Lima tahun berturut-turut Finlandia menjadi negara paling bahagia di dunia. Perasaan aman, tenang, dan percaya pada sistem dilihat sebagai faktor penentu. Hanya, tak semua merasa bahagia, terutama kelompok anak muda.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Penduduk negara mana yang paling bahagia di dunia? Finlandia. Setidaknya itu hasil Laporan Kebahagiaan Dunia selama lima tahun terakhir. Menyusul di belakangnya, ada satu geng Finlandia dari negara-negara Nordik dan Skandinavia, seperti Denmark, Swiss, Eslandia, Norwegia, Swedia, Luksemburg, dan Austria. Mereka ini ”langganan” 10 besar negara terbahagia di dunia dalam laporan yang dirilis setiap tahun itu.
Melihat posisi negara-negara Nordik dan Skandinavia yang agak dekat dengan kutub Utara ini—artinya lebih sering dingin ketimbang panas—banyak yang heran, bagaimana bisa penduduknya justru lebih bahagia? Bahkan, sebagian negara bahagia ini mengalami musim dingin lebih lama sangat dingin dan sangat gelap dibandingkan negara-negara di belahan Bumi yang lain.
Selama ini orang mengasosiasikan suhu yang lebih hangat dan hari yang cerah dengan kebahagiaan. Namun, ternyata temuan dalam laporan kebahagiaan itu membuktikan bahwa cuaca tidak memengaruhi kebahagiaan. Ini karena orang mampu beradaptasi dengan cuaca.
Meski hujan lebat, badai salju, atau suhu di bawah nol sekalipun, kepuasan hidup penduduk Nordik dan Skandinavia tidak terpengaruh. Mereka sudah terbiasa hidup dalam kondisi seperti itu.
Penduduk Finlandia, misalnya, menikmati hidup apa adanya dan tidak menginginkan sesuatu yang berlebih. ”Tetapi, mereka bisa menikmati hidup karena negara-negara Nordik dan Skandinavia relatif punya sistem yang baik. Mereka punya tunjangan pengangguran, tunjangan pensiun, dan lain-lain yang membuat hidup lebih tenang,” kata Frank Martela, filsuf, peneliti psikologi, dan ahli kebahagiaan asal Finlandia.
Menurut Laporan Kebahagiaan Dunia yang dibuat Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan memanfaatkan data jajak pendapat dunia Gallup itu, tingkat kejahatan yang rendah, keindahan alam yang berlimpah, mengutamakan komunitas dan kerja sama, perawatan kesehatan yang sangat baik, dan hanya sedikit orang yang miskin dianggap berkontribusi pada kebahagiaan bangsa Finlandia.
Majalah Time, 20 Maret 2017, juga menyebutkan bahwa negara-negara Skandinavia kuat pada faktor dukungan sosial dan hubungan antarmanusia yang baik, saling menjaga, dan tidak saling menyerang.
Majalah Forbes, 19 Maret 2022, dalam artikel berjudul ”World Happiness Report: Are the Nordic Countries Really So Happy” menambahkan faktor kepercayaan antarwarga dan kepercayaan pada pemerintah sebagai faktor penting kebahagiaan di negara-negara Nordik. Ketika orang sudah merasa aman dalam pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan, mereka memiliki kebebasan untuk investasi emosional pada hal-hal yang lebih penting demi kebahagiaan, seperti keluarga, teman, dan kesenangan.
Orang-orang Skandinavia, khususnya Finlandia, memegang filosofi hidup sederhana dan di alam terbuka, tidak melulu harus mengalami petualangan epik setiap hari. Aktivitas luar ruang yang biasanya dilakukan itu bisa sesederhana jalan-jalan ke hutan atau mendaki di hari Minggu bersama keluarga, bermain ski dengan teman di akhir pekan, atau pergi bersama saudara memancing di permukaan sungai atau danau yang tertutup es.
”Negara-negara Nordik kuat dalam indikator kebahagiaan produk domestik bruto per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan, kemurahan hati. Mereka unggul di faktor kepercayaan dan kebaikan,” kata John F Helliwell, editor Laporan Kebahagiaan Dunia, yang sudah mengerjakan survei kebahagiaan ini selama 25 tahun terakhir.
Peran institusi pemerintah
Tingkat kepuasan hidup warga, seperti di Nordik dan Skandinavia, hanya bisa dicapai jika kualitas institusi pemerintahan baik dan pemerintah mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Data laporan itu juga menunjukkan, orang yang lebih puas dengan hidup mereka berada di negara-negara yang kebijakan kesejahteraan rakyatnya jelas dan bisa dipercaya.
Institusi pemerintahan yang berkualitas bisa membuat tingkat ketimpangan menjadi rendah. Ini yang membuat warga senang dan bahagia karena merasa dapat memercayai institusi publiknya.
Tim peneliti laporan kebahagiaan merekomendasikan, untuk bisa hidup bahagia, setiap warga negara harus lebih mendorong institusi pemerintah agar melayani kepentingan publik.
Para peneliti survei itu juga membuktikan, negara-negara bahagia itu sangat percaya bahwa pemerintahnya tidak akan menyalahgunakan uang pajak mereka dan mengalokasikannya sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum. ”Orang percaya uang pajak mereka akan digunakan dan didistribusikan dengan bijak. Orang lebih percaya satu sama lain. Kepercayaan sosial seperti itu yang berkontribusi pada pembangunan institusi yang lebih baik,” kata Helliwell.
Kurangnya kepercayaan pada orang lain ini bisa membuat orang tidak bahagia atau setidaknya tidak sebahagia orang Nordik dan Skandinavia. Untuk itu, tim peneliti laporan kebahagiaan ini lalu merekomendasikan bahwa untuk bisa hidup bahagia, setiap warga negara harus lebih mendorong institusi pemerintah agar melayani kepentingan publik.
Selain itu, setiap warga juga harus ikut berjuang melindungi institusi-institusi demokratis, seperti media massa yang membantu memberdayakan warga negara dan menjaga akuntabilitas pemerintah. ”Sebisa mungkin ikut bergabung dalam kegiatan masyarakat untuk membangun rasa kebersamaan, kepercayaan, dan kohesi sosial,” ucapnya.
Krisis mental
Di balik kebahagiaan penduduk Nordik dan Skandinavia, rupanya mereka juga mengonsumsi obat antidepresan, terutama saat pandemi Covid-19. Situs Euronews, 25 Februari 2023, mengutip data Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang menunjukkan peningkatan kecemasan dan depresi saat pandemi Covid-19.
Meski demikian, OECD juga menyebutkan bahwa tingkat kebahagiaan tidak berkorelasi dengan penggunaan antidepresan. Data di negara-negara Eropa tidak menunjukkan, semakin bahagia seseorang, semakin sedikit mereka mengonsumsi antidepresan. Eslandia, misalnya, memiliki konsumsi antidepresan tertinggi di Eropa. Begitu pula dengan Swedia dan Finlandia.
Harian The Guardian, 25 Agustus 2018, menyebutkan, laporan kebahagiaan itu berhasil menggambarkan masyarakat Skandinavia yang seakan selalu tersenyum dan hidup bahagia. Padahal, di balik itu, anak-anak mudanya tak merasa bahagia.
Anak-anak muda di Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Eslandia merasa hidupnya tidak baik-baik saja. Alasan ketidakbahagiaan mereka bervariasi, tetapi berkisar pada faktor stres, kesepian, dan merasa di bawah tekanan untuk bisa berhasil dalam hidup.
Michael Birkjaer dari Institut Penelitian Kebahagiaan di Kopenhagen, yang pernah meneliti ketidakbahagiaan anak muda di Nordik, mengungkapkan semakin banyaknya anak muda yang kesepian dan stres serta mengalami gangguan mental.
Jumlah anak muda di negara-negara Nordik yang mengalami epidemi penyakit mental dan kesepian ini lebih banyak ketimbang di negara-negara Barat lainnya. Salah satu penyebabnya adalah budaya perfeksionisme, terutama di Denmark.
”Anak muda diharapkan selalu berprestasi dan unggul. Banyak anak yang tidak kuat,” ujar Birkjaer.
Selama lima tahun terakhir, di Norwegia terjadi peningkatan 40 persen proporsi anak muda yang mencari bantuan untuk masalah kesehatan mental. Di Denmark, 18,3 persen anak muda berusia 16-24 tahun menderita kesehatan mental buruk.
”Masalah kesehatan mental di kalangan anak muda muncul dalam bentuk stres, depresi, kecemasan, menyakiti diri sendiri, konsumsi antidepresan, dan—dalam kasus ekstrem—bunuh diri,” kata Birkjaer.
Finlandia, yang merupakan negara paling bahagia di dunia saja, tak luput dari kasus bunuh diri. Bahkan, bunuh diri menjadi kematian terbanyak ketiga di kelompok anak muda usia 15-24 tahun di negara itu. Masalah dan isu ini menjadi perhatian dan butuh penanganan serius.