Koridor Biji-bijian Laut Hitam Diperpanjang 60 Hari
Koridor Laut Hitam untuk ekspor biji-bijian dan pupuk dari Ukraina dan Rusia diperpanjang. Tanpa koridor ini, krisis pangan global sukar teratasi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
MOSKWA, SELASA – Rusia menyetujui memperpanjang Inisiatif Biji-bijian Laut Hitam untuk enam puluh hari ke depan. Ini adalah penjaminan ekspor berbagai biji-bijian dan pupuk dari Rusia dan Ukraina tetap berjalan tanpa terganggu perang yang melanda kawasan tersebut. Berkurangnya biji-bijian secara drastis akibat perang telah membuat dunia terjerembab ke dalam krisis pangan.
Pengumuman itu disampaikan oleh kantor berita Rusia, TASS, pada hari Selasa (14/3/2023). “Inisiatif ini akan diperpanjang secara otomatis jika sudah berakhir, selama semua pihak terkait tidak keberatan,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko.
Inisiatif ini digawangi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Turki yang ditandatangani oleh Moskwa dan Kyiv pada pertengahan tahun 2022. Kebijakan ini dibuat agar dunia bisa keluar dari krisis pangan sebagai dampak perang Rusia-Ukraina. Kedua negara ini adalah produsen 30 persen gandum dunia.
Masa berlaku inisiatif selama 120 hari akan berakhir pada hari Sabtu (18/3/2023). PBB menginginkan perpanjangan selama 120 hari lagi, tetapi Rusia mengusulkan 60 hari. Menurut Grushko, apabila semua lancar, masa berlangsung bisa bertambah dengan sendirinya nanti.
Makanan dunia
PBB melalui Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) serta Program Pangan Dunia (WFP) mencatat, kapal pertama yang bertolak dari pelabuhan Laut Hitam Ukraina tanggal 1 Agustus 2022. Sejak itu, Ukraina telah mengekspor 23 juta kubik ton biji-bijian. Kargo kapal-kapal ini adalah 51 persen jagung, 25 persen gandum, 11 persen kuaci dan produk turunan bunga matahari, 6 persen rapa (rapeseed / Brassica napus), 5 persen jelai, 1 persen kedelai, dan 1 persen produk makanan lain.
Sepertiga dari kargo ini dikirim ke negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Negara-negara ini adalah Mesir, India, Iran, Bangladesh, Kenya, Sudan, Lebanon, Yaman, Somalia, Djibouti, dan Tunisia. Ketika perang Rusia-Ukraina baru berkecamuk, negara-negara tersebut langsung mengalami krisis pangan karena mayoritas makanan pokok mereka terbuat dari tepung. Bahkan, WFP membeli 120.000 ton gandum khusus untuk dikirim sebagai bantuan kemanusiaan ke negara-negara di “Tanduk Afrika”.
FAO juga mengkaji indeks harga pangan global belum akan menurun secara kumulatif di tahun 2023. Mereka mencatat, indeks harga pangan global sudah meningkat pada tahun 2021 setinggi 28 persen akibat pukulan ekonomi pandemi Covid-19. Ketika perang Rusia-Ukraina pecah, indeks harga pangan tahun 2022 naik 14 persen dari tahun sebelumnya.
Sejauh ini, per Februari 2023, indeks harga pangan berkurang 19 persen. Akan tetapi, dunia belum bisa bernapas lega karena perkiraan FAO maupun lembaga-lembaga lain mengatakan harga pangan akan fluktuatif sepanjang tahun 2023.
Penyebabnya ialah negara-negara produsen pangan belum sepenuhnya bisa mengejar produksi untuk menutup jumlah yang hilang akibat perang.
“Petani Ukraina butuh dana 40 miliar hryvnia (Rp 16,6 triliun) agar bisa membeli bibit dan pupuk demi menyemai di musim semi,” kata Wakil Ketua Dewan Pertanian Ukraina, Denys Marchuk, dikutip oleh kantor berita Ukrinform. Oleh sebab itu, dewan pertanian meminta agar bank-bank mau memberi pinjaman lunak kepada para petani.
Sementara itu, peneliti dari Pusat Kajian Kebijakan Pangan Internasional Joseph Glauber menjelaskan, turunnya indeks pangan global pada Februari 2023 adalah murni karena keberuntungan. Sebagian besar negara penghasil pangan mengalami musim panen yang baik karena cuaca cukup bersahabat. Akan tetapi, di Argentina yang merupakan penghasil jagung ketiga terbanyak dunia, mengalami kemarau parah sehingga gagal panen.
Bahkan, Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan bahwa stok gandum dunia akan terus menurun selepas musim panen 2022/2023. Ini adalah stok terendah dalam delapan tahun terakhir. Oleh sebab itu, memastikan keran ekspor dari Laut Hitam terus terbuka sangat penting agar dunia tidak semakin jauh tertimbun krisis. (Reuters)
Menurut FAO, jumlah orang yang menderita kedaruratan pangan akut sekarang adalah 345 juta jiwa yang tersebar di 82 negara. Sebelum perang Rusia-Ukraina, jumlahnya ada 135 juta jiwa di 53 negara.
Mayoritas adalah negara-negara miskin yang belum pulih dari hantaman Covid-19 dan kini ditimpa menurunnya stok biji-bijian. Bahkan, di negara-negara Afrika Sub-Sahara, harga pangan meningkat sampai 40 persen. Akibatnya, rakyat kelas menengah sekalipun ikut terpukul.
Di Lebanon, salah satu negara di Timur Tengah, jutaan masyarakat kelas menengah terperosok ke dalam kemiskinan. Masyarakat miskin pun semakin terpuruk lebih dalam. Laporan Human Rights Watch Desember 2022 mengatakan bahwa empat dari lima keluarga pencari nafkah utamanya kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19.
Mereka tidak mampu membeli bahan pangan sehingga tergantung dari berbagai organisasi amal yang memberi bantuan sosial atau membuka dapur umum. Tersendatnya ekspor biji-bijian mengakibatkan organisasi-organisasi ini tidak bisa membeli bahan makanan dengan harga terjangkau sehingga bantuan sosial berkurang dan rakyat kelaparan.