Jepang-Korsel Sejenak Lupakan Permusuhan
Untuk menghadapi ancaman di kawasan, Jepang dan Korea Selatan mempererat hubungan bilateral. Akan tetapi, masih ada urusan mengganjal, yakni isu buruh paksa di masa kolonialisme Jepang.
SEOUL, MINGGU — Untuk menghadapi ancaman dari pihak-pihak lain di kawasan seperti Korea Utara, Jepang dan Korea Selatan memperkuat hubungan bilateral. Dalam dua bulan terakhir, kedua pemimpin negara sudah bertemu dua kali dan ini untuk pertama kalinya terjadi dalam 12 tahun terakhir. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida tiba di Seoul, Korea Selatan, Minggu (7/5/2023), dan akan berkunjung selama dua hari untuk membalas kunjungan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol ke Tokyo, Maret lalu.
”Saya harap bisa bertukar pandangan dengan Presiden Yoon atas dasar kepercayaan kami. Sejak Maret sudah terjalin komunikasi beragam level di berbagai area termasuk keuangan dan pertahanan. Saya akan terus mengembangkan hubungan ini,” kata Kishida sebelum berangkat ke Seoul.
Baca juga : Dibayangi China dan Korut, Jepang-Korsel Perbaiki Hubungan Bilateral
Salah satu tema yang akan dibahas keduanya, antara lain, program pengembangan nuklir Korea Utara, kerja sama ekonomi dan keamanan Korsel-Jepang, dan isu-isu internasional lainnya. Pada pertemuan Maret lalu, Yoon dan Kishida sepakat akan mengaktifkan kembali kunjungan-kunjungan pejabat tinggi dan pembahasan lainnya. Selama dua pekan terakhir, kedua negara juga sudah mencabut hambatan-hambatan ekonomi yang selama ini diberikan satu sama lain dalam beberapa tahun terakhir.
Hubungan Seoul-Tokyo naik turun terus dan kerap terganjal isu panas terkait penjajahan Jepang pada 1910-1945 di Semenanjung Korea. Insiden terakhir yang mencederai hubungan keduanya terjadi pada 2018 ketika pengadilan di Korsel memerintahkan dua perusahaan Jepang untuk membayar kompensasi para mantan buruh paksa Korsel semasa zaman kolonial Jepang. Putusan itu membuat marah Jepang yang beranggapan semua masalah kompensasi sudah diselesaikan ketika kedua negara menormalisasi hubungan pada 1965.
Lantaran hubungan yang tegang, kedua negara menurunkan status perdagangan satu sama lain. Seoul mengancam akan membuat pakta berbagi intelijen militer. Sejumlah aktivis dan warga Korsel juga berkampanye untuk memboikot produk Jepang. Hubungan yang tegang antarkeduanya itu memperumit upaya Amerika Serikat untuk membangun aliansi regional yang lebih kuat guna mengatasi pengaruh China dan ancaman nuklir Korut dengan lebih baik.
Baca juga : Diplomasi Nasi Goreng ”Omurice” Menyelimuti Jepang dan Korsel
Namun, pemerintah konservatif Yoon mengambil langkah besar untuk memperbaiki hubungan dengan mengumumkan akan mengalokasikan anggaran untuk memberi kompensasi kepada para korban kerja paksa tanpa menuntut kontribusi dari perusahaan Jepang. Tindakan Yoon ini mendapat reaksi keras dari para korban kerja paksa dan saingan liberalnya di dalam negeri yang menuntut kompensasi langsung dari perusahaan Jepang.
Yoon membela keputusannya. Bagi dia, Korsel membutuhkan kerja sama yang lebih kuat dengan Jepang untuk mengatasi tantangan, seperti kemajuan program nuklir Korut, persaingan strategis AS-China yang kian intensif, dan masalah rantai pasokan global.
Pada akhir April, Yoon melakukan kunjungan kenegaraan ke AS. Bersama dengan Presiden AS Joe Biden, Yoon sepakat memperkuat kemampuan pencegahan terhadap ancaman nuklir Korut. Biden memuji keberanian politik dan komitmen pribadi Yoon untuk berdiplomasi dengan Jepang. Yoon, Biden, dan Kishida diperkirakan akan mengadakan pertemuan trilateral pada akhir bulan ini di sela-sela pertemuan Kelompok 7 (G7) di Hiroshima untuk membahas Korut, China, dan perang Rusia di Ukraina.
Para pengamat memperkirakan, jika Kishida menawarkan permintaan maaf baru atas kesalahan kolonial Jepang selama kunjungannya di Seoul, itu kemungkinan akan membantu Yoon mendapatkan dukungan domestik yang lebih besar untuk kebijakannya di Jepang. Kishida menjunjung tinggi posisi Pemerintah Jepang sebelumnya, termasuk deklarasi bersama pada 1998 oleh Tokyo dan Seoul tentang peningkatan hubungan, tetapi tidak membuat permintaan maaf baru.
Baca juga : Korea Selatan Buat Keputusan Berbeda Soal Jugun Ianfu
Dalam deklarasi 1998, PM Jepang saat itu Keizo Obuchi menyesal dan menyampaikan permintaan maaf atas pemerintahan kolonial. Pemerintah Jepang berkali-kali menyatakan penyesalan atau permintaan maaf atas masa kolonial. Akan tetapi, beberapa pejabat dan politisi Jepang kadang-kadang membuat komentar yang dituduh menutupi agresi Tokyo pada masa perang dan mendorong Seoul mendesak Tokyo untuk membuat permintaan maaf baru yang lebih tulus. (REUTERS)