Padahal kenyataannya, seperti diberitakan Reuters, Credit Suisse Group AG, Kamis (16/3), telah menyatakan akan meminjam 54 miliar dollar AS dan SNB.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Otoritas keuangan Swiss bergegas menyelamatkan bank kedua terbesar Swiss, Credit Suisse, untuk menepis efek sistemik ke perbankan internasional. Tindakan tersebut dilakukan setelah saham Credit Suisse anjlok 24 persen sebagai efek kebangkrutan tiga bank di Amerika Serikat. Penyelamatan dilakukan mengingat pentingnya posisi Credit Suisse sebagai bank investasi terbesar ke delapan di dunia.
“Permodalan bank dan kebutuhan likuiditasnya akan dipenuhi mengingatkan pentingnya menjaga sistem keuangan,” demikian pernyataan Swiss National Bank (Bank Sentral Swiss/SNB) dan otoritas keuangan negara tersebut, FINMA, dalam pernyataan bersama, Rabu (15/03/2023). Credit Suisse akan bisa mendapatkan suntikan likuiditas dari SNB jika diperlukan.
Pertolongan dilakukan setelah ada desakan dari sejumlah pemerintahan, termasuk AS lewat Departemen Keuangan AS. Bank Sentral Inggris juga menyatakan turut memberi perhatian pada perkembangan Credit Suisse karena kegiatan Credit Suisse tergolong signifikan di Inggris.
Credit Suisse sempat menghadapi kepanikan setelah pemodal utama di bank itu menolak menyuntikkan dana baru. Saudi National Bank adalah pemegangsaham terbesar, yakni 9,8 persen. “Jika kami menaikkan kepemilikan saham, ada hambatan terkait peraturan,” kata Ketua Saudi National Bank, Ammar al-Khudairy.
Terimbas krisis di AS
Credit Suisses terkena imbas buruk dari kebangkrutan tiga bank di AS, Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan Silvergate. Pada dasarnya, tidak ada kaitan antara Credit Suisse dan tiga bank di AS. “Hanya saja kini semua pihak sedang terpengaruh efek psikologi massa yang sangat mengkhawatirkan bank-bank yang dianggap tidak sehat. Kali ini persepsi itu menyebar ke Eropa,” kata Antoine Bouvet, analis di ING.
Credit Suisse telah mengalami penurunan 80 persen valuasi sejak 2021 akibat kebangkrutan yang dialami para nasabahnya, terutama Greensill (Inggris). Sebesar 10 miliar dollar AS pinjaman Credit Suisse terjerat pada perusahaan Inggris itu. Credit Suisse juga terjebak kemacetan pinjaman di Archegos, sebuah Lembaga keuangan AS.
Saham bank tersebut kini tinggal 1,697 frank Swiss per lembar, turun drastis dari 12,78 frank Swiss pada Februari 2021 saat Greensill ketahuan bangkrut. Total aset Credit Suisse juga sudah turun drastis menjadi 574 miliar dollar AS pada akhir 2022 dari 912 miliar dollar AS pada akhir 2000.
Posisi Credit Suisse tergolong “too big too fail” alias terlalu bahaya jika dibiarkan bangkrut. Oleh sebab itu para pimpinan bank telah memohonkan pertolongan dari otoritas Swiss. Otoritas Swiss sangat memberi perhatian pada bank yang dianggap penting tersebut (Financial Times, 15 Maret 2023).
Sepanjang 2022 Credit Suisse juga mengalami kerugian 7,8 miliar dollar AS. Pihak manajemen Credit Suisse mengakui ada kesalahan internal perusahaan dimana risiko bisnis tidak diamati secara saksama.
Efek suku bunga
Kerugian perbankan termasuk Credit Suisse bukan hanya akibat kemacetan pinjaman. Analis Wall Street, Robert Kiyosaki, sudah menyebutkan bahwa bank berikutnya yang berpotensi bangkrut adalah Credit Suisse (Fox Business, 13 Maret). Argumentasinya adalah, suku bunga rendah bertahun-tahun tidak hanya berlangsung di AS tetapi juga di Eropa.
Kenaikan suku bunga telah menyebabkan kekuatan perusahaan-perusahaan, termasuk Credit Suisse, melemah drastis. Penyebabnya adalah banyak perusahaan dan lembaga keuangan memegang obligasi. Nilai obligasi berbanding terbalik dengan arah suku bunga. Hal itu juga telah menimpa Credit Suisse.
“Dalam hal terjadinya keiankan suku bunga, nilai pasar sejumlah obligasi yang dipegang perbankan juga turut anjlok,” kata Kiyosaki, salah satu pakar yang tepat memprediksi kebangkrutan Lehman Brothers pada 2008.
Di samping itu, kata Kiyosaki, AS dan Eropa didera kelesuan perekonomian akibat penduduk yang menua. Ia menambahkan, kekuatan daya beli di AS sekarang tergantung pada uang beredar dollar AS, yang terus menerus dicetak Bank Sentral AS. Hal itu akan membuat nilai dollar AS akan merosot dan akan mirip kertas biasa, tidak mengalami kenaikan nilai seperti logam mulia. “Hegemoni dollar AS akan menurun,” kata Kiyosaki.
Sangat berisiko
Sehubungan dengan itu, pasar juga mencoba mengambil untung dengan mempertaruhkan kebangkrutan Credit Suisse, hal yang juga menimpa SVB di AS. Para petaruh, disebut short sellers, sedang menikmati rezeki besar dengan kebenaran taruhan akan kebangkrutan SVB.
Maka tidak heran, pasar juga mengantisipasi kebangkrutan Credit Suisse dengan menaikkan suku bunga credit default swap (CDS). Ini adalah sebuah jenis investasi derivatif keuangan yang dimanfaatkan pemegang obligasi perusahaan yang berpotensi bangkrut untuk mengamankan investasi mereka.
Dalam kasus Credit Suisse, menurut Bloomberg, 15 Maret, suku bunga CDS atas Credit Suisse Group AG mencapai ketinggian yang menandakan ketakutan besar pada investor. Di pasar, suku bunga CDS untuk bank asal Swiss tersebut mencapai 8,359 persen. Bahkan pada Rabu (15/3), suku bunga CDS untuk bank tersebut sempat terlihat mencapai 12 persen.
Hal serupa itu hanya pernah dialami bank-bank di Yunani saat negara itu dilanda krisis besar pada 2009 dan setelahnya. Level suku bunga CDS untuk Credit Suisse itu sebanyak 18 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pesaingnya, UBS Group AG (Swiss) dan sembilan kali lebih tinggi dibandingkan dengan Deutsche Bank AG.
Meski demikian pimpinan Credit Suisse, Axel Lehmann, mencoba meyakinkan pasar dengan mengatakan bank yang dipimpinnya akan aman saja. Hanya saja Lehmann sempat berkelit dengan mengatakan, “Permintaan tolong pada pemerintah belum terpikirkan.”
Padahal kenyataannya, seperti diberitakan Reuters, Credit Suisse Group AG, Kamis (16/3), telah menyatakan akan meminjam 54 miliar dollar AS dan SNB. Pinjaman ini akan dipakai untuk mendukung pinjaman, kebutuhan likuiditas jangka pendek dan menjadi jaminan bagi aset-aset berkualitas tingkat tinggi (REUTERS/AP/AFP)