Setelah Arab Saudi dan Iran, China kini berupaya menengahi konflik Rusia dan Ukraina.
Oleh
LUKI AULIA
·3 menit baca
Beijing, Jumat - Pemerintah China semakin gencar mendorong upaya-upaya perdamaian. Setelah berhasil ikut memperbaiki hubungan Arab Saudi dan Iran, kini China beralih ke konflik Ukraina dan Rusia. Presiden China, Xi Jinping, akan melawat ke Rusia pada 20-22 Maret mendatang untuk bertemu Presiden Rusia, Vladimir Putin. Di mata Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO, upaya China menengahi Ukraina dan Rusia ini tidak kredibel karena China tidak mengecam invasi Rusia ke Ukraina.
Rencana kunjungan Xi ke Moskwa ini diumumkan, Jumat (17/3/2023). Pada bulan lalu, China menerbitkan rencana berisi 12 poin tentang "resolusi politik krisis Ukraina". Salah satu poin menyerukan perlindungan bagi warga sipil dan agar Rusia dan Ukraina saling menghormati kedaulatan masing-masing.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin, mengatakan ini merupakan kunjungan Xi ke Rusia yang pertama dalam empat tahun. Salah satu agenda kunjungan ini adalah untuk mendorong perdamaian. Tetapi Wang tidak secara eksplisit menyebutkan perang Ukraina.
"Para pemimpin akan bertukar pendapat tentang isu-isu utama regional dan internasional, memperkuat kepercayaan bilateral, dan memperdalam kemitraan ekonomi," kata Wang.
Wang menambahkan dunia sedang memasuki periode baru pergolakan dan reformasi dengan percepatan evolusi perubahan abad ini. Sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan negara-negara besar yang penting, signifikansi dan dampak hubungan China-Rusia jauh melampaui lingkup bilateral. China menegaskan kedaulatan dan integritas teritorial semua negara harus dihormati sambil mengutuk sanksi dari Barat dan menuduh NATO dan AS memprovokasi Rusia untuk melakukan aksi militer.
Sebelumnya, Kamis, Menteri Luar Negeri China, Qin Gang, ketika berbicara dengan Menlu Ukraina, Dmytro Kuleba, menyampaikan China prihatin dengan konflik yang sudah berlangsung setahun dan lepas kendali. Untuk itu, mendesak pembicaraan mengenai solusi politik dengan Moskwa. China, kata Qin, selalu menjunjung tinggi sikap objektif dan adil dalam masalah Ukraina. Beijing berkomitmen untuk mempromosikan perdamaian dan memajukan negosiasi dan menyerukan kepada komunitas internasional untuk menciptakan kondisi bagi pembicaraan damai.
Di sisi lain, Ukraina membutuhkan proses penyelesaian yang adil. "Saya menggarisbawahi pentingnya formula perdamaian (Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy) untuk mengakhiri agresi dan memulihkan perdamaian yang adil di Ukraina,” tulis Kuleba, yang berbicara dengan Menlu AS Antony Blinken pada hari yang sama dengan Qin.
Ukraina mempermasalahkan proposal Beijing untuk tidak menyatakan bahwa Rusia harus mundur di belakang perbatasan sejak Uni Soviet runtuh pada 1991. Rusia menyambut inisiatif China dan mengatakan akan mempelajari rencana itu tetapi untuk saat ini Rusia tidak melihat tanda-tanda resolusi damai.
Sikap Rusia
Rusia mengatakan Ukraina harus menerima pencaplokannya atas empat wilayah di timur dan selatan negara itu bersamaan dengan hilangnya Krimea, semenanjung Laut Hitam yang dianeksasi secara paksa pada 2014. Rusia menegaskan tindakannya di Ukraina adalah serangan balik defensif terhadap Barat yang sikapnya bermusuhan dan agresif.
Dalam pernyataan tertulisnya, Kremlin menyebutkan Xi dan Putin akan membahas "pengembangan lebih lanjut dari hubungan kemitraan komprehensif dan kerja sama strategis antara Rusia dan China". Di dalam pernyataan itu juga tidak disebut Ukraina.
China dan Rusia mengumumkan kemitraan "tanpa batas" mereka pada Februari 2022 ketika Putin datang ke China untuk menghadiri pembukaan Olimpiade Musim Dingin. Sejak itu, hubungan bilateral keduanya menguat. Perdagangan bilateral pun melonjak sejak invasi dan China adalah pembeli minyak terbesar Rusia yang merupakan sumber pendapatan utama Rusia. (REUTERS/AFP/AP)