Puluhan anggota kelompok antimonarki, Republic, ditahan sebelum dan selama proses penobatan Raja Charles III. Penolakan Charles sebagai kepala negara juga ditunjukkan negara anggota Persemakmuran yang ingin merdeka.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
LONDON, SABTU — Sebelum proses penobatan Raja Inggris Charles III dimulai, aparat kepolisian menahan pemimpin kelompok antimonarki, Republic, dan 51 pendukungnya, Sabtu (6/5/2023). Ratusan pengunjuk rasa antimonarki yang berbaju kuning berkumpul dan berbaur dengan kerumunan warga yang hendak menyaksikan proses penobatan di London, Inggris.
Baju kuning mereka mencolok di antara warga yang berbaju warna merah, putih, dan biru, warna bendera kebangsaan Inggris. Apalagi, mereka membawa spanduk-spanduk bertuliskan ”Bukan Raja Saya”.
Kelompok Republic mengatakan, pemimpin mereka, Graham Smith, sudah ditahan polisi sebelum proses penobatan dimulai. Spanduk dan plakat-plakat yang dibawa pengunjuk rasa pun disita. Kepolisian tidak mengonfirmasi penangkapan Smith. ”Selama 24 jam terakhir, polisi telah mengamankan situasi karena menerima informasi pengunjuk rasa hendak mengganggu penobatan,” sebut Komandan Kepolisian Metropolitan London Karen Findlay, dalam penyataan tertulis.
Kepolisian bersikeras mereka harus bertindak antisipatif karena yakin pengunjuk rasa akan berusaha merusak monumen-monumen publik dengan cat dan mengganggu acara resmi kerajaan. Kelompok Republic bersumpah akan melakukan protes besar-besaran terhadap raja Inggris. Pengunjuk rasa juga mencemooh saat Raja Charles III dan Ratu Camilla berjalan menuju Westminster Abbey.
”Ini berlebihan. Tindakan polisi ini berlebihan. Benar-benar gila,” kata Kevin John (57), salah satu pengunjuk rasa.
Aksi protes juga terjadi di kota Glasgow di Skotlandia dan Cardiff di Wales. Para pengunjuk rasa membawa plakat-plakat bertuliskan ”Hapus monarki, beri makan rakyat”. Di media sosial, banyak yang membandingkan krisis biaya hidup Inggris dengan kemegahan dan arak-arakan proses penobatan.
Meskipun jumlah pengunjuk rasa tak banyak dibandingkan dengan puluhan ribu orang yang berkumpul untuk mendukung raja, jajak pendapat menunjukkan dukungan untuk monarki menurun dan paling lemah di kalangan anak muda.
Dengan pewarisan mahkota dari Ratu Elizabeth II kepada putranya yang kurang populer, para aktivis Republic berharap Charles akan menjadi raja Inggris terakhir yang dinobatkan. ”Keluarga kerajaan menjadi miliarder turun-temurun yang lahir dalam kekayaan dan hak istimewa yang pada dasarnya melambangkan ketidaksetaraan kekayaan dan kekuasaan dalam masyarakat kita,” kata Clive Lewis, anggota parlemen oposisi dari Partai Buruh.
Di London, pengunjuk rasa yang menuntut Inggris memiliki kepala negara terpilih mengatakan, keluarga kerajaan sudah tidak memiliki tempat dalam demokrasi konstitusional modern dan dana untuk membiayai kerajaan sangat mahal. Sejak Charles menjadi raja pada September 2022, telah terjadi protes terhadap acara-acara kerajaan.
Ia dicela pada acara Hari Persemakmuran di Westminster Abbey, Maret lalu, dan dilempari telur ketika berada di York, November 2022. Mangkatnya Ratu Elizabeth II juga memicu kembali perdebatan di Australia, Jamaika, dan daerah lain yang menjadi anggota Persemakmuran tentang perlunya mempertahankan Charles sebagai kepala negara mereka.
Pemerintah Negara Bagian New South Wales memutuskan tidak menyalakan layar Gedung Opera Sydney untuk menandai penobatan Charles III demi menghemat uang. Di negara-negara lain di mana Charles menjadi kepala negara, penobatan juga tidak terlalu diperhatikan.
Meski demikian, kerajaan Inggris masih bisa bertahan kuat, sementara banyak monarki Eropa sudah nonaktif dan dianggap kurang berperan penting. Di Inggris, jajak pendapat menunjukkan mayoritas rakyat masih menginginkan keluarga kerajaan, tetapi ada kecenderungan penurunan dukungan dalam jangka panjang.
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan YouGov bulan lalu menemukan, 64 persen warga Inggris mengatakan mereka sedikit atau tidak tertarik pada penobatan raja. Di antara mereka yang tidak tertarik itu ada 75 persen orang yang berusia 18-24 tahun.
Merdeka
Jamaika dan Belize sedang mempertimbangkan untuk tidak lagi mengakui Raja Charles III sebagai kepala negara mereka dan menjadi negara republik. Jamaika dan Belize adalah bekas jajahan Inggris di Karibia yang telah menjadi negara merdeka selama beberapa dekade.
Namun, seperti 12 negara anggota Persemakmuran lainnya di luar Inggris, termasuk Australia, Kanada, dan Selandia Baru, mereka mempertahankan sistem pemerintahan monarki konstitusional dan memiliki Raja Charles III sebagai kepala negara mereka dengan gubernur jenderal lokal yang menjalankan tugas atas namanya.
Menteri Urusan Hukum dan Konstitusi Jamaika Marlene Malahoo Forte mengatakan, penobatan Raja Charles III telah mempercepat rencana Jamaika menjadi republik. ”Waktunya telah tiba. Nasib Jamaika di tangan Jamaika. Kita harus segera menyelesaikan transisi monarki. Kita harus melakukannya sekarang,” katanya kepada televisi Sky News Inggris.
Forte mengatakan, Jamaika dapat mengadakan referendum paling cepat tahun depan. Dengan menjadi republik, Jamaika akan mengucapkan selamat tinggal pada bentuk pemerintahan yang terkait dengan masa lalu kolonialisme yang menyakitkan dan perdagangan budak trans-Atlantik.
Sementara itu, Perdana Menteri Belize John Briceno mengatakan kepada harian The Guardian bahwa ”sangat mungkin” negaranya menjadi wilayah Persemakmuran berikutnya yang akan menjadi republik, setelah Barbados melakukannya pada 2021. Ia
mengatakan, ”tidak ada kegembiraan” di antara rekan senegaranya untuk penobatan Charles III.
Pemerintah Belize tahun lalu mengesahkan undang-undang yang membentuk komisi konstitusional yang bersidang pada November untuk mempertimbangkan melembagakan berbagai reformasi, termasuk menjadi republik. Briceno akan mengajukan rekomendasinya yang dijadwalkan tahun depan untuk melakukan referendum. Tidak tertutup kemungkinan menghapuskan negara monarki melalui parlemen.
Charles adalah kepala negara simbolik dari 56 anggota Persemakmuran dan telah berusaha untuk menempatkannya di jantung pemerintahannya, seperti yang dilakukan ibunya. Akan tetapi, ada pertanyaan apakah ia dapat meraih rasa hormat dan pengabdian yang sama seperti ibunya, yang memerintah Inggris selama 70 tahun. Menyusul kematian Ratu Elizabeth II, Perdana Menteri Antigua dan Barbuda—kerajaan Persemakmuran lainnya—mengatakan akan mengadakan referendum dalam waktu tiga tahun. (REUTERS/AFP/AP)