Konsumsi daging dunia terus meroket. Padahal, peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca yang besar. Sejumlah inisiatif budidaya daging menggunakan sel mulai dikembangkan.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·3 menit baca
Sebuah bakso yang dibuat dari daging hasil budidaya berbasis DNA gajah purba atau mammoth diperkenalkan ke masyarakat di Museum Sains NEO di Amsterdam, Belanda, Senin (25/3/2023). Ukuran bakso itu kira-kira dua kali volume bola tenis.
Adalah Vow, perusahaan pembudidaya daging asal Australia, yang menyelenggarakan penelitian hingga akhirnya mampu menciptakan daging hasil budidaya berbasis DNA mammoth tersebut.
Mengutip The Sidney Morning Herald, Vow menggunakan informasi genetik mammoth yang tersedia untuk umum dan mengisi bagian-bagian yang hilang dengan data genetik dari keluarga terdekat mammoth, yakni gajah Afrika. Selanjutnya, Vow memasukkannya ke dalam sel domba.
Dalam hal daging, mioglobin bertanggung jawab atas aroma, warna, dan rasa.
Dengan kondisi yang tepat di laboratorium, sel-sel itu kemudian tumbuh berlipat ganda sampai pada titik cukup digulung menjadi bakso. Penelitian ini sifatnya kasus khusus dan belum diuji coba, sekalipun oleh penciptanya.
Gen tunggal atau mioglobin dari mammoth, sebagaimana disebutkan Kepala Ilmuwan Vow James Ryall berperan penting dalam produksi itu. ”Dalam hal daging, mioglobin bertanggung jawab atas aroma, warna, dan rasa,” kata Ryall.
Bakso mammoth tidak direncanakan untuk diproduksi secara komersial. Peluncurannya di Amsterdam ditujukan untuk lebih memicu diskusi publik tentang masa depan daging budidaya.
”Kami ingin agar orang-orang bersemangat tentang masa depan pangan yang berbeda dengan apa yang ada selama ini. Bahwa ada beberapa hal unik dan lebih baik dari daging-daging yang kita konsumsi selama ini. Dan, kami berpikir mammoth akan menjadi pemicu diskusi dan membuat orang-orang bersemangat tentang masa depan baru ini,” tutur pendiri Vow, Tim Noakesmith.
Ernst Wolvetang dari Australian Institute of Bioengineering yang bekerja dengan Vow pada proyek itu menyatakan, konsumsi bakso mammoth perlu uji coba dulu. Untuk saat ini, proyek tersebut tidak bisa dikonsumi.
”Untuk sekarang, saya tidak akan menyantapnya karena kita tidak pernah menjumpai protein semacam ini selama 4,000 tahun. Namun, setelah uji coba yang aman, saya penasaran bagaimana cita rasanya,” katanya.
Daging budidaya atau sering disebut juga dengan istilah daging berbasis sel dibuat dari sel hewan. Ide dasarnya adalah tidak perlu membunuh hewan untuk menikmati daging. Pada saat yang sama, konsep ini lebih ramah lingkungan.
Lebih dari 100 perusahaan di dunia mengembangkan produk daging budidaya. Banyak di antaranya adalah perusahaan rintisan seperti Vow.
Sejauh ini, hanya Singapura, satu-satunya negara yang telah mengizinkan daging hasil budidaya berbasis sel untuk dikonsumsi.
Para ahli berpendapat jika budidaya daging diterima luas, gagasan itu akan dengan cepat mengurangi dampak produksi daging pada masa depan. Saat ini, miliaran hektar lahan digunakan untuk areal peternakan.
Sejauh ini, hanya Singapura, satu-satunya negara yang telah mengizinkan daging hasil budidaya berbasis sel untuk dikonsumsi. Vow berharap bisa menjual produk perdananya ke negara itu, yakni daging puyuh Jepang hasil budidaya sel. Targetnya tahun ini.
Christopher Bryant, pakar protein alternatif di Inggris, menyatakan, pencinta daging tak perlu khawatir dengan daging budidaya yang dikembangkan dari sel. ”Berbeda dengan daging konvensional yang berasal dari hewan kotor dan tidak bisa diprediksi, daging budidaya diproduksi dengan presisi ekstrem dalam fasilitas produksi pangan yang tersanitasi,” katanya.
Dengan demikian, Bryant melanjutkan, daging budidaya terhindar dari patogen bawaan makanan, antibiotik, dan kontaminan lain yang sering ditemukan pada daging dari hewan.
Konsumsi daging diproyeksikan meningkat lebih dari 70 persen pada 2050.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, konsumsi daging secara global pada hari ini sudah mencapai hampir dua kali lipat dari awal 1960-an. Kontribusi peternakan global mencapai 14,5 persen dari total emisi gas rumah kaca yang disebabkan manusia.
Konsumsi daging diproyeksikan meningkat lebih dari 70 persen pada 2050. Para ilmuwan belakangan semakin mendalami penelitian tentang daging nabati dan daging yang diproduksi di laboratorium. (AP/AFP/REUTERS)