Duet Monarki-Militer Hadang Arus Perubahan di Thailand
Meski memenangi pemilu Thailand dan berkoalisi, Partai Bergerak Maju diperkirakan kesulitan membentuk pemerintahan. Sistem politik jadi benteng junta militer yang selama ini berelasi kepentingan dengan monarki.
BANGKOK, SELASA - Partai oposisi Bergerak Maju mengklaim kemenangan pada pemilihan umum Thailand setelah berhasil mengalahkan partai-partai yang didukung militer. Janji-janji akan perubahan menjadi faktor dukungan kuat bagi partai oposisi pimpinan Pita Limjaroenrat itu.
Salah satu janji itu adalah amandemen undang-undang lese majeste yang menerapkan hukuman penjara 15 tahun bagi siapa pun yang menghina monarki. Ini adalah isu yang selama ini tidak tersentuh dalam politik Thailand.
Isu ini dianggap tabu di Thailand dan bertabrakan dengan kepentingan Kerajaan Thailand yang selama ini berkolaborasi dengan militer. Bahkan partai oposisi Pheu Thai yang dipimpin putri bungsu mantan Perdana Menteri (PM) Thaksin Shinawatra pun menghindari isu itu selama kampanye.
Baca juga: Warga Semakin Berani Terbuka Kritik Monarki dan Raja
Namun, belakangan isu ini semakin menjadi tuntutan rakyat Thailand, terutama anak muda. Mengakomodasi aspirasi ini, Partai Bergerak Maju pun mendulang suara pada pemilu Thailand.
Dari 71 juta jiwa penduduk Thailand, sekitar 52 juta jiwa memiliki hak pilih pada pemilu Thailand 2023. Mereka telah memberikan suara di lebih kurang 95.000 tempat pemungutan suara, Minggu (14/5/2023).
Sampai denganSelasa (16/5), 99 persen surat suara sudah dihitung. Data Komisi Pemilihan Umum Thailand menunjukkan, Partai Bergerak Maju memperoleh 14,1 juta suara, diikuti Pheu Thai dengan 10,8 juta suara. Sementara Partai Persatuan Bangsa Thailand pimpinan PM Prayuth Chan-ocha berada di urutan ketiga dengan 4,7 juta suara.
Meski menang, Partai Bergerak Maju tidak serta-merta bisa berkuasa. Artinya, janji untuk membongkar tabu Kerajaan Thailand pun masih jauh panggang dari api. Ini karena sistem politik di Thailand didesain untuk mengamankan kekuasaan politik junta militer yang selama ini punya relasi kepentingan yang kuat dengan Kerajaan Thailand.
Guna membentuk pemerintahan di Thailand, partai atau koalisi partai harus menghimpun dukungan lebih dari 50 persen suara di DPR dan senat alias minimal 376 suara di DPR dan senat. DPR terdiri atas 500 legislator.
Sementara senat terdiri atas 250 senator dengan 194 senator di antaranya dipilih oleh junta militer dan enam senator merupakan pemimpin-pemimpin militer serta perwakilan dari kepolisian, pertahanan, dan kehakiman. Adapun 50 senator lainnya berasal dari profesional dan perwakilan kelompok-kelompok sosial.
Guna membentuk pemerintahan di Thailand, partai atau koalisi partai harus menghimpun dukungan lebih dari 50 persen suara di DPR dan senat alias minimal 376 suara di DPR dan senat.
Persoalannya, kursi hasil konversi kemenangan Partai Bergerak Maju belum cukup untuk membentuk pemerintahan. Berdasarkan penghitungan suara mutakhir, Partai Bergerak Maju diperkirakan mendapat 151 kursi di DPR.
Sementara Pheu Thai, partai oposisi yang sudah sepakat untuk berkoalisi dengan Partai Bergerak maju diperkirakan memiliki 141 kursi di DPR. Koalisi ini memastikan 292 kursi. Guna meraih kursi mayoritas, Pita berencana menggandeng empat partai lagi, dua di antaranya partai yang didukung militer. Jika ini berhasil, kursi yang terkumpul hanya 76 kursi. Jika diakumulasi, dukungan untuk Pita baru 368 kursi.
Dengan demikian, kunci pembentukan pemerintahan terletak di Senator. Tantangannya, mayoritas anggota senator adalah orang-orang yang ditunjuk oleh junta militer. Senator independen, Chalermchai Fuangkon, kepada Nikkei Asia, khawatir perjuangan partai oposisi, terutama Partai Bergerak Maju tidak akan mudah karena harus berjuang memenangkan hati para senator yang selama ini tersinggung dengan retorika Pita.
Dalam empat tahun terakhir di sesi parlemen, Partai Bergerak Maju adalah satu-satunya partai yang bermasalah dengan Senat. “Mereka tidak menunjukkan rasa hormat. Pita harus bisa mengurangi nada yang keras jika ingin menjadi PM atau bernegosiasi dengan Partai Bhumjaithai pimpinan Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul yang memenangkan 71 kursi,” kata Chalermchai.
Kepala ahli strategi Partai Maju, Parit Wacharasindhu, menulis surat terbuka kepada para senator, yang suaranya mereka perlukan untuk memilih PM. Ia mencantumkan alasan Senat untuk mendukung PM dari partai pemenang, serta argumen tandingan bagi para senator yang mengindikasikan bahwa mereka akan menentang pencalonan Pita.
Baca juga: Unjuk Rasa Terbesar Menuntut PM Thailand Mundur dan Reformasi Monarki
“Bukan hak Anda dalam sistem demokrasi untuk menentang konsensus publik yang diungkapkan dengan jelas melalui pemungutan suara bahwa perubahan adalah apa yang ingin dilihat rakyat," tulisnya. Parit, keponakan mantan PM Abhisit Vejjajiva, mencantumkan nama 64 senator yang telah memilih untuk menghapus Bagian 272 Konstitusi yang mengizinkan para senator untuk berpartisipasi dalam pemilihan PM.
Partai Bergerak Maju sudah mengamankan koalisi dengan menggandeng Pheu Thai. Ketua Pheu Thai, Paetongtarn Shinawatra, menyatakan siap mendukung kandidat yang menerima konsensus dari rakyat. Taipan properti dan sesama kandidat Pheu Thai, Srettha Thavisin, juga sudah meminta Partai Bhumjaithai dan Demokrat untuk mendukung Pita.
“Bhumjaithai dan Demokrat sebelumnya sudah menyatakan sikap bahwa mereka tidak mendukung Konstitusi 2017 yang memberi para senator kekuatan untuk memilih perdana menteri. Sekarang saatnya mereka mengikuti sikap mereka,” ujarnya.
Partai Bhumjaithai, yang 71 kursinya dapat mendukung atau menghancurkan pencalonan PM, sedang menunggu hasil pemilihan resmi sebelum memutuskan langkah selanjutnya. "Bhumjaithai ingin menegaskan prinsip partai, yaitu partai politik nomor 1 dalam pemilu akan membentuk pemerintahan," sebut partai itu dalam pernyataan tertulisnya.
Setelah hasil resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Thailand, barulah mereka akan mengadakan rapat komite eksekutif partai untuk mempertimbangkan arah kebijakan partai. Komisi Pemilihan Umum Thauland memiliki waktu hingga 60 hari setelah pemungutan suara untuk mengumumkan hasil resmi dari setidaknya 95 persen daerah pemilihan.
Baca juga: Dinamika Kehidupan Monarki di Asia Tenggara
Salah satu senator yang berpengaruh, Wanchai Somsiri, mengatakan anggota Senat akan mempertimbangkan faktor lain selain hasil pemilu. “Saya tidak yakin partai nomor 1 akan selalu dapat membentuk pemerintahan,” ujarnya.
Senator lain, Somchai Sawangkarn, mengatakan seorang PM harus jujur dan tidak menimbulkan masalah di negara ini. “Jika ada kemungkinan menciptakan perpecahan di negara ini, saya tidak akan memilih mereka,” ujarnya.
PM Prayuth Chan-ocha akhirnya buka suara dan mengeluarkan komentar publik pertamanya setelah pemilu. Ia menyatakan berterimakasih kepada para pemilih karena sudah menggunakan hak mereka dan memberikan selamat kepada semua partai politik.
“Mulai saat ini, mereka sedang dalam proses pembentukan pemerintahan yang saya sambut baik dan saya meminta seluruh rakyat Thailand bekerja sama untuk menciptakan cinta, persatuan, dan stabilitas bangsa tanpa konflik. Sambil menunggu pemerintahan baru menjalankan tugasnya, saya akan terus melakukan yang terbaik sebagai perdana menteri dan kepala pemerintahan,” ujarnya kepada wartawan setelah rapat kabinet mingguan.
Baca juga: Perjuangan Prodemokrasi Thailand Terganjal di Parlemen
Ketika berbicara kepada wartawan, Pita menegaskan pihaknya tidak akan berkompromi dalam mendorong perubahan Pasal 112 atau UU lese majeste. Dalam UU itu, pelanggar bisa dipenjara selama 15 tahun jika menghina Raja Maha Vajiralongkorn yang berusia 70 tahun atau bangsawan lainnya.
Partai Bergerak Maju akan menggunakan parlemen untuk memastikan ini adalah diskusi yang komprehensif dengan kedewasaan, transparansi, dan mereformasi hubungan antara monarki dengan rakyat. “Saya khawatir dengan hubungan antara rakyat dan monarki, terutama generasi muda. Sentimen zaman sudah berubah,” kata Pita.
Dorongan untuk secara langsung mengubah UU yang memengaruhi monarki mematahkan tabu lama di Thailand. Pada tahun-tahun sebelumnya, bahkan saran ketidaksetiaan kepada istana menjadi alasan bagi militer untuk melakukan kudeta, yang menyebabkan gelombang aksi protes seperti pada 2020.
Junta militer yang melakukan kudeta pada 2006 dan 2014 bersumpah untuk menindak elemen-elemen yang mengancam monarki. Ketegangan meningkat setelah kematian Raja Bhumibol Adulyadej pada 2016. Putranya, Raja Vajiralongkorn, menggantikannya.
Ia dengan cepat menegaskan otoritasnya, mengambil komando langsung dari beberapa unit tentara dan memperoleh kepemilikan pribadi atas aset Biro Properti Mahkota senilai puluhan miliar dolar. Serangan balik terwujud dalam bentuk protes yang dipimpin mahasiswa pada 2020 yang menyerukan lebih banyak pemeriksaan dan keseimbangan di monarki.
“Ini ‘Musim Semi Bangkok’,” kata pengamat politik di Universitas Chulalongkorn, Surachart Bamrungsuk, kepada jaringan tv The Nation. Ia menggunakan istilah yang pertama kali dikaitkan dengan liberalisasi politik pada 1960-an. “Pemimpin militer melompat keluar dari tank mereka dan naik ke truk kampanye dengan percaya diri, tetapi dihancurkan oleh pemilih yang berbeda pendapat,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)