Informasi atau foto hoaks yang menyasar perempuan menjegal dan membungkam perempuan. Niat jahat itu pada akhirnya mengancam demokrasi.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Kolong jembatan layang di kawasan Rawa Panjang, Kota Bekasi, Jawa Barat, dihiasi mural untuk melawan penyebaran informasi palsu di masyarakat atau hoaks, seperti yang ditemui pada Minggu (28/2/2021).
Akhir-akhir ini banyak foto palsu perempuan yang tersebar di media sosial. Pelaku tak memandang siapa korbannya. Siapa pun menjadi sasaran mereka, tak terkecuali tokoh-tokoh perempuan dunia. Salah satu korban mereka adalah Ibu Negara Ukraina Olena Zelenska.
Dalam foto palsu yang disebar pelaku di media sosial, Zelenska terlihat sedang berjemur dengan telanjang dada di sebuah pantai di Israel. Foto itu beredar di Facebook, tahun lalu. Di kolom komentar bertebaran kritik dan kecaman dari warganet yang menuding Zelenska malah bersenang-senang sementara negaranya sedang dilanda perang dan rakyatnya menderita. Setelah dicek dan ditelusuri oleh kantor berita AFP, rupanya foto itu palsu. Foto yang asli menunjukkan foto seorang presenter televisi dari Rusia.
Bukan hanya Zelenska yang pernah menjadi korban. Mantan Ibu Negara Amerika Serikat Michelle Obama dan Ibu Negara Perancis Brigitte Macron juga pernah menjadi sasaran unggahan palsu. Keduanya dibilang dilahirkan sebagai laki-laki.
Disinformasi seperti ini kemudian memicu banjir cemoohan, ejekan, dan komentar bernada transfobia atau ketakutan pada mereka yang transjender. Mantan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang mengumumkan pengunduran dirinya Januari lalu juga pernah menghadapi semburan disinformasi tentang jenis kelaminnya.
Pernah juga ada teks terjemahan video yang ”sengaja” dibuat keliru sehingga memfitnah feminis Pakistan dan video palsu yang mengesankan politisi perempuan sedang mabuk. ”Perempuan, terutama mereka yang berkuasa dan ’terkenal’, sering menjadi sasaran disinformasi online,” kata peneliti senior di lembaga nirlaba DisinfoLab Uni Eropa, Maria Giovanna Sessa, yang menuliskan laporan mengenai isu ini tahun lalu.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
Ilustrasi upaya Twitter Perang Lawan Misinformasi, Hoaks dan Informasi Menyesatkan
Pada tahun 2020, ada video versi lambat Ketua DPR AS Nancy Pelosi yang menjadi viral pada waktu itu. Di cuplikan video yang bergerak lambat, ucapan Nancy menjadi tidak jelas dan memberi kesan palsu ia sedang mabuk. ”Efek kampanye disinformasi jender mengerikan pada perempuan yang mereka sasar karena mereka membangun stereotipe seksis dan disebarluaskan dengan niat jahat,” sebut pakar kesetaraan jender Lucina Di Meco dalam sebuah penelitian berjudul ”Monetizing Misogyny” yang dipublikasikan, Februari lalu.
Kajian
Dalam penelitian selama dua tahun di sejumlah negara untuk melihat pola dan motif dari disinformasi jender ini disebutkan disinformasi sering mengarah pada kekerasan politik, kebencian, dan penolakan perempuan muda untuk mempertimbangkan karier politik. Dalam taktik disinformasi yang biasanya digunakan oleh lawan politik, politisi perempuan kadang-kadang dibingkai sebagai pribadi yang tidak dapat diandalkan, terlalu emosional, atau sembarangan untuk memegang jabatan.
Para peneliti menjelaskan ”disinformasi jender”—ketika seksisme dan misogini bersinggungan dengan kebohongan online—telah tanpa henti menyasar perempuan di seluruh dunia, menodai reputasi mereka, merusak kredibilitas mereka, dan dalam banyak kasus menjungkirbalikkan karier mereka. Pemeriksa fakta global AFP sudah menyanggah semua kebohongan yang menargetkan perempuan yang aktif secara politik atau mereka yang terkait dengan politisi terkemuka. Semua informasi dan foto palsu sudah dibuka dan dipublikasikan. Umumnya foto hasil manipulasi bermuatan seksual.
Ketika Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock mencalonkan diri sebagai kanselir pada tahun 2021, ia sering menjadi sasaran kampanye disinformasi yang kemudian memunculkan keraguan apakah ia cocok untuk posisi itu. Ada foto model telanjang yang disebut sebagai Baerbock lalu ada tulisan di sampingnya yang mengatakan ia terlibat dalam pekerjaan seks.
ANTARA/YUSUF NUGROHO
Sejumlah wartawan dan warga membentangkan poster saat kampanye antihoaks di Alun-alun Kudus, Jawa Tengah, Minggu (16/4). Kampanye antihoaks yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia Kudus tersebut bertujuan untuk mengajak serta mengedukasi masyarakat agar bijak dalam menggunakan media sosial dan tidak menyebarkan informasi tidak benar yang dapat memicu keresahan di masyarakat.
Menurut para peneliti, disinformasi jender menjadi ancaman keamanan nasional karena dapat dieksploitasi oleh negara-negara otokratis seperti Rusia untuk menggunakan pengaruh asing dan bisa juga dimanfaatkan untuk menaklukkan oposisi. ”Ketika para pemimpin otokratis berkuasa, disinformasi jender sering digunakan oleh aktor-aktor yang berpihak pada negara untuk melemahkan pemimpin oposisi perempuan serta hak-hak perempuan,” laporan Di Meco memperingatkan.
Pada 2021, atlet tembak Mesir, Al-Zahraa Shaaban, menghadapi unggahan palsu di media sosial yang menyebutkan ia dikeluarkan dari Olimpiade Tokyo karena menembak wasit. Unggahan itu memicu gelombang komentar yang mencemooh perempuan dan mempertanyakan kemampuan mereka untuk ikut dalam olahraga semacam itu.
Padahal, informasi itu hoaks. Keraguan seperti itu juga muncul mempertanyakan perempuan yang menjadi tentara menyusul jatuhnya pesawat jet tempur F-35 di geladak kapal induk AS di Laut China Selatan tahun lalu. Informasi palsu beredar di media sosial yang menyebutkan perempuan pertama di dunia yang menerbangkan F-35 yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Padahal, pilot yang sebenarnya yang menerbangkan pesawat tersebut adalah laki-laki.
Perempuan di seluruh dunia pun lantas memerangi kepalsuan yang memperkuat stereotipe mereka tidak cerdas atau tidak efisien.
Kebohongan yang memalukan seperti itu, kata para peneliti, dapat berefek membungkam perempuan, menyensor diri mereka sendiri, bahkan menghindari profesi yang didominasi laki-laki, termasuk dunia politik. Ini kekhawatiran yang diangkat puluhan anggota parlemen AS dan komunitas internasional pada tahun 2020 ke Facebook.
Facebook dan platform media sosial lain disalahkan atas amplifikasi algoritmik dari konten palsu dan penuh kebencian yang menyasar perempuan. Dalam pernyataan tertulisnya, Facebook mengaku pelecehan perempuan secara daring adalah masalah yang serius dan mereka berjanji untuk bekerja sama dengan pembuat kebijakan menyelesaikan masalah ini.
”Taktik informasi bohong ini digunakan di platform Facebook untuk niat jahat. Maksudnya untuk membungkam perempuan dan pada akhirnya merusak demokrasi kita. Tidak heran perempuan sering menyebut ancaman serangan publik yang cepat dan meluas terhadap martabat pribadi menjadi faktor yang menghalangi mereka masuk politik,” sebut gugatan para anggota parlemen AS. (AFP)