20 Negara Terkaya Bertanggung Jawab atas ”Perbudakan Modern”
India berada di urutan teratas diikuti China, Rusia, Indonesia, Turki, dan Amerika Serikat. Bentuk ”perbudakan modern” meliputi kerja paksa dan pernikahan paksa.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·4 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Dua puluh negara terkaya di dunia memicu dan bertanggung jawab atas 25 juta orang yang hidup dalam ”perbudakan modern”. Indonesia termasuk dalam daftar negara tersebut.
Laporan lembaga Walk Free menyebutkan, enam anggota kelompok 20 negara terkaya di dunia atau G20 memiliki jumlah penduduk terbanyak yang hidup dalam perbudakan modern, yakni kerja paksa dan pernikahan paksa. Walk Free, kelompok hak asasi manusia berbasis di Australia yang fokus soal perbudakan modern, merilis laporan sepanjang 172 halaman pada Rabu (24/5/2023).
India berada di daftar teratas dengan 11 juta orang diikuti China dengan 5,8 juta orang lalu Rusia dengan 1,9 juta orang. Indonesia berada di urutan keempat dengan 1,8 juta orang. Berikutnya Turki 1,3 juta orang dan Amerika Serikat 1,1 juta orang. Negara dengan prevalensi perbudakan modern paling rendah adalah Swiss, Norwegia, Jerman, Belanda, Swedia, Denmark, Belgia, Irlandia, Jepang, dan Finlandia.
”Bahkan di negara-negara itu, ribuan orang masih mengalami kerja paksa atau pernikahan paksa kendati mereka memiliki level pembangunan ekonomi, kesetaraan jender, kesejahteraan sosial, dan stabilitas sosial tinggi, termasuk sistem peradilan kriminal yang kuat,” sebut laporan itu.
Pada September 2022, Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), dan Walk Free dalam laporan bersama menyebut, diperkirakan 50 juta orang hidup dalam perbudakan modern hingga akhir tahun 2021. Jumlah itu terbagi atas kerja paksa yang dialami 28 juta orang dan pernikahan paksa 22 juta orang. Angka itu meningkat 10 juta orang dibandingkan akhir tahun 2016.
”Perbudakan modern merembes ke dalam setiap aspek masyarakat kita. Melalui pakaian kita, nyala listrik kita, dan panenan makanan kita. Itu juga cermin pemegang kekuasaan, merefleksikan siapa yang memilikinya dalam masyarakat dan siapa yang tidak,” kata Direktur Walk Free Grace Forrest.
Praktik itu terlihat jelas dalam rantai pasok global, di mana negara-negara anggota G20 mengimpor produk yang dianggap berisiko diproduksi melalui kerja paksa senilai 468 juta dollar AS per tahun. Produk-produk itu mencakup elektronik, garmen, kelapa sawit, hingga panel surya.
Laporan Walk Free memperkirakan perbudakan modern terjadi di 160 negara. Mereka mewawancarai ribuan penyintas yang dikumpulkan secara nasional melalui survei perwakilan rumah tangga dan mengkaji kerentanan negara tersebut.
Walk Free menyebut, hampir 10 juta orang yang dipaksa untuk bekerja atau menikah merefleksikan dampak berbagai krisis yang melanda negara tersebut, seperti konflik bersenjata yang kompleks, kemerosotan lingkungan yang meluas, pelanggaran demokrasi, kemunduran hak-hak perempuan, serta dampak ekonomi sosial akibat pandemi Covid-19. Faktor-faktor tersebut secara signifikan mengganggu pendidikan dan pekerjaan, mengakibatkan peningkatan kemiskinan ekstrem serta migrasi yang tidak aman. ”Semua itu meningkatkan risiko segala bentuk perbudakan modern,” demikian laporan tersebut.
Pada 2021, negara dengan prevalensi perbudakan modern tertinggi adalah Korea Utara, Eritrea, Mauritania, Arab Saudi, dan Turki. Meski demikian, laporan itu menekankan bahwa kerja paksa terjadi di setiap negara, di banyak sektor, dan di setiap tahap rantai pasok. Disebutkan, permintaan mode cepat (fast fashion) dan makanan sari laut (seafood) memicu kerja paksa yang tersembunyi jauh di dalam industrinya. ”Bentuk buruh anak yang paling buruk terdapat di pertanian dan panen biji kakao yang kemudian menjadi cokelat,” lanjut Walk Free.
Inggris Raya, Australia, Belanda, Portugal, dan Amerika Serikat disebut telah memiliki respons pemerintah paling kuat untuk memberantas perbudakan modern ini. Meski demikian, perbaikannya masih jauh lebih lemah dibandingkan seharusnya. Sebaliknya, sebagian besar pemerintah negara-negara G20 tak cukup banyak melakukan langkah-langkah untuk menjamin perbudakan modern tidak terlibat dalam produksi barang-barang impor ke negara mereka dan dalam rantai pasok perusahaan-perusahaan yang berbisnis dengan mereka.
Tahun 2015, salah satu tujuan pembangunan PBB yang diadopsi para pemimpin negara adalah berakhirnya perbudakan modern, kerja paksa, dan perdagangan manusia per 2030. Sayangnya, sebut Walk Free, peningkatan signifikan jumlah orang yang hidup dalam perbudakan modern dan stagnasi tindakan pemerintah memperlihatkan tujuan itu masih jauh dari tercapai.
”Walk Free menyerukan kepada pemerintah di seluruh dunia untuk menambah upaya mengakhiri perbudakan modern di wilayah dan rantai pasok mereka. Yang kita butuhkan sekarang adalah kemauan politik,” sebut lembaga itu. (AP)