Warga Sudan tidak yakin dunia akan peduli pada nasib mereka. Sebab, pegawai pemerintah berbagai negara sudah meninggalkan Sudan. pemerintah sebagian negara tidak mau mengurus warga mereka sendiri di Sudan
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI/TANGKAPAN LAYAR/KOMPAS
Tangkapan layar dari video yang disiarkan Kementerian Luar Negeri RI menunjukkan warga Indonesia tiba di Jeddah, Arab Saudi pada Rabu (27/4/2023). Mereka bagian dari 897 WNI yang dievakuasi secara bertahap dari Sudan.
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia selesai mengevakuasi semua warganya yang mau keluar dari Sudan. Sebagian warga negara Indonesia menolak dievakuasi dari negara yang dilanda perang itu.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, gelombang kedua evakuasi sudah selesai pada Rabu (26/4/2023). Selain warga negara Indonesia (WNI), Indonesia juga membantu mengevakuasi enam warga Australia dan seorang warga Sudan. ”Dengan evakuasi tahap kedua ini, 897 WNI telah dievakuasi dari kota Khartum, Sudan,” ujarnya.
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Khartum sekaligus memutakhirkan data selama evakuasi. Hasilnya, terdapat 937 WNI di Sudan dari yang sebelumnya disebutkan 1.209 WNI. Sebanyak 897 WNI di antaranya telah dievakuasi dalam dua gelombang. Adapun 15 WNI lain mengungsi secara mandiri.
KBRI Khartum juga mencatat 25 WNI menolak dievakuasi karena alasan keluarga. Oleh karena itu, mereka tidak ikut dalam dua gelombang evakuasi yang dilakukan pemerintah sejak Minggu (23/4) itu.
Warga dapat menolak tawaran evakuasi dari pemerintah. Hal itu pernah terjadi kala Indonesia mengevakuasi warga dari Ukraina, Libya, Suriah, dan Irak. KBRI setempat lazimnya meminta penolak meneken surat pernyataan. Surat itu intinya adalah pernyataan bahwa mereka melepaskan pemerintah dari semua tanggung jawab atas keputusan mereka menolak dievakuasi.
Retno mengungkapkan, salah satu dari tujuh bus untuk evakuasi gelombang kedua mengalami kecelakaan di Atbarra. ”Terjadi kecelakaan tunggal yang menimpa salah satu dari tujuh bus pengangkut WNI di Atbarra akibat jalanan rusak. Tiga WNI terluka dan sedang dirawat di rumah sakit di Port Sudan. Mereka akan melanjutkan penyeberangan apabila dokter mengizinkan,” tutur Retno.
KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI/TANGKAPAN LAYAR/KOMPAS
Tangkapan layar dari video yang disiarkan Kementerian Luar Negeri RI menunjukkan warga Indonesia tiba di Jeddah, Arab Saudi pada Rabu (27/4/2023). Mereka bagian dari 897 WNI yang dievakuasi secara bertahap dari Sudan.
Seperti pada gelombang pertama, evakuasi gelombang kedua akan dilakukan dari Sudan ke Arab Saudi. Kantor berita Arab Saudi, SPA, mengabarkan, sejak gelombang pertama evakuasi, Jeddah telah menerima 2.148 orang. Mayoritas adalah warga asing dari 62 negara dan sisanya warga Arab Saudi.
Riyadh menjadikan Pangkalan Angkatan Laut Raja Faisal sebagai pusat penerimaan pengungsi dari Sudan. Pangkalan itu salah satu pelabuhan terdekat dari Port Sudan, pelabuhan milik Sudan di tepi Laut Merah.
Warga sejumlah negara dibantu pemerintahnya keluar dari Sudan. Sebagian lagi harus mengupayakan sendiri penyelamatan dari negara yang kembali dilanda perang itu. Hal ini, antara lain, dialami mayoritas dari 16.000 warga Amerika Serikat di Sudan. Washington telah menegaskan, tidak ada evakuasi oleh pemerintah untuk warga yang bukan pegawai atau keluarga pegawai Pemerintah AS.
Bagi pelajar Palestina pun, kondisi di Khartum saat ini lebih buruk dibandingkan Tepi Barat dan Gaza. ”Saya belum pernah melihat hal seperti ini seumur hidup. Semua orang ketakutan,” kata Khamis Jouda, mahasiswa Palestina yang mengungsi dari Khartum menuju Mesir.
Sepanjang perjalanan, ia dan rekan-rekannya menyaksikan penjarahan di berbagai lokasi. Mayat bergelimpang di jalan dan berbagai tempat umum. Selain itu, orang-orang tanpa seragam juga menyandang aneka jenis senjata api.
Penjarahan dan perampokan merebak. Bank, toko perhiasan, hingga apotek jadi sasaran penjarahan. Ada laporan salah satu pabrik tepung gandum di Khartum sudah terbakar selama beberapa hari terakhir. Tepung gandum merupakan bahan makanan pokok di Sudan.
KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI/TANGKAPAN LAYAR/KOMPAS
Tangkapan layar dari video yang disiarkan Kementerian Luar Negeri RI menunjukkan warga Indonesia tiba di Jeddah, Arab Saudi pada Rabu (27/4/2023). Mereka bagian dari 897 WNI yang dievakuasi secara bertahap dari Sudan.
Dalam kondisi itu, nasib hingga enam juta warga Khartum tidak jelas. Akibat ketiadaan pemerintahan faktual, enam juta warga Khartum dan total 45,5 juta warga Sudan telantar. Sebagian warga Khartum dan Omdurnan, kota di tetangga Khartum, mengungsi. Sebagian lagi tetap tinggal.
“Sejauh ini di tempat tinggal kami masih aman dari pertempuran. Tidak tahu kalau besok,” kata Mahasen Ali, salah seorang warga Khartum.
Warga Sudan merasa ditinggalkan berbagai negara lain. “Mengapa dunia mengabaikan kami,” kata warga lain di Khartum, Sumaya Yassin. Bagi mereka yang bertahan di Sudan, risikonya menjadi salah sasaran tembak atau pengeboman. Risiko lain adalah kelaparan karena cadangan pangan semakin menipis.
Warga Sudan tidak yakin pemerintah berbagai negara akan peduli pada nasib mereka. Sebab, pegawai pemerintah berbagai negara sudah meninggalkan Sudan. Jangankan kepada warga Sudan, pemerintah sebagian negara tidak mau mengurus warga mereka sendiri di Sudan.
Kecemasan dan kekecewaan itu terungkap kala pertempuran masih terus terjadi. Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan milisi RSF masih terus baku tembak di berbagai penjuru Khartum serta kota lain di Sudan. Panglima SAF Jenderal Abdul Fattah Burhan dan Panglima RSF Letnan Jenderal Hamdan Dagalo masih saling menyalahkan soal baku tembak yang tidak kunjung berhenti sejak Sabtu (15/4).
Juru Bicara Tim Transisi Demokrasi Sudan Khaled Omar Yusuf yang dikutip harian Al Rakoba mengatakan, hanya dengan kepastian gencatan senjata permanen Burhan dan Dagalo bisa berunding. Hasil perundingan itu nanti memungkinkan Sudan bertransisi menjadi negara demokrasi sipil.
KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI/TANGKAPAN LAYAR/KOMPAS
Tangkapan layar dari video yang disiarkan Kementerian Luar Negeri RI menunjukkan warga Indonesia tiba di Jeddah, Arab Saudi pada Rabu (27/4/2023). Mereka bagian dari 897 WNI yang dievakuasi secara bertahap dari Sudan.
Perwakilan Tetap Arab Saudi di Perserikatan Bangsa-bangsa juga setuju atas gencatan senjata permanen. Bersama Washington, Riyadh sebagian yang berusaha menengahi SAF-RSF.
Sejak pertempuran meletus, sudah beberapa kali SAF-RSF mengumumkan gencatan senjata. Gencatan terakhir diumumkan pada Selasa. Meski demikian, tetap saja suara baku tembak dan ledakan terdengar antara lain di Bahri, Omdurman, dan Khartum. SAF diduga memakai pesawat nirawak untuk menyerang lokasi pasukan RSF.
Sebagian lokasi saling serang SAF-RSF berada di permukiman dan fasilitas sipil. Sejumlah rumah sakit dan gudang pangan untuk warga tidak mampu hancur karena saling serang itu. Padahal, hingga 15 juta warga Sudan mengandalkan pangan gratis dari berbagai gudang sejenis.
PBB wajib menjamin terlaksananya pemberian bantuan sosial kepada warga yang membutuhkan.
Sejumlah organisasi amal menyebut, cadangan obat dan peralatan kesehatan semakin menipis. Sementara jumlah korban perang terus bertambah. Dari warga sipil saja, lebih dari 4.000 orang cedera dan lebih dari 400 orang tewas.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa kantor-kantor PBB di Khartum tetap buka. ”PBB wajib menjamin terlaksananya pemberian bantuan sosial kepada warga yang membutuhkan,” ujarnya.
Ia mendesak Dewan Keamanan PBB segera menggelar rapat terkait Sudan. Negara ini telah mengalami dua kali perang saudara dan yang terakhir berakhir pada 2005. Sejak itu, sebagian besar warganya sangat bergantung pada bantuan sosial dari PBB ataupun negara-negara donor. (AFP/REUTERS/DNE/RAZ)