Tiga Tahun sejak Pandemi Bermula, Covid-19 Masih Jadi ”Misteri”
Tiga tahun lalu, WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Tiga tahun pula, asal-usul virus Covid-19 masih misteri. Sampai sekarang pun akses terhadap vaksin pun belum merata, terutama di negara-negara miskin.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
AP PHOTO/NG HAN GUAN
Laboratorium P4 di dalam Institut Virologi Wuhan terlihat setelah kunjungan tim dari Organisasi Kesehatan Dunia di Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada 3 Februari 2021.
Persis tiga tahun lalu, 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa pertama kali menetapkan krisis kesehatan Covid-19 sebagai pandemi. Tiga tahun sudah berlalu, tetapi tetap saja belum diketahui secara pasti asal-usul Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga belum siap menyatakan keadaan darurat Covid-19 berakhir.
Dugaan dan kecurigaan masih tertuju pada adanya kebocoran dari laboratorium di kota Wuhan, China. Namun, China berulang kali membantah tuduhan itu dan menyatakan selama ini sudah bersikap terbuka dan kooperatif dengan WHO dalam proses ”penyelidikan”. Selain misteri asal-usul Covid-19, sebanyak 200 tokoh dunia terkemuka juga mengingatkan dunia agar tidak mengulangi kesalahan lagi dalam menanggapi pandemi Covid-19 yang mengakibatkan ketidaksetaraan akses terhadap vaksin.
Pernyataan sikap bersama ini disampaikan dalam surat terbuka yang dikoordinasi oleh koalisi LSM Aliansi Vaksin Rakyat. Di antara mereka yang menandatangani ada Presiden Timor Leste Jose Manuel Ramos-Horta, peraih Nobel Perdamaian 1996. Bersama Horta, ada lebih dari 40 pemimpin negara, para peraih Nobel lainnya, mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, dan para pemimpin agama yang ikut tanda tangan.
Setelah Covid-19 muncul, sejumlah vaksin yang efektif melawan Covid-19 dikembangkan sangat cepat. Meski belum sepenuhnya ”matang”, negara-negara kaya sudah memperebutkan vaksin yang ada dan segera menguasai sebagian besar dosis awal. Ini yang kemudian membuat banyak orang rentan di negara-negara miskin terpaksa menunggu tanpa kejelasan untuk mendapatkan jatah vaksin.
Pemerintah sudah mengucurkan uang dari pembayar pajak hingga miliaran dollar AS khusus untuk penelitian, pengembangan, dan pesanan di muka, dan ini mengurangi risiko bagi perusahaan farmasi. Ini vaksin rakyat, tes rakyat, dan pengobatan rakyat.
Menurut data PBB, hingga saat ini kurang dari sepertiga orang di negara berpenghasilan rendah yang sudah menerima setidaknya satu dosis vaksin. Sementara di negara berpenghasilan tinggi, jumlahnya mencapai tiga perempat penduduk. Padahal, ada puluhan tahun penelitian yang didanai publik di balik vaksin, perawatan, dan tes Covid-19.
”Pemerintah sudah mengucurkan uang dari pembayar pajak hingga miliaran dollar AS khusus untuk penelitian, pengembangan, dan pesanan di muka, dan ini mengurangi risiko bagi perusahaan farmasi. Ini vaksin rakyat, tes rakyat, dan pengobatan rakyat,” sebut surat terbuka itu.
Akan tetapi, alih-alih mengucurkan vaksin, tes, dan perawatan berdasarkan kebutuhan, perusahaan farmasi malah memaksimalkan keuntungan mereka dengan mendahulukan penjualan vaksin ke negara-negara kaya yang memiliki banyak uang. Untuk mempercepat akses dan distribusi vaksin, para pemimpin dunia diminta untuk tanpa ragu mengabaikan aturan kekayaan intelektual secara otomatis jika seandainya muncul keadaan darurat kesehatan masyarakat internasional lagi seperti pandemi Covid-19.
Ini untuk memastikan satu sama lain bisa saling berbagi teknologi dan pengetahuan medis. Agar tidak ada kesenjangan antara negara kaya dan miskin, komunitas internasional perlu investasi dalam skala besar untuk mengembangkan inovasi ilmiah dan kapasitas produksi di negara-negara menengah dan menengah ke bawah. Jika seluruh dunia memiliki kapasitas yang sama, vaksin dan perawatan Covid-19 akan bisa lebih cepat. Dengan cara ini, para pemimpin dunia bisa mulai memperbaiki masalah struktural dalam kesehatan global yang menghambat respons terhadap Covid-19, HIV dan AIDS, serta penyakit lainnya.
AFP/SPENCER PLATT
Tenda tes Covid-19 dibuka di sepanjang jalan Manhattan pada 9 Maret 2023 di New York City, AS. Tiga tahun sejak terjadi pandemi global yang mengakibatkan kematian jutaan orang, banyak negara sudah hampir kembali normal dengan sedikit pembatasan penggunaan masker dan penurunan tingkat rawat inap.
Sampai saat ini, virus Covid-19 sebenarnya masih ada dan jumlah kasus kematiannya mendekati 7 juta jiwa di seluruh dunia. Setiap hari masih ada 900 hingga 1.000 orang yang meninggal akibat Covid-19 di dunia. Namun, kebanyakan orang telah melanjutkan kehidupan normal mereka berkat dinding kekebalan yang dibangun dari infeksi dan vaksin.
Meski hidup kembali ”normal”, peneliti virus Thomas Friedrich dari University of Wisconsin-Madison, AS, mengingatkan varian baru akan bisa muncul di mana saja dan tetap menjadi ancaman. Kepala Institut Riset Scripps di California, AS, Eric Topol, juga mengatakan, virus bisa berubah menjadi lebih menular setiap saat dan bisa lebih mampu menghindari sistem kekebalan atau lebih mematikan.
”Dan, kita belum siap untuk itu. Kepercayaan rakyat pada lembaga kesehatan masyarakat terkikis, resistensi terhadap imbauan tinggal di rumah juga tinggi, dan imbauan untuk vaksin juga tak didengar. Saya berharap kita bisa bersatu melawan virus ini dan tidak melawan satu sama lain,” ujarnya.
Stuart Campbell Ray, ahli penyakit menular di Johns Hopkins University, menjelaskan, varian Omicron saat ini memiliki sekitar 100 perbedaan genetik dari jenis virus Covid-19 yang asli. Itu berarti sekitar 1 persen genom virus berbeda dari titik awalnya. Banyak dari perubahan itu yang membuat virus menjadi lebih menular, tetapi yang terburuk kemungkinan besar sudah berakhir karena kekebalan masyarakat sudah terbentuk.
Situasi dunia saat ini jauh berbeda dibandingkan tiga tahun lalu di mana kita waktu itu belum memiliki kekebalan apa pun terhadap virus Covid-19 yang pertama kali muncul. Lantaran sekarang sudah ada vaksin dan terbentuk kekebalan masyarakat, publik cenderung abai dan tak waspada lagi melindungi diri dari risiko. Contohnya, tak lagi mengenakan masker di tempat-tempat umum atau sudah mulai lupa untuk mencuci tangan.
JOHN HOPKINS UNIVERSITY VIA AP
Gambar yang diambil dari situs web pelacakan Covid-19 Universitas John Hopkins ini menunjukkan statistik global virus korona pada Kamis, 9 Maret 2023. Dengan berkurangnya sumber informasi, universitas menutup pelacak pandemi pada Jumat, 10 Maret 2023.
Meski WHO masih menganggap Covid-19 sebagai masalah darurat, suasana dunia sudah tidak terasa lagi daruratnya, apalagi dengan berhentinya proses penghitungan jumlah kasus Covid-19 dan jumlah kematian akibat Covid-19. Data penghitungan kasus dari Johns Hopkins University yang biasanya menjadi andalan dunia pun sudah tak ada lagi. Data terakhir dikeluarkan pada Jumat lalu, dengan jumlah kematian akibat Covid-19 mencapai 6,8 juta orang di seluruh dunia.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) masih mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai negara bagian, rumah sakit, dan laboratorium pengujian, termasuk kasus, rawat inap, kematian, dan jenis virus Covid-19 apa yang terdeteksi. Namun, data yang tersedia lebih sedikit dan tak cepat diperbarui. China pun sudah menghentikan penghitungannya setelah pemerintahan Partai Komunis China diprotes rakyatnya.
Tidak adanya data atau informasi akurat dan terbaru tentang Covid-19 ini menyulitkan WHO melacak perkembangan Covid-19 karena mereka bergantung pada pelaporan setiap negara. Tanpa kejelasan itu, bagaimana caranya dunia bisa mencegah atau menanggapi ancaman Covid-19 di masa depan dengan lebih cepat dan tepat sasaran? (AFP/AP)