UNESCO Ingatkan Etika dalam Penerapan Kecerdasan Buatan
UNESCO menyerukan kepada semua negara untuk sepenuhnya mengimplementasikan Rekomendasi UNESCO pada Etika Kecerdasan Sosial secepatnya. Kerangka kerja global ini telah diadopsi secara bulat oleh 193 negara anggota.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·3 menit baca
PARIS, MINGGU — Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menyerukan sekaligus mengingatkan semua pemerintahan untuk mengimplementasikan kerangka kerja etika dalam penerapan kecerdasan buatan. Seruan ini disampaikan sehari setelah rilis petisi yang ditandatangani para tokoh teknologi menyerukan penangguhan pengembangan teknologi kecerdasan buatan.
”UNESCO menyerukan kepada semua negara untuk sepenuhnya mengimplementasikan Rekomendasi UNESCO pada Etika Kecerdasan Sosial secepatnya. Kerangka kerja normatif global yang diadopsi secara bulat oleh 193 negara anggota UNESCO ini menyediakan semua perlindungan yang diperlukan,” kata UNESCO dalam rilis di laman resminya, Kamis (30/3/2023).
UNESCO sebenarnya telah merilis Rekomendasi Etika untuk Kecerdasan Buatan pada November 2021. Rekomendasi ini merupakan kerangka kerja global pertama yang berisi tentang etika-etika penggunaan kecerdasan buatan.
Namun, dengan adanya petisi yang menyerukan penangguhan pengembangan kecerdasan buatan selama enam bulan sebagaimana diunggah pada laman Future of Life Institute, Rabu (29/3/2023), UNESCO kembali mengingatkan rekomendasi tersebut.
Hingga Minggu (2/4/2023) pukul 16.00 WIB, petisi telah ditandatangani 2.825 orang. Termasuk di dalamnya adalah tokoh-tokoh penting di bidang teknologi. Sebut saja, misalnya, perintis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), Yoshua Bengio.
Ada pula peneliti AI terkemuka lainnya, seperti Stuart Russell dari Universitas California-Berkeley dan Gary Marcus dari Universitas New York. Tak ketinggalan juga Elon Musk (CEO Tesla), Steve Wozniak (Co-founder Apple), dan Yuval Noah Harari (Profesor Hebrew University of Jerusalem).
Rekomendasi UNESCO memandu negara-negara dalam memaksimalkan manfaat dari kecerdasan buatan sekaligus meminimalkan risiko-risikonya. Rekomendasi tidak hanya memuat nilai dan prinsip, tetapi juga memberikan rekomendasi kebijakan terperinci di semua bidang yang relevan.
Kerangka kerja tersebut dikeluarkan karena UNESCO prihatin dengan banyaknya masalah etika yang muncul dalam pengunaan kecerdasan buatan. Sebut saja, misalnya, diskriminasi dan stereotip, ketidaksetaraan jender, dan disinformasi. Ada juga persoalan yang menyerang hak privasi, pelindungan data pribadi, serta hak asasi manusia dan lingkungan.
Pengaturan mandiri oleh industri teknologi, menurut UNESCO, tidak cukup. Oleh karena itu, rekomendasi UNESCO menyediakan alat untuk memastikan bahwa pengembangan kecerdasan buatan mematuhi aturan hukum dan menghindari bahaya.
Rekomendasi UNESCO juga memastikan bahwa ketika terjadi kerusakan, maka mekanisme akuntabilitas dan ganti rugi dilakukan. Mekanisme ini harus dan perlu tersedia bagi mereka yang terkena dampak.
Selain itu, rekomendasi UNESCO menempatkan alat penilaian kesiapan sebagai inti panduan untuk negara anggota. Hal ini memungkinkan negara untuk memastikan kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan dalam tenaga kerja guna memastikan regulasi yang kuat dari sektor kecerdasan buatan.
Rekomendasi UNESCO juga mengatur bahwa negara melaporkan secara teratur kemajuan dan praktik mereka di bidang kecerdasan buatan. Caranya dengan mengirimkan laporan berkala setiap empat tahun sekali.
Hingga saat ini, masih mengutip rilis UNESCO, lebih dari 40 negara di seluruh wilayah dunia telah bekerja sama dengan UNESCO untuk mengembangkan mekanisme cek dan keseimbangan atas kecerdasan buatan di tingkat nasional.
UNESCO menyerukan kepada semua negara untuk bergabung dengan gerakan yang dipimpinnya untuk membangun kecerdasan buatan yang beretika. Laporan kemajuan akan dipresentasikan di Forum Global UNESCO tentang Etika Kecerdasan Buatan di Slovenia pada Desember 2023.