Jerman Akhiri Era Tenaga Nuklir
Jerman tidak lagi menggunakan tenaga nuklir sebagai sumber energi. Pasokan energi untuk sementara akan dipenuhi batu bara dan gas alam cair. Ke depan, Jerman berharap pasokan listrik dari sumber energi terbarukan.
Berlin, Sabtu - Ketika negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Jepang, China, Perancis, dan Inggris meningkatkan investasi mereka dalam energi atom, Jerman justru memutuskan mematikan tiga reaktor nuklir terakhirnya. Jerman tengah mengembangkan sumber-sumber energi terbarukan.
Langkah Jerman sejatinya telah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Berlin berusaha meninggalkan tenaga nuklir sejak 2002 lalu dipercepat oleh mantan Kanselir Angela Merkel pada 2011 setelah bencana nuklir Pembangkit Tenaga Listrik Nuklir Fukushima di Jepang. Penghentian tenaga nuklir itu seiring dengan upaya Jerman yang juga berusaha melepaskan diri dari sumber bahan bakar berbasis fosil.
Baca juga: Memahami Pemanfaatan Tenaga Nuklir di Sekitar Kita
“Ini akhir dari era nuklir,” sebut perusahaan energi Jerman, RWE, dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (15/4/2023) malam. Reaktor nuklir Isar 2, PLTN di Neckarwestheim II, dan Emsland, dimatikan dan terputus dari jaringan listrik di seluruh negeri. Sebelumnya, Guido Knott, CEO PreussenElektra yang mengoperasikan Isar II, mengatakan mematikan reaktor nuklir menjadi momen yang sangat mengharukan. Tiga pembangkit terakhir ini hanya menyediakan enam persen dari seluruh kebutuhan energi Jerman pada tahun lalu. Pada 1997, seluruh pembangkit nuklir masih memasok 30,8 persen kebutuhan energi Jerman.
Keputusan untuk tak lagi menggunakan tenaga nuklir ini menjadi kebijakan populer di negara yang gerakan anti-nuklirnya kuat itu. Ini juga dipicu adanya ketakutan akan konflik Perang Dingin dan bencana atom seperti Chernobyl di Ukraina. Para pendukung anti-nuklir merayakan “kemenangan” ini dengan turun ke jalan. Greenpeace yang menjadi jantung gerakan anti-nuklir berpesta di Gerbang Brandenburg, Berlin. Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Steffi Lemke, mengatakan risiko tenaga nuklir pada akhirnya tidak dapat dikendalikan,” kata Lemke yang berkunjung ke Fukushima menjelang pertemuan kelompok G7 di Jepang.
Anggota parlemen Juergen Trittin mengatakan akhirnya Jerman bisa mengakhiri teknologi nuklir yang berbahaya, tidak berkelanjutan, dan berbiaya mahal. Dalam rencana awal, Jerman akan menghentikan tenaga nuklirnya pada akhir tahun 2022. Tetapi ditunda gara-gara pasokan gas Rusia yang berkurang akibat konflik. Saat krisis energi itu, Jerman sebagai penghasil emisi terbesar di Uni Eropa (UE), juga menyalakan beberapa pembangkit berbahan bakar batu bara kapur barus untuk menutupi potensi celah yang ditinggalkan oleh gas. “Jerman harus memperluas pasokan energi dan tidak membatasinya lebih jauh mengingat potensi kekurangan dan harga yang tinggi,” kata Presiden Kamar Dagang Jerman, Peter Adrian kepada harian Rheinische Post.
Kritik
Namun, keputusan Jerman untuk menghentikan energi nuklir dan bahan bakar fosil ini menimbulkan skeptisisme di dalam dan luar negeri. Para pendukung penggunaan energi atom mengecam penghentian nuklir Jerman ini. Mereka menilai tenaga nuklir menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih sedikit dan aman jika dikelola dengan baik. Tenaga nuklir juga bisa menjadi alternatif pengganti bahan bakar fosil yang harus dihapuskan sebagai bagian dari upaya global untuk mengendalikan perubahan iklim. Puluhan ilmuwan, termasuk James Hansen, mantan ahli iklim NASA yang pernah populer karena kampanye pemanasan global pada 1988, mendesak Jerman agar tetap mengoperasikan PLTN-nya.
Baca juga: Energi Nuklir Dinilai Mampu Mendukung Penurunan Emisi
Akan tetapi, Pemerintah Jerman memastikan situasi energi terkendali karena ada simpanan gas dan sudah membangun infrastruktur baru untuk menampung impor gas alam cair. Pada tahun 2030, pemerintah berfokus memproduksi 80 persen energi dari energi terbarukan. Terkait dengan ini, Kanselir Jerman Olaf Scholz, menyerukan pemasangan 4-5 turbin angin dalam sehari selama beberapa tahun ke depan. Pada tahun lalu, terpasang 551 turbin. Hanya saja, perkembangan energi terbarukan saat ini masih terlalu lambat bagi Jerman, terutama untuk memenuhi tujuan perlindungan iklimnya. “Meski keluar dari nuklir, Jerman belum mendorong perluasan energi terbarukan dalam 10 tahun terakhir,” kata Simon Mueller dari lembaga kajian Agora Energiewende.
Gubernur Bavaria, Markus Soeder, menilai penghentian tenaga nuklir itu keputusan yang keliru. Di saat banyak negara di dunia memperluas penggunaan tenaga nuklirnya, Jerman malah melakukan sebaliknya. “Kita membutuhkan semua bentuk energi yang ada. Jika tidak, ada risiko harga listrik akan lebih mahal dan banyak industri akan pindah ke tempat lain,” ujarnya.
Baca juga: Nuklir, Salah Satu Andalan Dunia Menuju Emisi Nol
Pemerintah Jerman mengakui dalam jangka pendek harus lebih banyak bergantung pada batu bara dan gas alam yang berpolusi untuk memenuhi kebutuhan energinya. Sambil menunggu pasokan energi dari tenaga surga dan angin. Jerman masih bertekad menjadi netral karbon pada 2045. Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Steffi Lemke juga membantah gagasan kebangkitan nuklir. Menurutnya itu hanya mitos karena produksi listrik global dari energi atom justru menyusut.
Inggris saja, kata Lemke, kewalahan dengan pembiayaan PLTN Hinkley Point C. Dana yang digunakan untuk memelihara reaktor tua atau membangun yang baru akan lebih baik digunakan untuk memasang energi terbarukan yang murah. “Tenaga nuklir memasok listrik untuk tiga generasi tetapi warisannya tetap berbahaya bagi 30.000 generasi,” kata Lemke.
Perdebatan yang saat ini tengah terjadi di Jerman dan belum ada solusinya adalah apa yang harus dilakukan dengan bahan radioaktif yang terakumulasi selama 62 tahun sejak reaktor pertama Jerman itu mulai. Ratusan kontainer limbah beracun belum tahu akan dibuang atau disimpan dimana.
Menemukan tempat untuk menyimpan bahan bakar nuklir bekas dengan aman adalah masalah yang juga dihadapi negara lain yang menggunakan teknologi itu, termasuk AS. Namun, Menteri Energi AS, Jennifer Granholm, mengatakan tenaga nuklir akan “memainkan peran penting dalam masa depan energi bersih Amerika,” ujarnya. (AFP/AP)