek infrastruktur Turki yang tumbuh di dalam negeri. Ia berjanji membangun kembali wilayah yang terdampak gempa, termasuk membangun 319.000 rumah dalam setahun. Banyak yang memandang Erdogan sebagai penjaga stabilitas negeri.

Pemimpin Partai Rakyat Republik dan kandidat presiden Aliansi Bangsa Kemal Kilicdaroglu (tengah) memberikan suaranya di tempat pemungutan suara di Ankara, Turki, Minggu (28/5/2023).
Kilicdaroglu adalah mantan pegawai negeri berwatak halus yang memimpin Partai Rakyat Republik (CHP) yang prosekulerisme sejak 2010. Selama kampanye, ia berjanji memulihkan demokrasi, memulihkan ekonomi dengan kembali ke kebijakan yang lebih konvensional dan mempererat hubungan dengan Barat.
Untuk menjangkau pemilih nasionalis pada putaran kedua, Kilicdaroglu berjanji jika ia terpilih, ia akan memulangkan pengungsi dan mengesampingkan negosiasi damai dengan kelompok Kurdi. Banyak warga Turki yang menganggap pengungsi Suriah yang saat ini dilindungi sementara oleh Turki sebagai beban negara.
Baca juga : Bulan Madu Turki-Suriah dan Repatriasi Pengungsi Suriah, Kartu Terbaru Erdogan
Pada awal pekan ini, Erdogan menerima dukungan dari kandidat tempat ketiga, yakni politisi nasionalis, Sinan Ogan. Ia memperoleh 5,2 persen suara dan tidak lagi ikut dalam pemilu. Sementara itu, partai antimigran yang gigih mendukung pencalonan Ogan, mengumumkan akan mendukung Kilicdaroglu. Kekalahan Kilicdaroglu akan menambah daftar panjang kemenangan elektoral Erdogan dan menekannya untuk mundur sebagai ketua partai. Partai AKP dan sekutunya mempertahankan mayoritas kursi di parlemen setelah memenangi pemilu legislatif yang juga diadakan pada 14 Mei. Pemilihan parlemen tidak akan diulang.
Partai AKP mendominasi di wilayah yang dilanda gempa dan memenangi suara di 10 dari 11 provinsi dan secara tradisional mendukung Erdogan. Seperti pada pemilu sebelumnya, Erdogan menggunakan sumber daya negara dan kendalinya atas media untuk menjangkau para pemilih. Kubu Erdogan dituding para pengamat internasional telah menyebarkan informasi palsu dan melakukan penyensoran daring.
Erdogan dan media propemerintah menggambarkan Kilicdaroglu, yang mendapat dukungan dari partai pro-Kurdi negara itu, berkolusi dengan teroris dan mendukung apa yang mereka gambarkan sebagai hak-hak LGBTQ yang menyimpang. “Kilicdaroglu menerima perintahnya dari Qandil. Sementara kami menerima perintah dari Tuhan dan rakyat,” kata Erdogan berulangkali dalam kampanyenya. Qandil adalah pegunungan di Irak yang menjadi markas partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dilarang. (REUTERS/AFP/AP)