Ancaman Radioaktif ke Lumbung Pangan Dunia
Militer AS tahu bahaya penggunaan depleted uranium atau uranium sisa. Militer AS juga sudah lama tahu peluru itu tidak dipakai di area sipil. Sayangnya, peluru itu dipakai AS dan sekutunya di berbagai area sipil

Dalam foto yang direkam pada Juni 2022 ini terlihat sebagian peluru berlapis uranium sisa milik Amerika Serikat. Pada Maret 2023, Inggris mengumumkan akan mengirimkan peluru sejenis ke Ukraina.
Setelah 13 bulan berlangsung, Perang Ukraina membawa ancaman lebih serius bagi populasi global. Negara yang, sebelum diserbu Rusia pada Februari 2022, menjadi pemasok penting sejumlah bahan pangan global itu terancam menjadi penyebar radioaktif ke sebagian populasi Bumi.
Dalam pernyataan pada Sabtu (25/3/2023), Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan rencana penempatan senjata nuklir taktis (TNW) di Belarus. Kementerian Luar Negeri Ukraina meminta Perserikatan Bangsa-bangsa bertindak selepas pengumuman itu. Sebab, pengumuman meningkatkan potensi penggunaan senjata nuklir di perang Ukraina.
Beberapa hari sebelum pengumuman Putin, Inggris mengungkap rencana mengirim peluru berlapis uranium sisa (depleted uranium) ke Ukraina. Pengiriman peluru yang dikenal sebagai amunisi DU itu bagian dari hibah tank dari Inggris untuk Ukraina.
Dengan kadar berbeda, TNW Rusia dan peluru pasokan Inggris sama-sama menggunakan uranium. Butuh miliaran tahun untuk mengurangi separuh kadar radioaktif uranium dari TNW dan peluru pasokan Inggris.
Baca juga Tak Mau Kalah dari AS, Rusia Kembali Tempatkan Nuklir Taktis di Luar Negeri
Belum jelas kapan TNW dan amunisi DU itu dipakai di Ukraina. Hal yang jelas, bom dan peluru itu bisa dipakai di Ukraina. Sebagian akan jatuh dan mencemari ladang-ladang Ukraina. Padahal, ladang-ladang itu menjadi sumber pangan bagi setidaknya lima persen penduduk Bumi.
Badan PBB untuk Program Pangan, WFP, mendapatkan 40 persen gandumnya dari Ukraina. WFP membagikan gandum itu ke berbagai tempat penampungan pengungsi. Berbagai negara Afrika dan Asia, serta tentu saja Eropa, mengandalkan ekspor Ukraina untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Minyak biji bunga matahari, gandum, jelai, dan jagung adalah kontribusi Ukraina untuk pangan dunia. Rencana Inggris dan Rusia membuat sumber pangan itu terancam menjadi sumber racun bagi ratusan juta penduduk Bumi.
Dampak
Berbagai kajian sudah menunjukkan dampak bom nuklir bagi manusia. Sampai sekarang di sejumlah negara Pasifik Selatan, ada ratusan ribu orang menanggung masalah kesehatan. Pangkalnya adalah uji coba bom nuklir oleh Amerika Serikat dan Perancis di sana. Sementara Jepang, satu-satunya negara yang pernah diledakkan bom atom di masa perang, masih terus menanggung kasus-kasus kesehatan akibat peristiwa puluhan tahun lalu.

Ada pun untuk depleted uranium, dampak dan jumlah korbannya lebih kabur. Dalam edisi September 2021, Harvard International Review mengungkap serangkaian upaya AS dan sekutunya merintangi penelitian dampak penggunaan amunisi depleted uranium. Pada 2001, AS bersama sejumlah sekutunya menentang pengesahan resolusi Majelis Umum PBB terkait penelitian dampak depleted uranium.
Ada pun Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) melarang Irak mengakses perangkat pengawas dampak penggunaan depleted uranium pada warga Irak. IAEA beralasan, akses itu bisa disalahgunakan untuk mengembangkan senjata nuklir.
Irak memang salah satu negara dengan masalah serius akibat peluru depleted uranium. Ukraina sedang mengupayakan kemerdekaan dari Uni Soviet kala amunisi depleted uranium mulai digunakan AS dan Inggris di Irak pada 1990. London-Washington memakai peluru depleted uranium untuk menghancurkan banyak tank T72 milik Irak. Tank-tank buatan Uni Soviet itu salah satu tulang punggung pertahanan Irak.
Peluru itu dilapisi uranium-238 atau U-238. Uranium jenis itu merupakan produk sampingan dari produksi isotop uranium untuk bahan bakar reaktor nuklir dan fasilitas kesehatan. Karena lebih keras dari tungsten, peluru depleted uranium lebih ampuh menembus lapisan baja di kendaraan perang.
Baca juga Hendak Kirim Uranium Habis ke Ukraina, Inggris Bermain Api
Badan PBB untuk Program Lingkungan (UNEP) melaporkan, setidaknya 300 ton peluru depleted uranium ditembakkan AS dan sekutunya dalam Perang Teluk 1991. Tidak hanya depleted uranium, UNEP juga menduga AS dan sekutunya menembakkan hingga 1.700 ton amunisi berlapis logam berbahaya di Irak selama perang 1990. Mayoritas peluru depleted uranium ditembakkan dari pesawat, sebagian lagi dari tank.
Peluru depleted uranium juga dipakai AS dan sekutunya kala menyerbu Afghanistan, Irak, Suriah, dan Yugoslavia bertahun-tahun kemudian. Bahkan, dalam artikel Harvard International Review, jumlah peluru depleted uranium yang ditembakkan AS dan sekutunya dalam serbuan ke Irak pada 2003 mencapai 2.000 ton. Washington dan sekutunya juga meninggalkan ribuan ton lain peluru depleted uranium yang tidak terpakai di berbagai gudang di Irak.

Tim pembersih ranjau, sisa amunisi beradiasi memperlihatkan sebutir peluru kaliber 30mm berlapis depleted uranium yang digunakan NATO dalam serangan udara di Bosnia pada 1995. Peluru itu ditemukan di sebuah bekas pabrik militer di Vogosca, tak jauh dari Sarajevo pada 15 Januari 2001.
LSM Belanda yang meneliti penggunaan peluru depleted uranium di Irak, IKV Pax for Peace, menemukan bukti pencemaran depleted uranium di setidaknya 1.000 lokasi di Irak. Mayoritas lokasi merupakan area sipil. Padahal, AS telah mengeluarkan panduan penggunaan peluru depleted uranium sejak 1975.
Dalam edaran yang dikeluarkan Divisi Hukum Internasional Angkatan Udara AS itu ditegaskan, peluru depleted uranium hanya boleh digunakan untuk menyasar tank dan kendaraan lapis baja. Edaran itu juga memperingatkan, dampak penggunaan peluru depleted uranium bisa meningkatkan risiko pada warga sipil. Sayangnya, edaran itu tidak dijalankan dalam rangkaian serangan AS ke berbagai negara.
Kanker
Serbia mengklaim, setidaknya 30.000 orang menderita kanker terkait radioaktif setelah Pakta Pertahanan Atlantik Utara menyerbu Yugoslavia. Pada 2020, setidaknya 20.000 orang dari keseluruhan penderita itu telah meninggal dunia. Dalam laporan pada 1991, IAEA memperingatkan tambahan hingga 500.000 kematian akibat kanker di Irak. Kasus-kasus kanker itu, menurut IAEA, berkaitan dengan serangan AS dan sekutunya.
Pengampanye antisenjata nuklir Australia, Helen Mary Caldicot, meringkas dampak depleted uranium pada manusia. Dokter spesialis anak itu menyebut, DNA manusia bisa bermutasi bila tercemar depleted uranium . Kasus gagal ginjal bisa meningkat jika mengonsumi cairan dan makanan tercemar depleted uranium .
Berbagai riset menemukan cemaran depleted uranium di sungai dan danau Afghanistan, Irak, bekas Yugoslavia, dan Suriah. Cemaran itu menyusup ke berbagai tanaman dan hewan yang dikonsumsi manusia.
Baca juga Tiga Negara yang Paling Diuntungkan Perang Ukraina
Dalam kajian yang hasilnya disirkan pada 2020 diungkap, anak-anak Irak lebih berisiko mengidap penyakit bawaan. Pada gigi dan rambut anak-anak yang tinggal dekat pangkalan dan bekas lokasi serangan AS di Irak ditemukan kandungan thorium 28 kali lebih tinggi dibandingkan anak yang tinggal di lokasi lebih jauh. “Kami menduga mereka terpapar depleted uranium . Keluarga anak-anak itu mengaku sering kali mencium bau aneh dari pangkalan,” kata Mozhgan Savabieasfahani yang memimpin penelitian itu.
Tim Savabieasfahani antara lain meneliti penduduk di sekitar pangkalan Tallil. Di dalam dan luar pangkalan banyak sisa tank dan peluru berlapis depleted uranium . Di dekat dan di lokasi penyimpanan sisa tank kerap kali ada pembakaran aneka hal. Sementara dosen Canadian University Dubai Souad Al-Azzawi berulang kali menemukan bukti anak-anak bermain dekat bekas tank yang hancur terkena peluru depleted uranium . Banyak pula anak-anak Irak mengumpulkan peluru penghancur tank. Peluru-peluru itu berlapis depleted uranium dan anak-anak itu memainkannya dengan tangan telanjang. “Mereka memainkannya seperti boneka,” kata perempuan yang pernah menjadi Ketua Program Studi Teknik Lingkungan pada University of Baghdad itu.

Pasukan Amerika Serikat meninggalkan pangkalan Adder di Nasiriyah, Irak pada 2011. AS dua kali menyerbu Irak yakni pada 1990 dan 2003. Dalam kedua serbuan itu, AS antara lain menggunakan peluru berlapis uranium sisa. Berbagai penelitian menemukan peningkatan kanker dan penyakit bawaan di daerah yang menjadi sasaran dengan peluru berlapis uranium sisa.
Ia menyebut, berbagai risetnya yang menemukan peningkatan leukimia pada anak Irak. Pada periode 1990-1997, kasus leukimia pada anak Irak naik 60 persen. Peningkatan terjadi di berbagai bekas lokasi serangan AS dan sekutunya. Seperti disimpulan tim Savabieasfahani, tim Al-Azzawi juga menemukan berbagai kasus penyakit dan kelainan bawaan pada anak-anak di bekas lokasi serangan AS dan sekutunya.
Sebelum AS dan sekutunya menyerbu pada 1990, tercatat rata-rata 40 kasus di antara 100.000 penduduk Irak. Pada 2005, tercatat 1.600 kasus per tahun di antara 100.000 penduduk Irak.
Tanggung Jawab
Peneliti IKV PAX Wim Zwijnenburg mengatakan, militer AS tahu bahaya penggunaan depleted uranium. Militer AS juga sudah lama tahu peluru depleted uranium sebaiknya tidak dipakai di area sipil. Sayangnya, peluru itu dipakai AS dan sekutunya di berbagai area sipil di banyak negara. “Penggunaan peluru depleted uranium di area itu memicu pertanyaan soal kepatuhan pasukan AS dan sekutunya pada panduan perang dan prinsip mereka. Mereka harus dimintai pertanggungjawaban,” kata dia. Ia menyesalkan penolakan Departemen Pertahanan AS mengungkap lokasi pasti serangan yang menggunakan peluru depleted uranium. Padahal, pengungkapan koordinat lokasi itu penting untuk penanganan dampaknya.
Baca juga Ketidakpastian Membayangi Pengendalian Senjata Nuklir
Kementerian Pertahanan Belanda mengaku, target serangan di Irak ditentukan AS. Sebagian koordinat lokasi diberikan ke Belanda, negara yang ikut menyerbu Irak. Kemenhan Belanda mengakui ada kekhawatiran dampak depleted uranium pada prajurit Belanda yang ikut berperang bersama AS.
Departemen Veteran AS juga mengakui potensi dampak depleted uranium pada prajurit AS yang pernah bertugas di Irak, Afghanistan, Suriah, dan Yugoslavia. Sejumlah veteran AS di berbagai perang itu menderita kanker dan aneka masalah kesehatan yang diduga kuat terkait paparan radioaktif. Sebab, kasus-kasus itu terjadi pada prajurit yang bertugas di tank dan pesawat yang menggunakan peluru depleted uranium.
Meski bukti dampaknya tersebar di berbagai negara, penggunaan radioaktif sebagai senjata dalam perang belum berhenti. Pengumuman Inggris dan Rusia adalah buktinya. Strategi dalam perang memang tidak selalu memikirkan dampak pada lingkungan manusia. Kini, ada ancaman penyebaran radioaktif di salah satu lumbung pangan dunia. (AFP/REUTERS)