China Buka Diri Lebih Lebar, Ingin Perkuat Relasi Ekonomi dengan AS
China memulai era baru kebijakan ekonomi pascapandemi Covid-19. Beijing berjanji menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi sektor swasta dan investor asing serta memperkuat relasi ekonomi dengan Amerika Serikat.
Oleh
AGNES THEODORA dari Beijing, China
·4 menit baca
BEIJING, KOMPAS — Setelah tiga tahun terpukul pandemi Covid-19, Pemerintah China berkomitmen membuka diri lebih lebar kepada dunia. Kabinet baru Presiden Xi Jinping berjanji lebih bersahabat dengan sektor swasta dan investor asing, bahkan memperkuat kerja sama ekonomi dengan Amerika Serikat di tengah rivalitas yang menajam di antara keduanya.
Dalam konferensi pers perdana, Senin (13/3/2023), Perdana Menteri China Li Qiang menjawab keraguan yang akhir-akhir ini menyebar di kalangan pelaku usaha swasta dan investor asing mengenai arah kebijakan ekonomi China pascapandemi.
Li, yang dilantik tiga hari lalu, mengatakan, tahun ini China akan membuka pintunya lebih lebar lagi kepada dunia. Seiring dengan itu, China akan menciptakan iklim usaha yang lebih bersahabat bagi sektor swasta, baik investor dalam negeri maupun asing.
Keyakinan dunia usaha di China belakangan dikabarkan goyah akibat sederet kebijakan Presiden Xi yang ketat terhadap sektor swasta. Mulai dari pengendalian pandemi Covid-19 yang ekstraketat, pengawasan khusus dan pengekangan terhadap sejumlah perusahaan teknologi, hingga kebijakan yang lebih pro-usaha milik negara.
Minat investor asing menanamkan modal di China pun ikut dikabarkan menurun, lepas dari adanya faktor lain, seperti tensi geopolitik China-AS dan ketidakpastian nasib ekonomi China di tengah restriksi Covid-19.
Li menampik isu itu dan menyebut Pemerintah China selama ini memiliki prinsip kuat untuk mendukung sektor swasta. Ia menjanjikan kabinet baru akan lebih bersahabat terhadap sektor swasta.
Li mengatakan, China kini berada di era baru yang lebih suportif terhadap pelaku usaha swasta. Prinsip itu tidak sebatas ditegakkan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah.
”Di titik permulaan yang baru ini, pemerintah di berbagai level akan berupaya lebih keras untuk menciptakan iklim usaha yang sejalan dengan standar internasional dan masa depan yang lebih cerah bagi semua sektor usaha,” kata Li.
China kini berada di era baru yang lebih suportif terhadap pelaku usaha swasta.
Sejalan dengan komitmen untuk membuka pintu lebih lebar kepada dunia, Pemerintah China siap menyambut investor asing dari berbagai belahan dunia. Li menambahkan, sampai sekarang China masih dianggap sebagai destinasi utama investor global, lepas dari berbagai persepsi yang berkembang.
Ia mengutip data investasi yang menunjukkan laju penanaman modal asing di China mencapai 189 miliar dollar AS tahun lalu, lebih tinggi 50 miliar dollar AS dibandingkan dengan tiga tahun lalu.
Berdasarkan data China International Import Expo tahun 2022, ada lebih dari 2.800 perusahaan dari 128 negara yang menghadiri ajang pameran dagang itu tahun lalu.
”Data ini menunjukkan, sebenarnya banyak perusahaan asing yang masih optimistis dan berkomitmen untuk berinvestasi di China,” ujar Li.
Kerja sama China-AS
Dalam kesempatan sama, Li menegaskan pentingnya AS dan China memperkuat relasi ekonomi meski saat ini tensi geopolitik keduanya memanas akibat perang Rusia-Ukraina dan ketegangan di Selat Taiwan.
Ia mengatakan, dari perspektif ekonomi, AS dan China pada dasarnya saling membutuhkan dan menguntungkan. Hubungan ekonomi kedua negara adidaya itu tergambar dari nilai perdagangan China-AS yang tahun lalu naik 0,6 persen sebesar 760 miliar dollar AS.
Li sempat menjalin komunikasi dengan berbagai petinggi perusahaan multinasional, termasuk dari AS, saat bertugas di Shanghai. Dari percakapan itu, ia meyakini kerja sama AS-China adalah jalur cepat yang akan membuahkan hasil yang menguntungkan bagi kedua negara.
”AS dan China bisa dan harus bekerja sama. Ada banyak hal yang bisa kita capai bersama,” ucapnya.
Li pun mempertanyakan isu decoupling atau pemutusan relasi ekonomi AS dan China yang akhir-akhir ini menjadi topik panas. Berkaca dari ketergantungan AS-China yang tinggi, Li menilai isu decoupling tidak akan menguntungkan kedua belah pihak. ”Saya bertanya-tanya, berapa orang yang kira-kira akan diuntungkan dengan kehebohan isu ini,” ucapnya.
Sentimen serupa disampaikan komunitas bisnis di China. Feng Xingya, General Manager GAC Group, perusahaan otomotif di China, mengatakan, globalisasi ekonomi tidak bisa dihindari meski di tengah ketegangan geopolitik dan isu decoupling dari sejumlah perusahaan asal AS.
AS dan China bisa dan harus bekerja sama. Ada banyak hal yang bisa kita capai bersama.
”Pertumbuhan ekonomi dan pengembangan sektor otomotif, misalnya, tidak bisa tercapai tanpa bekerja sama dengan perusahaan dari negara lain,” kata Li.
Ia berharap isu pemutusan relasi ekonomi China dengan AS dan negara Barat lainnya hanya ”kabar burung” yang tidak akan terjadi. Ia juga berharap pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang lebih suportif terhadap investasi asing.
”Hanya dengan menghormati kelebihan satu sama lain dan memperdalam kerja sama, kita bisa mencapai hasil yang menguntungkan kedua pihak (win-win),” ujar Feng saat diwawancarai, Minggu (13/3/2023).
Pekan lalu, komitmen yang sama untuk memperkuat dukungan terhadap sektor swasta disampaikan oleh mantan Perdana Menteri China Li Keqiang saat menyampaikan laporan kerjanya pada sesi pembukaan sidang pleno Kongres Rakyat Nasional.
Li Keqiang mengatakan, China akan lebih memperhatikan sektor swasta demi mendongkrak pemulihan ekonominya. Namun, saat itu, ia tidak mengelaborasi lebih lanjut mengenai arah kebijakan ekonomi China terhadap investor asing ataupun relasi ekonomi dengan AS.
”Pemerintah akan menciptakan lingkungan di mana semua jenis usaha, di bawah kepemilikan apa pun (swasta ataupun milik negara), bisa berkompetisi dan bertumbuh dalam kesempatan yang sama,” kata Li saat itu.