Empat pangkalan militer tambahan milik AS akan dibangun di Filipina di luar lima pangkalan militer yang sudah ada. Dengan sembilan pangkalan militer tersebar di wilayahnya, Filipina berharap akan terbebas dari ancaman.
Oleh
LUKI AULIA
·3 menit baca
AFP/TED ALJIBE
Bendera Amerika Serikat dikibarkan di dek penerbangan kapal serbu amfibi USS America yang berlabuh di pelabuhan internasional di Manila, Filipina, Selasa (21/3/2023).
MANILA, RABU — Filipina akan menjadi tuan rumah empat pangkalan militer baru tambahan milik Amerika Serikat yang akan tersebar di sejumlah wilayah, termasuk yang menghadap Laut China Selatan. Pembangunan empat pangkalan militer ini sesuai dengan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan atau EDCA antara kedua negara.
Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr menyadari, ancaman eksternal terhadap keamanan Filipina menjadi semakin kompleks dan tidak dapat diprediksi. Untuk itu, pada Februari 2023, ia memberikan Amerika Serikat akses ke empat lokasi tambahan di luar lima lokasi yang sudah disepakati dalam EDCA tahun 2014. Jadi, nanti akan ada sembilan pangkalan militer AS di kawasan Filipina.
Dalam kesepakatan sebelumnya, AS sudah berkomitmen untuk investasi infrastruktur lima pangkalan militer senilai 80 juta dollar AS di lima lokasi, yakni Pangkalan Udara Antonio Bautista di Palawan, Pangkalan Udara Basa di Pampanga, Benteng Magsaysay di Nueva Ecija, Pangkalan Udara Benito Ebuen di Cebu, dan Pangkalan Udara Lumbia di Mindanao. ”Ada empat lokasi tambahan yang tersebar di Filipina. Ada yang di utara, ada yang di sekitar Palawan, dan ada yang lebih jauh ke selatan,” kata Marcos, Rabu (22/3/2023).
EDCA memungkinkan akses AS ke pangkalan Filipina untuk melakukan pelatihan bersama, pra-penempatan peralatan, dan pembangunan fasilitas seperti landasan pacu, penyimpanan bahan bakar, dan perumahan militer. Namun, kehadiran AS di Filipina tidak permanen. Filipina dan AS akan segera mengumumkan lokasi pangkalan tambahan dalam waktu dekat. Yang jelas, lokasi itu akan meningkatkan kemampuan Filipina untuk mempertahankan ”sisi timur” pulau terbesarnya, yakni Pulau Luzon, yang merupakan pulau utama Filipina dan lokasinya paling dekat dengan Taiwan.
AFP/TED ALJIBE
Tentara Filipina dan AS dipimpin Panglima Militer Filipina Letnan Jenderal Romeo Brawner (depan, ketiga dari kiri) dan Letnan Jenderal Xavier Brunson (depan, kedua dari kanan) bergandengan tangan pada upacara pembukaan latihan militer AS dan Filipina di Fort Magsaysay, Provinsi Nueva Ecija, 13 Maret 2023.
Seorang mantan panglima militer Filipina mengatakan, AS sudah meminta akses ke pangkalan di Isabela, Zambales, dan Cagayan yang berada di Luzon dan menghadap utara ke arah Taiwan, serta di Palawan yang dekat dengan Kepulauan Spratly yang menjadi wilayah sengketa di Laut China Selatan (LCS). Sejumlah pemimpin pemerintah daerah yang kemungkinan akan menjadi lokasi pangkalan militer EDCA itu menentang keputusan Marcos.
Mereka khawatir akan terseret ke dalam konflik yang lebih parah antara AS dan China atas Taiwan. Namun, Marcos mengatakan sudah membahas masalah itu dengan mereka tentang pentingnya perluasan akses AS dan alasan kebijakan itu akan berdampak baik pada daerah mereka.
Marcos menegaskan perlunya waspada terhadap unsur-unsur yang akan merusak perdamaian dan stabilitas keamanan yang sudah dicapai dengan susah payah. Untuk mempertahankan stabilitas itu, Filipina perlu meningkatkan hubungan dengan komunitas internasional. Karena adanya ancaman terhadap wilayah Filipina, maka perlu ada penyesuaian strategi keamanan dan pertahanan.
Gubernur Cagayan Manuel Mamba secara terbuka menentang ada pangkalan militer di wilayahnya karena takut membahayakan investasi China dan menjadi target dalam konflik Taiwan. Namun, Penjabat Kepala Pertahanan Filipina Carlito Galvez menegaskan, pemerintah sudah memutuskan salah satu pangkalan akan ada di wilayah itu dan Mamba sudah setuju mematuhi keputusan pemerintah.
Kesepakatan EDCA terhenti di masa pemerintahan mantan Presiden Rodrigo Duterte yang lebih menyukai China ketimbang AS. Namun, begitu Marcos menggantikan Duterte pada Juni 2022, ia mengadopsi kebijakan luar negeri yang lebih bersahabat dengan AS dan berupaya mempercepat implementasi EDCA.
China mengkritik perjanjian itu dan menilainya sebagai bagian dari upaya AS untuk mengepung dan menahan China melalui aliansi militernya dengan Filipina. ”Dengan melakukan ini, AS tidak hanya meningkatkan ketegangan, mendorong perpecahan antara China dan Filipina, tetapi juga telah mengganggu dan mengecewakan upaya bersama negara-negara di kawasan ini untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan,” demikian pernyataan tertulis Kedutaan Besar China di Manila, Minggu. (REUTERS)