Aliansi Oposisi Tak Singgung Tabu Kerajaan Thailand
Aliansi oposisi sudah menyepakati sejumlah agenda perubahan. Namun, rencana perubahan ”lese majeste” tetap belum disentuh. Jika tak solid sepakat, Partai Bergerak Maju akan maju sendirian mengusulkan itu di parlemen.
BANGKOK, SENIN — Aliansi partai oposisi Thailand pimpinan Partai Bergerak Maju yang progresif sudah mulai membicarakan rancangan awal dari agenda-agenda perubahan yang digaungkan dalam kampanye. Beberapa janji itu adalah menyusun konstitusi baru, mengakhiri monopoli dan oligopoli, serta mengizinkan pernikahan sesama jenis.
Namun, dalam rancangan awal itu tidak disinggung rencana mengubah undang-undang penghinaan monarki atau lese majeste. Padahal agenda menyangkut monarki Thailand ini adalah satu fokus yang dijanjikan Partai Bergerak Maju selama kampanye.
Baca juga: Oposisi Bisa Menangi Suara Rakyat Thailand, Belum Tentu Duduki Kursi PM
Bencha Saengchantra, pejabat senior di Partai Bergerak Maju, Senin (22/5/2023), menjelaskan rencana mengubah lese majeste itu baru akan dimasukkan ke dalam rencana perubahan yang resmi jika sudah mendapatkan dukungan dari delapan partai anggota aliansi.
Jika tidak mendapatkan dukungan, Partai Bergerak Maju akan mengupayakan amendemen di parlemen secara mandiri. ”Anggota aliansi sudah menyetujui 80-90 persen dari rencana perubahan yang akan dilakukan, tetapi ini semua masih bisa disesuaikan,” ujarnya.
Anggota aliansi sudah menyetujui 80-90 persen dari rencana perubahan yang akan dilakukan, tetapi ini semua masih bisa disesuaikan.
Rancangan awal perubahan dari aliansi itu mencakup sebagian besar kebijakan andalan Partai Bergerak Maju, antara lain dorongan untuk desentralisasi kekuasaan, anggaran, dan menghapuskan monopoli, serta mendukung persaingan yang adil dalam sektor perdagangan di semua industri.
Rancangan itu juga membidik junta militer dengan menyerukan untuk mengakhiri wajib militer dan mereformasi angkatan bersenjata. Rancangan itu juga mendorong junta untuk mereformasi sistem peradilan dan pelayanan masyarakat sesuai prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, efektivitas, dan memprioritaskan masyarakat.
Aliansi oposisi juga akan mengusahakan reformasi kesejahteraan dan pendidikan, kebijakan luar negeri yang seimbang, dan mendorong undang-undang untuk mengontrol dan mendukung penggunaan ganja. Penggunaan ganja mulai dilegalkan di Thailand pada tahun lalu.
Partai Bergerak Maju dan Partai Pheu Thai mendominasi hasil perolehan suara pemilu, pekan lalu, dan mengalahkan partai-partai konservatif yang pro militer royalis yang sudah menguasai pemerintahan sejak kudeta 2014. Kedua partai oposisi itu berusaha membentuk pemerintahan koalisi dengan partai-partai oposisi lainnya, yakni Partai Thai Sang Thai, Prachachart, Seri Ruam Thai, dan Fair.
Aliansi oposisi ini akan menandatangani kesepakatan mengenai agenda perubahan pada Senin malam. Namun, pembahasan rancangan itu hingga kini belum tuntas di isu perubahan lese majeste.
Pembahasan rancangan itu hingga kini belum tuntas di isu perubahan lese majeste.
Partai Pheu Thai saja selama kampanye tidak menyinggung isu sensitif itu. Ketua Partai Bergerak Maju Pita Limjaroenrat, yang juga kandidat perdana menteri, akan menghadapi tantangan berat dalam memenangi dukungan yang dibutuhkan.
”Ini momen bersejarah yang menunjukkan kita bisa mengubah pemerintah menjadi demokrasi secara damai. Tujuan nota kesepahaman kita ini adalah untuk menghimpun agenda yang disepakati semua pihak dan siap didorong ke pemerintah dan parlemen,” kata Pita kepada wartawan.
Baca juga: Warga Semakin Berani Terbuka Kritik Monarki dan Raja
Jika solid, aliansi oposisi akan memperoleh 313 kursi dari total 500 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk memilih Pita sebagai PM, dibutuhkan dukungan dari 376 legislator di DPR dan Senat. Pita juga perlu mendapatkan dukungan dari 250 anggota Senat yang berhaluan konservatif yang ditunjuk oleh junta militer dan sering mendukung partai-partai pro militer.
Beberapa senator sudah mengatakan tidak akan mendukung kandidat yang akan mengubah lese majeste atau mengancam status quo. Kini, rakyat Thailand tinggal menunggu apakah kandidat pilihan mereka akan diizinkan untuk memimpin atau apakah ia akan dihalangi menjadi perdana menteri. Sampai sejauh ini baru ada 14 senator yang mengindikasikan akan mendukung Pita.
Jika aliansi oposisi tidak solid dan tidak mendapatkan dukungan yang kuat, dikhawatirkan bisa terjadi kudeta lagi. Militer Thailand sudah melakukan 13 kudeta sejak berakhirnya monarki absolut pada 1932. Konfrontasi antara para jenderal, politisi, dan aktivis selama ini menjadi sumber ketidakstabilan politik di Thailand.
”Yang perlu saya lakukan sekarang adalah menemukan peta jalan yang menjembatani kesenjangan antara demokrasi yang benar-benar berfungsi dan demokrasi setengah matang hasil kudeta militer,” kata Pita dalam wawancaranya dengan harian The New York Times, 21 Mei 2023.
Baca juga: Menanti Kincir Angin Perubahan Thailand
Apabila terpilih sebagai perdana menteri, Pita berjanji akan menyusun ulang kebijakan luar negeri Thailand dan menekankan bahwa Thailand tidak akan menjadi bagian dari ”payung China atau payung Amerika Serikat”. Thailand akan menjadi negara yang memiliki kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Ketegasan sikap Pita terbaca seperti di unggahannya di Twitter, Maret 2022, ketika Rusia menginvasi Ukraina. ”Rusia harus segera menarik pasukan mereka,” tulis Pita.
Penasihat kebijakan luar negeri Pita yang juga pengamat politik di Universitas Chiang Mai, Fuadi Pitsuwan, menilai, Pita akan menjadi pemimpin yang berani bersikap dan memberikan perhatian pada kebijakan luar negeri. ”Ini yang jarang terjadi di Thailand,” ujarnya. (REUTERS)