AS-Korsel Ancam ”Akhiri” Rezim Korut jika Ada Serangan Nuklir
Meski demikian, tidak ada rencana menempatkan senjata nuklir AS di Korsel. Kesepakatan itu dinilai jauh dari apa yang diharapkan masyarakat Korsel.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol memperingatkan Korea Utara akan menghadapi kehancuran jika Pyongyang menyerang dengan senjata nuklirnya. AS sepakat membagikan rencana nuklirnya kepada Korsel sebagai perlindungan atas ancaman Korut.
”Serangan nuklir dari Korea Utara terhadap Amerika Serikat atau sekutu-sekutunya akan berakibat akhir dari rezim mana pun yang melakukannya,” kata Biden saat konferensi pers bersama Yoon.
Yoon menegaskan, prioritasnya adalah menjaga perdamaian melalui superioritas kekuatan dan bukan perdamaian palsu yang berdasarkan niat baik ”pihak seberang”. Jika ada serangan nuklir dari Korut, lanjut dia, Washington dan Seoul sepakat merespons dengan keras, akan membuat kewalahan, dan sangat meyakinkan menggunakan kekuatan penuh, termasuk senjata nuklir AS.
Biden dan Yoon menandatangani Deklarasi Washington untuk memperkuat payung nuklir AS atas Korsel. Ini mencakup mekanisme bagi kedua negara untuk berbagi informasi dan berkonsultasi jika ada serangan Korut. Namun, para komandan AS masih memegang kendali penuh atas senjata nuklir tersebut. Perjanjian itu juga lebih mengintegrasikan senjata militer konvensional Korsel dengan kekuatan nuklir AS.
Seorang pejabat senior AS yang berbicara dengan syarat anonim menggambarkan kesepakatan baru itu sebagai langkah yang mirip dengan yang dilakukan AS saat menjaga pertahanan Eropa terhadap Uni Soviet. ”AS belum pernah mengambil langkah ini lagi sejak puncak Perang Dingin terhadap segelintir sekutu terdekat kami di Eropa. Kami berupaya menjamin bahwa dengan prosedur baru ini, komitmen kami untuk memperluas (senjata) penggentar tidak perlu dipertanyakan lagi,” ujarnya.
Meski demikian, tidak ada rencana untuk menempatkan senjata nuklir AS di Korsel. Ini berbeda dengan saat Perang Dingin ketika senjata strategis AS ditempatkan di Eropa. Sebagai tambahan, Seoul menekankan janji untuk tidak membangun persenjataan nuklir sendiri.
Langkah pertama penerapan Deklarasi Washington akan mencakup pengerahan rutin aset-aset strategis AS, termasuk kunjungan kapal selam balistik nuklir ke Korsel—yang pertama sejak 1980-an. Berikutnya akan ada penempatan regular platform besar lainnya, seperti pesawat pengebom atau kapal induk.
Seorang pejabat AS mengatakan, langkah-langkah itu diambil agar tidak ”memanasi” China dan menghindari ketegangan dengan Beijing melalui postur militer yang lebih berat. ”Kami memberi tahu China dan menerangkan dengan jelas alasan rasional kami mengambil langkah-langkah itu,” ujarnya.
Walau terlihat ”keras”, kesepakatan Yoon-Biden itu dinilai jauh dari apa yang diharapkan masyarakat Korsel. Di samping itu, tampaknya langkah-langkah itu tidak akan bisa menghentikan Korut dari pengembangan dan uji coba senjata nuklir. Apalagi, tak sedikit warga Korsel yang menghendaki pemerintahnya mengembangkan program nuklir sendiri.
Sue Mi Terry dari lembaga Wilson Center menilai langkah AS hanya sebatas retorika dan dimaksudkan meredam keinginan Korsel menjadi negara nuklir. ”Masih harus dilihat apakah publik Korsel akan puas,” katanya.
Menurut Terry, dimulainya uji coba nuklir oleh Korut untuk pertama kalinya sejak tahun 2017 akan meningkatkan kewaspadaan di Korsel, juga keinginan untuk memiliki senjata nuklir sendiri. Minimal, kata dia, harapan agar AS menempatkan senjata nuklir taktis di wilayah Korsel. Bagaimanapun juga, meningkatkan keterlibatan Seoul dalam pertimbangan nuklir AS memberi jalan bagi Yoon untuk berargumen di dalam negeri bahwa Washington menanggapi kekhawatiran Seoul dengan serius. (AFP/REUTERS)