Pasar memperlihatkan sikapnya sendiri seusai petahana, Presiden Recep Tayyip Erdogan, unggul pada putaran pertama pemilu Turki 2023. Sejumlah indikator ekonomi pasar memperlihatkan ketidaksetujuan atas Erdogan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
ANKARA, SELASA — Keunggulan kandidat petahana, Presiden Recep Tayyip Erdogan, pada pemilu Turki putaran pertama ditanggapi skeptis oleh pasar, Selasa (16/5/2023). Obligasi dan nilai saham jatuh setelah Dewan Tinggi Pemilihan Turki mengumumkan bahwa Erdogan memenangi putaran pertama dengan perolehan suara 49,5 persen suara. Rivalnya, Kemal Killicdaroglu, mengantongi 44,9 persen suara.
Skeptisisme pasar diperlihatkan dengan anjloknya indeks harga saham perbankan utama Turki hingga 9,6 persen. Ini berbanding terbalik dengan kenaikan indeks hingga 26 persen pada pekan sebelumnya, yang merupakan kenaikan terbesar sejak akhir 2002. Kekhawatiran terhadap kemungkinan berlanjutnya kebijakan ekonomi Erdogan yang dianggap ortodoks, termasuk memerangi angka inflasi tinggi dengan suku bunga rendah, diduga menjadi salah satu penyebab kekhawatiran pasar.
Mata uang lira juga mengalami penurunan selama enam bulan terakhir dan dilepas ke pasar dengan nilai 19,70 per dollar Amerika serikat. Nilai tukar lira ini tidak jauh dari nilai tukar terendah pada Maret 2023 yang menyentuh 19,80 per dollar AS.
”Sepertinya 49 persen rakyat Turki telah memilih krisis ekonomi. Dua minggu ke depan, kita bisa melihat mata uang runtuh,” kata Mike Harris, pendiri firma penasihat Cribstone Strategic Macro, Senin (15/5/2023), dikutip dari laman CNBC.
Dan Wood, manajer portofolio utang pasar negara berkembang di firma William Blair, mengatakan, skeptisisme pasar bisa dilihat pada pasar obligasi. Berdasarkan data S&P Global Market Intelligence, beberapa obligasi keluaran pemerintah yang berdenominasi dollar AS mengalami penurunan lebih dari 7 sen. Sementara spread credit default swap (CDS) lima tahun Turki melonjak dari 141 basis poin menjadi 634 basis poin, tertinggi sejak November 2022. CDS merupakan kontrak pertanggungan yang diberikan jika terjadi gagal bayar utang.
Obligasi yang dikeluarkan oleh lembaga pemberi pinjaman kepada Pemerintah Turki juga tertekan. Akbank memangkas obligasi 2026 lebih dari 3 sen untuk diperdagangkan di bawah 93 sen, terendah sejak November. ”Anda bisa melihat, investor benar-benar tidak mendukung Erdogan,” kata Wood.
Crispin Hodges, Kepala Risiko Politik Perdagangan di Canopus Group, mengomentari fluktuasi besar CDS mengatakan, mereka tidak mau ambil risiko saat ini. Dalam pandangannya, keunggulan Erdogan pada putaran pertama bisa dibaca sebagai status quo bagi para pebisnis.
”Erdogan bisa mempertahankan kekuasan berarti hal itu sebagai status quo bagi kami, yang membuat kami terus menolak berbisnis dengan para pengusaha mereka karena kondisi ekonomi negaranya, karena inflasi, karena nilai tukar mata uang yang lemah, dan karena strategi kebijakan ekonominya,” tutur Hodges.
Pekan lalu, saham dan obligasi Turki menguat ketika kandidat presiden Muharrem Ince mundur dari pencalonan, meningkatkan peluang Kilicdaroglu untuk memenangi pemilihan. ”Sekarang kami kembali ke titik awal,” kata Emre Akcakmak, konsultan senior di East Capital.
Dalam beberapa tahun terakhir, Erdogan dinilai tidak memiliki kebijakan yang brilian untuk mengurangi tekanan terhadap kondisi perekonomian negaranya. Meroketnya inflasi mendorong rakyat mengalami krisis biaya hidup.
Menurut Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan, ekonomi Turki sempat diperkirakan berbalik tumbuh lagi hingga 11 persen pada 2021 dan tumbuh pada kisaran 3 persen pada tahun berikutnya. Akan tetapi, gempa dahsyat yang melanda Turki selatan diperkirakan akan mengurangi angka pertumbuhan hingga sepertiganya. Sebab, beban anggaran untuk rekonstruksi dan rehabilitasi sangat besar, diperkirakan hingga 50 miliar dollar AS.
Menurut Brendan McKenna, ekonom pasar negara berkembang Wells Fargo, dikutip dari CNBC, kejutan Erdogan dan pendukungnya dengan memenangi pemilu putaran pertama dan memaksa rivalnya bertarung di putaran ke dua adalah skenario terburuk bagi aset-aset milik pemerintah dan mata uang mereka. Richard Briggs, Manajer Senior Candriam yang bertugas menangani utang negara berkembang, mengatakan, kemenangan Erdogan bisa berarti berlanjutnya ketidakseimbangan ekonomi dan upaya keras Ankara untuk menopang nilai tukar lira.
”Jika Turki terus mengalami defisit neraca berjalan yang besar, begitu aliran itu terhenti atau berbalik arah, tekanan pada mata uang dan ekonomi bisa menjadi parah tanpa kerangka kebijakan yang kredibel, yang kemungkinannya kecil di bawah pemerintahan yang ada,” tutur Briggs.
JPMorgan memperkirakan, lira yang telah melemah hingga 5 persen sejak awal tahun bisa mencapai 24-25 per dollar AS. Perhitungan Goldman Sachs menunjukkan pasar menilai lira akan melemah sebesar 50 persen dalam 12 bulan ke depan.
James Reilly, asisten ekonom Capital Economics, dalam sebuah catatan memperkirakan, para pengambil kebijakan ekonomi di Turki akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memastikan ekonomi negara itu stabil jelang putaran kedua pada 28 Mei. Dia juga memperkirakan para pengambil kebijakan akan secara bertahap melonggarkan kebijakannya sehingga memungkinkan depresiasi nilai tukar lira terhadap dollar AS berlangsung tanpa gejolak. (REUTERS)