Di Pertemuan ASEAN, RI Ajukan Percepatan Perundingan Ekstradisi
Agar negara ASEAN tak menjadi tempat berlindungnya pelaku kriminalitas, di pertemuan ASEAN Political and Security Council, Menko Polhukam Mahfud MD mengajukan percepatan perundingan ekstradisi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah RI mengajukan percepatan perundingan ASEAN Extradition Treaty di pertemuan ASEAN Political and Security Council yang berlangsung di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Selasa (9/5/2023). Kesepakatan perjanjian ekstradisi antarnegara ASEAN itu diharapkan dapat mencegah kawasan Asia Tenggara menjadi tempat berlindung bagi para pelaku kriminal.
Perihal percepatan perundingan itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Selasa, seusai menghadiri pertemuan ASEAN Political and Security Council (APSC) di Labuan Bajo. Di pertemuan itu, Mahfud hadir bersama Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi. Pertemuan itu pun turut dihadiri Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn dan semua menteri luar negeri anggota ASEAN, kecuali Myanmar.
”Dengan adanya kesepakatan perjanjian ekstradisi antarnegara ASEAN itu, diharapkan dapat mencegah kawasan Asia Tenggara menjadi tempat berlindung bagi para pelaku kriminal,” kata Mahfud.
Dalam forum regional Asia Tenggara itu, Menko Polhukam yang juga bertanggung jawab sebagai Koordinator dan Penanggung Jawab Pilar Polkam ASEAN berupaya memperkuat upaya kerja sama pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di ASEAN, baik di tingkat bilateral maupun regional.
Di tingkat bilateral, Kemenko Polhukam telah mengoordinasikan dan mendorong disepakatinya nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara Kepolisian RI dan Kepolisian Kamboja. Pada Agustus 2022, Indonesia dan Kamboja telah memperkuat kerja sama police to police dalam penanganan TPPO.
Selain itu, menurut Mahfud, Indonesia dan Malaysia juga telah menyepakati nota kesepahaman tentang Rekrutmen dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di sektor domestik Malaysia pada April 2022. Nota kesepahaman itu mengatur penggunaan sistem satu kanal sebagai sistem perekrutan dan pengawasan pekerja migran.
Pada pertemuan ke-25 Dewan Masyarakat Politik dan Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Community Council) yang berlangsung 10 November 2022 di Kamboja, Mahfud juga telah menekankan pentingnya penguatan kerja sama ASEAN yang sudah ada dalam memerangi perdagangan orang. Hal itu termasuk implementasi ASEAN Convention Against Trafficking in Persons Especially Women and Children and Bohol Trafficking in Persons Work Plan. Rapat itu diselenggarakan di sela-sela rangkaian KTT Ke-40 dan Ke-41 ASEAN di Kamboja tahun 2022 lalu.
Di tingkat bilateral, Kemenko Polhukam telah mengoordinasikan dan mendorong disepakatinya nota kesepahaman (MoU) antara Kepolisian RI dan Kepolisian Kamboja.
Dengan Singapura
Pada Januari 2022, di Bintan, Kepulauan Riau, RI dan Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi, selain menyepakati persetujuan pelayanan ruang udara (FIR) dan perjanjian kerja sama pertahanan. Kerja sama itu ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly serta Menteri Hukum Singapura K Shanmugam, disaksikan langsung Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Sebagai tindak lanjutnya, pada pertengahan Maret 2023 RI dan Singapura melaksanakan beberapa hal untuk disepakati yang dicapai saat Presiden Joko Widodo bertemu Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Istana Kepresidenan Singapura (Kompas.id, 16/3/2023).
Kesepakatan itu meliputi memperbarui nota kesepahaman (MoU) antar-kejaksaan kedua negara, menyelesaikan nota kesepahaman antar-kepolisian untuk pemberantasan kejahatan lintas batas, dan membentuk komite kerja sama pertahanan, membuat aturan teknis pelaksanaan terkait perjanjian FIR, pertahanan, dan ekstradisi.
Kerja sama ekstradisi dengan Singapura itu telah diupayakan Pemerintah RI sejak 1998. Baru 25 tahun kemudian, pada awal 2022, kerja sama itu baru tercapai. Perjanjian itu bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara, seperti korupsi, narkotika, dan terorisme.
Saat itu, Menkumham Yasonna H Laoly menyampaikan, perjanjian ekstradisi yang disepakati RI-Singapura itu bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan bentuk dan modus tindak pidana saat ini dan pada masa depan. Perjanjian ini memungkinkan kedua negara melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana meskipun jenis tindak pidananya tidak lugas disebutkan dalam perjanjian. Asalkan, tindak pidana tersebut telah diatur dalam sistem hukum kedua negara.
Dalam perjanjian itu setidaknya terdapat 31 jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diesktradisi. Di antaranya, tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme (Kompas.id, 26/1/2022).