Presiden Brasil Usulkan Indonesia Masuk Tim Mediator Pendamai Ukraina-Rusia
Pertemuan Xi-Putin minim menyinggung soal Ukraina. Presiden Brasil Inacio Lula da Silva mengusulkan pembentukan tim juru damai untuk memediasi konflik Ukraina-Rusia, salah satu anggotanya adalah Indonesia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AFP/POOL/DMITRY LOVETSKY
Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri) menganugerahi Presiden China Xi Jinping gelar kehormatan dari Universitas St Petersburg pada 6 Juni 2019.
BEIJING, SABTU — Pertemuan tiga hari antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskwa telah berakhir. Sebuah pernyataan bersama kedua kepala negara diterbitkan pada Rabu (21/3/2023). Tidak ada kemajuan di dalam pembahasan isu perang Rusia-Ukraina. Akan tetapi, berbagai negara kini mendekati China agar semakin aktif mengupayakan perdamaian.
Salah satunya adalah Brasil. Presiden Brasil Inacio Lula da Silva dijadwalkan akan berkunjung ke China, Selasa (28/3). Ia akan berada di Negeri Tirai Bambu selama tujuh hari. Selain membahas hubungan bilateral antara Brasil dan China, agenda kunjungan Lula diperkirakan juga akan membicarakan upaya penghentian perang Ukraina-Rusia.
Sebelumnya, Lula telah menawarkan agar juru damai perang Rusia-Ukraina tidak dipegang oleh satu tokoh dari satu negara. Ia mengusulkan juru damai berupa tim yang dibentuk oleh negara-negara berkembang dengan kekuatan menengah yang relatif tidak memihak. Selain Brasil dan China, nama-nama negara yang diajukan mencakup Indonesia dan India.
Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo juga pernah berkunjung ke dua negara yang saat ini sedang berperang itu. Berbeda dengan Xi yang hanya menyambangi Rusia, kunjungan Jokowi dilakukan ke dua negara sekaligus, Ukraina dan Rusia, dalam lawatan pada akhir Juni 2022. Saat itu, Jokowi menjadi pemimpin Asia pertama yang berkunjung ke Ukraina selepas invasi Rusia.
Dengan usulan Presiden Lula tersebut, diharapkan cara ini bisa lebih dipercaya Rusia ataupun Ukraina. Pernyataan bersama antara Putin dan Xi sedikit sekali menyinggung mengenai Ukraina. Isinya adalah Rusia memuji ketidakberpihakan China selama operasi militer yang mereka lakukan sejak 24 Februari 2022. Adapun China mendorong agar kedua belah pihak mempercepat gencatan senjata.
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/LAILY RACHEV
Presiden Joko Widodo berkunjung ke Ukraina dan bertemu dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Istana Maryinsky, Kyiv, Ukraina, 29 Juni 2022.
Amerika Serikat cepat menanggapi dengan mengatakan bahwa kunjungan Xi ke Rusia itu sebenarnya fokus kepada hubungan bilateral kedua negara. Inisiatif Keamanan Global yang berisi 12 poin dan mencakup persoalan Ukraina itu hanya hiasan untuk mengesankan seolah Xi datang mengemban misi sebagai juru damai.
Bahkan, belum ada kabar apakah Xi hendak mengadakan pertemuan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Padahal, Kyiv sudah mengutarakan antusiasme atas terlibatnya China di dalam percepatan gencatan senjata dan perdamaian.
”Bagaimanapun juga, China tidak netral. Mereka mengakui narasi perang Rusia bahwa Moskwa terpaksa menginvasi Ukraina karena kedekatan Kyiv dengan NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara),” kata peneliti isu China untuk Atlantic Center, David Shullman, kepada Voice of America, Kamis (23/3) waktu AS atau Jumat waktu Indonesia.
Salah satu hal yang dicermati AS bersama sekutunya ialah ketiadaan pengakuan kedaulatan geografis Ukraina di dalam inisiatif China, terutama wilayah Crimea, Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zaporizhia yang dicaplok oleh Moskwa.
Meskipun demikian, hal ini tidak membuat negara-negara lain, termasuk di Eropa, patah arang dalam mendekati China. Bahkan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengingatkan para pemimpin Uni Eropa agar terus menjaga hubungan dengan China. Bagaimana pun, adanya Inisiatif Keamanan Global itu menunjukkan kemauan China untuk penghentian peperangan.
Negara yang bergerak cepat atas inisiatif itu adalah Brasil. Pada Februari, ketika inisiatif tersebut diumumkan, Presiden Brasil Inacio Lula da Silva mengajukan proposal perundingan perdamaian kepada Rusia. Dilansir kantor berita Rusia, TASS, Kementerian Luar Negeri Rusia tengah mempelajari tawaran tersebut.
NP
Luiz Inacio Lula da Silva tersenyum sambil mencium sebuah kertas sebelum menggunakan hak suaranya pada pemilihan presiden Brasil, 30 Oktober 2022.
Pada intinya, Lula menawarkan agar juru damai perang Rusia-Ukraina tidak dipegang oleh satu tokoh dari satu negara. Justru, sebaiknya juru damai berupa tim yang dibentuk oleh negara-negara berkembang dengan kekuatan menengah yang relatif tidak memihak. Selain Brasil dan China, nama-nama negara yang diajukan mencakup Indonesia dan India. Harapannya, model ini bisa lebih dipercaya oleh Rusia dan Ukraina.
”Ini bagian dari politik luar negeri Brasil untuk memajukan negara-negara Selatan. Apalagi, Brasil adalah negara berkembang terbesar di Amerika Latin dan mereka ingin memperkuat posisi di politik global,” kata Evandro Menezes, pakar politik Brasil dari Yayasan Getulio Vargas.
Walaupun Menezes mengakui bahwa pendekatan kepada China ini juga untuk mendekatkan kembali hubungan Brasil-China setelah memburuk selama pemerintahan Presiden Jair Bolsonaro. Bolsonaro menuduh China sebagai penyebab terjadinya pandemi Covid-19. Hubungan bilateral kedua negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Sekatan) ini meregang meskipun dari segi neraca perdagangan tetap besar. Pada 2022 saja nilainya 150 miliar dollar AS.
Lula dijadwalkan berkunjung ke Beijing pada Selasa (28/3/2023) dan akan tinggal selama tujuh hari. Pada Rabu (29/4), Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez juga akan ke Beijing atas undangan Xi Jinping.
”Penting bagi kita semua mengetahui posisi Presiden Xi terkait Ukraina sebelum bisa memasuki pembahasan mengenai perdamaian lebih lanjut,” tutur Sanchez.
Selain Spanyol, para kepala negara anggota NATO juga dijadwalkan bertemu dengan Xi di Beijing pada April. Menurut rencana, pertemuan itu akan diawali oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron, disusul oleh Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni dan Wakil Presiden Komisi Eropa Josep Borrell. (AFP/REUTERS)