Menangkan Oposisi, Rakyat Thailand Pilih Perubahan
Rakyat Thailand memilih perubahan dengan mendukung partai oposisi Partai Bergerak Maju dań Pheu Thai yang beragenda reformasi. Hanya, partai oposisi masih perlu berkoalisi demi membuat perubahan.
BANGKOK, SENIN — Suara sebagian rakyat Thailand sudah jelas, menghendaki perubahan dan penegakan demokrasi. Dukungan pada perubahan itu ditunjukkan dengan memberikan suara kepada dua partai oposisi utama yang prodemokrasi, yakni Partai Bergerak Maju dan Pheu Thai. Kedua partai yang dipimpin anak muda itu sepakat membentuk koalisi yang berkuasa setelah mengalahkan partai-partai pendukung militer.
Partai Bergerak Maju mendominasi perolehan suara sementara hasil pemungutan suara, Minggu (14/5/2023). Dengan lebih dari 99 persen surat suara yang dihitung, Senin (15/5/2023), Partai Bergerak Maju sedikit unggul dari Pheu Thai. Kedua partai itu mendapat dukungan dari 39 juta pemilih atau 75 persen dari jumlah pemilih terdaftar. Meski unggul dalam perolehan suara, jalan menuju kekuasaan di Thailand serba tidak pasti. Apalagi mengingat sejarah panjang kudeta dan intervensi yudisial dalam politik.
”Saya Pita Limjaroenrat, perdana menteri Thailand berikutnya. Kami siap membentuk pemerintahan dan bersumpah menjadi perdana menteri untuk semua. Hari ini adalah hari baru dan semoga penuh dengan sinar matahari dan harapan,” kata Ketua Partai Bergerak Maju Pita Limjaroenrat (42) kepada wartawan di kantor pusat partai di Bangkok.
Baca juga: Koalisi Jadi Jalan Partai Oposisi Bentuk Pemerintahan Baru
Meski memenangi pemilu, Partai Bergerak Maju tidak otomatis bisa membentuk pemerintahan baru. Ia harus berkoalisi dengan partai lain dan Pita mengusulkan aliansi enam partai yang akan menguasai 309 kursi dari total 500 kursi yang ada di parlemen. Akan tetapi, mungkin itu tidak cukup. PM dipilih parlemen dan Senat yang memiliki 250 anggota yang semuanya dipilih junta militer.
Koalisi pimpinan Partai Bergerak Maju perlu mendapatkan 376 suara di parlemen untuk memastikan para senator tidak menghalangi Pita menjadi PM. Proses ini dianggap tidak demokratis karena militer yang menunjuk anggota Senat yang akan memberikan suara bersama dengan anggota parlemen terpilih. ”Semua pihak harus menghormati hasil pemilu dan tidak ada gunanya menentang. Risikonya besar jika ada yang mau menyanggah hasil pemilu atau membentuk pemerintahan minoritas,” kata Pita.
Partai Pheu Thai yang dikendalikan keluarga mantan PM Thaksin Shinawatra setuju dengan usulan koalisi Pita. Pheu Thai yang telah memenangi kursi terbanyak dalam setiap pemilu, termasuk dua kali menang telak, kini menemukan pesaing kuat. Partai Bergerak Maju menyapu bersih suara, terutama di ibu kota Bangkok.
Partai Bergerak Maju unggul karena dukungan anak muda yang tertarik dengan agenda liberal dan janji perubahan yang berani, termasuk mereformasi undang-undang yang menghina monarki. Partai itu membawa dimensi baru dalam perebutan kekuasaan yang selama bertahun-tahun berpusat pada keluarga Shinawatra yang terpolarisasi. Partai Bergerak Maju akan melanjutkan rencana mengubah UU Lese Majeste yang ketat soal penghinaan terhadap monarki. UU Lese Majeste itu selama ini dikritik karena telah digunakan untuk membungkam kebebasan berbicara.
Baca juga: ”Plakat Rakyat” Thailand Dicopot
Partai Bergerak Maju dan Pheu Thai memiliki basis dukungan yang tumpang tindih dan rencana kebijakannya mirip, termasuk rencana untuk menulis ulang konstitusi militer tahun 2017 dan meningkatkan upah minimum. Selain menggandeng Pheu Thai pimpinan putri bungsu Thaksin, Paetongtarn Shinawatra, salah satu partai yang digandeng untuk koalisi adalah Partai Bhumjaithai yang memiliki 71 kursi. Partai pimpinan Menteri Kesehatan Anutin Charnvirakul itu sebenarnya berada dalam koalisi terkait militer, tetapi mereka sudah menunjukkan diri menjadi ”bunglon” politik selama bertahun-tahun.
Partai-partai yang terkait dengan militer dapat mencoba membentuk pemerintahan minoritas dengan mengandalkan dukungan dari Senat untuk mendapatkan PM pilihan mereka. Ini pernah terjadi setelah pemilu 2019 saat Prayuth Chan-ocha menjadi PM dan memimpin koalisi multipartai meski Pheu Thai memenangi kursi terbanyak. Pada 2019, partai junta, Palang Pracharath, memenangi 116 kursi dan mengandalkan 100 kursi lagi dari partai konservatif.
Kali ini Palang Pracharath hanya meraih 40 kursi dan Partai Persatuan Bangsa Thailand yang dipimpin Prayuth hanya mendapat 36 kursi. Dukungan Bhumjaithai dan suara Senat bisa membantu mendapatkan dukungan untuk PM, tetapi koalisi semacam itu kemungkinan kesulitan memerintah dan rentan terhadap mosi tidak percaya dan akan selalu bergantung kepada partai oposisi untuk mengesahkan UU apa pun.
Pengamat politik di Ubon Ratchathani University, Titipol Phakdeewanich, memperkirakan partai-partai lain tidak akan mudah memutuskan akan berkoalisi dengan Partai Bergerak Maju karena agenda radikalnya. Partai-partai kemungkinan mencari opsi yang tidak terlalu kontroversial. Titipol juga mengingatkan, Pita kini sedang menghadapi penyelidikan dari Komisi Pemilu atas saham di perusahaan media milik mendiang ayahnya yang sekarang sudah tidak beroperasi.
Pita mengklaim ia hanya pelaksana wasiat ayahnya dan bukan pemilik saham. ”Isu ini bisa menjadi kartu truf potensial jika kalangan royalis-militer ingin memblokir Partai Bergerak Maju. Ini satu-satunya kasus yang bisa mereka pakai untuk melawan Pita,” kata Titipol.
Baca juga: Mencermati Krisis Politik di Thailand
Pengadilan Thailand memiliki sejarah intervensi dalam politik, pernah menggulingkan dua PM dari jabatannya, dan membubarkan beberapa partai yang terkait dengan Thaksin. Pendahulu Partai Bergerak Maju, Partai Masa Depan, juga dibubarkan atas perintah pengadilan pada 2020 setelah secara tidak terduga duduk di posisi ketiga dalam pemilu 2019.
”Jika Partai Bergerak Maju menemui nasib yang sama seperti pendahulunya, pasti gelombang protes terjadi lagi. Sudah habis waktu para jenderal. Rakyat sudah frustasi dan menginginkan perubahan,” kata Guru Besar di Universitas Ubon Ratchathani, Saowanee T Alexander. (REUTERS/AFP/AP)