AS dan Eropa Menghadapi Trilema dalam Perekonomian
"Misi stabilisasi harga, pertumbuhan dan stabilitas keuangan di tengah kenaikan suku bunga mirip dengan mission impossible,” kata ekonom Amerika Serikat DR Nouriel Roubini
AS dan Eropa sedang menghadapi trilema dalam perekonomian. Trilema muncul sehubungan dengan meningkatnya krisis perbankan di tengah inflasi tinggi dan rapuhnya pertumbuhan. Inti trilema, pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, dan stabilitas sektor perbankan dan keuangan tidak akan bisa dicapai bersamaan.
Sebagai bagian utama perekonomian dunia, trilema ini akan mengimbas ke seluruh dunia. Jika otoritas moneter AS dan Eropa mengatakan tiga hal itu bisa dicapai, serupa saja dengan membohongi diri mereka sendiri. “Dalam pandangan saya, misi stabilisasi harga, pertumbuhan dan stabilitas keuangan di tengah kenaikan suku bunga mirip dengan mission impossible,” kata ekonom AS DR Nouriel Roubini, 14 April.
Baca juga: Tugas Fed Menurunkan Inflasi Terlalu Berat (Bagian 1)
Hal serupa juga berkali-kali dinyatakan oleh penasihat ekonomi Allianz, Mohamed El-Erian. Bank Sentral AS (Federal Reserve) tidak hanya menghadapi dilema dalam perang melawan inflasi yang akan menurunkan pertumbuhan. Dilema telah berkembang menjadi trilema dengan munculnya kerapuhan sektor keuangan. “Kita tidak memiliki jalan keluar dari trilema itu,” kata El-Erian kepada CNBC, 27 Maret.
Salah satu dari tiga faktor itu, yakni pertumbuhan tidak akan bisa dicapai dalam proses menurunkan inflasi lewat kenaikan suku bunga. Dalam kasus ekstrem, sektor keuangan juga tidak akan stabil dan pertumbuhan rapuh saat suku bunga dinaikkan.
Isu trilema mencuat setelah bank sentral AS dan Eropa berjuang menurunkan inflasi dengan menaikkan suku bunga. Hal itu turut menurunkan pertumbuhan ekonomi (lihat tabel 1). Proyeksi pertumbuhan sepanjang 2023 akan turun di AS dan Eropa.
Kerapuhan perbankan dan keuangan
Akan tetapi kenaikan suku bunga juga telah mencuatkan krisis keuangan. Inggris kini sedang mengidap krisis keuangan dan perbankan serta lembaga-lembaga dana pensiunan akibat kenaikan suku bunga. Aset-aset bank dan dana pensiunan dalam bentuk obligasi menurun akibat naiknya suku bunga. Nilai obligasi turun jika suku bunga naik, demikian sebaliknya.
Situasi lebih parah adalah Amerika Serikat dengan kebangkrutan Silicon Valley Bank (SVB). Aset SVB yang ditempatkan dalam bentuk obligasi yang sebenarnya aman dan kini berbunga tinggi, menurun karena suku bunga naik. Ini di samping perolehan pendapatan dari debitor yang juga anjlok, disertai manajemen buruk oleh para bankir SVB yang ceroboh dan tamak.
Baca juga: Perang Dagang oleh Trump-Biden Ikut Terbangkan Inflasi (2)
SVB mengalami pelarian deposito besar-besaran lalu bangkrut walau dana-dana nasabah dan SVB diselamatkan. Namun, krisis SVB telah mengimbas ke seluruh perbankan, yang juga sama-sama menderita akibat kenaikan suku bunga.
Swiss turut menjadi korban dengan kebangkrutan Credit Suisse dan terpaksa membuat pemerintah Swiss turun tangan dengan talangan 200 miliar dollar AS lebih.
Perbankan AS memiliki kerugian besar hingga 1,8 triliun dollar AS karena memegang obligasi , akibat kenaikan suku bunga. “Jika kekuatan keuangan perbankan diukur sehubungan dengan kenaikan suku bunga, secara teknis perbankan AS sudah bangkrut,” kata Roubini. Total modal perbankan AS 2,2 triliun dollar AS, tidak jauh dari total kerugian yang memang tidak dibukukan.
Krisis perbankan muncul di tengah pertumbuhan yang juga menurun di seluruh dunia. Dengan demikian kenaikan suku bunga telah memunculkan trilema.
Berusaha bersikap yakin
Menkeu AS Janet Yellen dan Gubernur Bank Sentral AS (Federal Reserve/Fed) Jerome Powell berkali-kali menekankan, optimis akan pertumbuhan ekonomi dan kestabilan harga-harga dengan menurunnya inflasi. Yellen dan Powell juga mengatakan perbankan memiliki daya tahan kuat.
Hal serupa dinyatakan Presiden Bank Sentral Eropa (ECB), Christine Lagarde, 20 Maret. Lagarde mengatakan inflasi sudah menurun, perbankan berdaya tahan kuat dan pererekonomian berada dalam jalur pertumbuhan.
Yellen, Powell, dan Lagarde bukan membantah risiko trilema tetapi tetap yakin trilema tidak akan terjadi. Demikian juga pasar, masih tetap menunjukkan daya tahan walau selalu bergejolak sejak kenaikan suku bunga inti di AS dimulai sejak Maret 2022 dari 0 – 0,25 persen hingga 4,7 – 5 persen sejauh ini.
Baca juga: Ekonomi Barat Menuju ”Hard Landing”, Konsekuensi Kebijakan Buruk
Namun sebagian pelaku pasar tidak yakin bahkan tidak mendengar serta tidak percaya dengan ucapan otoritas. “Jika Bank Sentral AS (Fed) yakin kerapuhan ekonomi akan hilang sendiri, sama saja dengan membohongi dirinya,” demikian pernyataan Danny Moses, investor besar portfolio AS, CNBC, 16 Maret.
Dalam keterangan terbaru, 13 April, Danny Moses, pendiri Moses Ventures, mengatakan ia lebih baik tidak mendengar Jerome Powell. Ia lebih melihat fundamental ekonomi, terutama perbankan. Moses mengatakan ancaman perbankan berikutnya adalah penurunan perolehan laba. Ini terjadi karena kenaikan suku bunga juga menekan debitor perbankan.
Krisis perbankan berlanjut
Faktor trilema diawali dengan pelarian deposito yang terjadi setelah kebangkrutan SVB. “Kini perbankan memiliki basis deposito lebih rendah,” kata Roubini. Pelarian deposito sudah terjadi sebelum krisis SVB. Deposito di bank yang berbunga rendah, tidak lebih menguntungkan ketimbang memegang obligasi pemerintah AS berbunga lebih tinggi.
Jika perbankan yang bertahan ingin merangsang masuk deposito dengan suku bunga 5 persen, hal itu sulit terwujud. Deposan untuk sementara merasa ngeri dengan perbankan yang rawan. Deposan lari ke market fund dengan untung 4 – 5 persen walau rawan.
Jika bank sukses menarik deposito dengan bunga tinggi, dari tadinya berbunga nol persen, bunga pinjaman ke debitor juga pasti harus dinaikkan. “Perbankan meminjamkan dana ke usaha kecil, ke rumah tangga, ke real estat, dan bisnis. Ini akan menciptakan krisis kredit,” kata Roubini. Kenaikan bunga juga akan meningkatkan risiko gagal bayar dari debitor perbankan.
Baca juga: Perubahan Kultur Korporasi Turut Menenggelamkan Credit Suisse (Bagian 1)
Suara lesu dari dunia bisnis juga muncul. Mantan pimpinan umum Home Depot CEO Bob Nardellli, Fox Business, 14 Maret, mengatakan kebangkrutan usaha retail kini meluas. “Situasinya berbeda dari apa yang pernah saya amati. Keadaan ekonomi amat kompleks. Konsumen kelas menengah dalam tekanan besar,” kata Nardelli.
“Saya kira akan ada banyak kebangkrutan, seperti Bed Bath & Beyond dan Foot Locker. Kita melihat Walmart tidak saja memecat pekerja tetapi juga menutupi tokok-tokonya. Kita melihat Accenture mengurangi pekerja. Kita menemukan Amazon menutup pusat-pusat distribusi. Saya kira ada banyak pesan besar,” kata Nardelli yang mengatakan segalanya beda dalam usianya yang ke-52.
Berdasarkan analisis UBS, ada 50.000 lokasi retail yang akan tutup permanen dalam lima tahun ke depan. Sebesar 5 persen dari 940.000 toko di AS akan ditutup pada akhir 2027. Jumlah toko yang yang ditutup pada 2023 sudah banyak dibandingkan 2022.
Eropa juga tidak aman. “Hal yang tidak banyak diketahui adalah kegiatan perbankan gelap. Kelompok ini mungkin lebih rawan terhadap kenaikan suku bunga,” kata Matthew Pointon, ekonom yang membidangi properti di Capital Economics.
Masalah tidak selesai
Investor legendaris di pasar dari GMO, Jeremy Grantham, mengingatkan pertolongan untuk meredakan perbankan dan pasar sudah dilakukan Fed dan lembaga-lembaga terkait setelah krisis SVB merebak (Fortune, 14 April). Namun peramal akurat krisis 2008 ini mengatakan krisis lanjutan tidak terhentikan.
“Hal lain akan meletus dan siapa tahu akan seperti apa letusan itu,” kata Grantham, dalam wawancara dengan CNN, 13 April. “Tekanan dalam sistem keuangan bukan berarti telah berakhir,” kata Grantham setelah ada pertolongan Fed ke sistem perbankan.
Baca juga: Credit Suisse, Dari Bank Bereputasi Hingga Penggelapan Pajak dan Membantu Marcos (Bagian 2)
Grantham melihat, Fed memasang suku bunga rendah terlalu lama sejak 2008, hanya mulai naik mulai sedikit pada 2013, dan lalu kembali ke nol persen pada 2020. Semuanya menjadikan aset-aset menggelembung yang siap meletus. Ia tidak menolak kenaikan suku bunga sekarang.
Namun Grantham melihat langkah Jerome Powell sekarang mirip langkah Paul Volcker (Gubernur Fed periode 1975-1979, dan 1983-1987). Untuk menurunkan inflasi yang pernah mencapai puncaknya 9,1 persen pada Juni 2022, Fed menaikkan suku bunga sembilan kali. Langkah serupa pernah dilakukan oleh Volcker diikuti dengan resesi ekonomi AS.
Para bankir tamak
Persoalan lain bukan hanya kenaikan suku bunga. Dana-dana murah telah dikelola secara sembrono. Pimpinan umum (CEO) JPMorgan Chase, Jamie Dimon, juga menyalahkan Fed yang tidak melakukan stress testing atas perbankan di tengah kenaikan suku bunga. Namun ini juga akibat adanya pelonggaran pengawasan perbankan di era Presiden Donald Trump.
Moses melengkapinya dengan mengatakan, tidak semua bankir itu tamak. Akan tetapi ada risiko manajemen buruk. Warren Buffett, CNN, 12 April, juga mengatakan agar para bankir gagal dikenai hukuman. Buffett menuduh perbankan telah berbuat curang, menutupi borok dengan menampilkan laporan keuangan yang menggambarkan hal baik-baik saja.
Daya rusak di sektor perbankan, yang telah mengacaukan sektor keuangan, ini membentuk dengan sendirinya efek destruktif. Penyelesaian atas masalah ini tidak lagi cukup dengan perlambatan kenaikan suku bunga. Masalah juga tidak selesai dengan penyuntikan dana darurat Fed ke perbankan sebesar 300 miliar dollar AS pada kuartal pertama 2023 menyusul krisis SVB.
Ada efek kenaikan suku bunga ke sektor riil, ada efek destruktif yang terbentuk dengan sendirinya akibat keberadaan dana-dana murah sekian tahun. Maka, perlambatan kenaikan suku bunga dan penyuntikan dana darurat tidak mencegah trilema. (REUTERS/AP/AFP)