Normalisasi hubungan Arab Saudi dan Iran yang dimediasi China disambut baik Uni Emirat Arab tetapi dikecam Israel karena semula Israel mau menggandeng Arab Saudi untuk melawan Iran.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
Langkah mengejutkan Arab Saudi untuk memulihkan hubungan dengan Iran memperumit upaya diplomasinya untuk menjalin hubungan dengan Israel. Setelah tujuh tahun memutuskan hubungan, Arab Saudi dan Iran sepakat akan kembali membuka kantor perwakilan dan misi di masing-masing negara dalam dua bulan mendatang. Keduanya juga akan menerapkan perjanjian kerja sama keamanan dan ekonomi yang sudah ditandatangani sekitar 20 tahun yang lalu.
Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab, Sheikh Abdullah bin Zayed, Sabtu (11/3/2023), menyambut baik kesepakatan antara dua musuh bebuyutan itu dan menilainya sebagai langkah penting menuju stabilitas dan kemakmuran di kawasan Timur Tengah. Permusuhan Iran-Arab Saudi selama bertahun-tahun telah mengancam stabilitas dan keamanan di Teluk dan memicu konflik di Timteng dari Yaman hingga Suriah.
Kritik
Kesepakatan yang dimediasi China ini memicu kritik tajam di Israel terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang ingin membawa Arab Saudi sebagai bagian dari aliansi regional untuk melawan Iran. Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, menilai kesepakatan Arab Saudi dan Iran mewakili kegagalan kebijakan luar negeri pemerintah Israel.
Analis Arab Saudi, Aziz Alghashian, menilai pemikiran bahwa Arab Saudi secara eksklusif tertarik hanya pada Israel sebagai bagian dari front potensial melawan Iran, adalah "dangkal". Arab Saudi jarang bergerak dengan cara itu karena tidak strategis. Hasil kesepakatan dengan Iran itu jelas menunjukkan Arab Saudi memprioritaskan pemulihan hubungan dengan Iran daripada pemulihan hubungan yang terbuka dengan Israel.
"Tetapi ini tidak berarti hubungan dengan Israel akan terganggu. Sekarang hubungan dengan Iran yang sedang diprioritaskan," ujarnya.
Arab Saudi sejak lama sudah menyatakan, pengakuannya atas Israel bergantung pada solusi dua negara. Ini sangat terkait dengan isu Palestina. Arab Saudi tidak bergabung dengan Abraham Accords 2020 yang dimediasi Amerika Serikat untuk menjalin hubungan dengan dua tetangga Arab Saudi yakni Uni Emirat Arab dan Bahrain.
Namun, ada potensi kerja sama Arab Saudi dan Israel karena sudah ada beberapa praktik menuju ke arah itu seperti wartawan-wartawan Israel yang memegang paspor asing bisa mengunjungi Arab Saudi sebelum dan selama kunjungan Presiden AS Joe Biden ke Timur Tengah pada tahun lalu.
Otoritas penerbangan sipil Arab Saudi mengumumkan selama perjalanan kunjungan itu pihaknya mencabut pembatasan penerbangan pada "semua maskapai", membuka jalan bagi pesawat Israel untuk menggunakan wilayah udara Saudi. Dan pada bulan Oktober kepala Arab-Israel dari sebuah bank Israel muncul di forum investor Saudi, memuji peluang "luar biasa" di Arab Saudi. Pada minggu ini, harian Wall Street Journal dan New York Times melaporkan Arab Saudi telah melobi jaminan keamanan dari AS dan bantuan program nuklir sipil dengan imbalan kesepakatan dengan Israel.
Tetapi gejolak kekerasan Israel-Palestina yang melonjak tahun ini, kata pakar politik Arab Saudi di Universitas Birmingham, Umar Karim, membuat normalisasi hubungan Arab Saudi dan Israel tidak mungkin terjadi dalam jangka pendek. Alasannya, Arab Saudi tidak memiliki insentif untuk itu.
Kesepakatan Arab Saudi dan Iran dikhawatirkan Brian Katulis dari Institut Timur Tengah di AS akan mengarah pada kesenjangan yang lebih lebar antara Israel dan Arab Saudi jika ini menghasilkan pembukaan diplomatik yang lebih luas antara kerajaan dan Iran. "Israel skeptis terhadap diplomasi apapun dengan rezim di Teheran," ujarnya.
Nicholas Heras dari Institut Strategi dan Kebijakan New Lines menilai kesepakatan Saudi-Iran merupakan "kemenangan diplomatik yang jelas untuk Iran" dan "pukulan" bagi Netanyahu. Arab Saudi yang sedang didekati Israel mengirimkan sinyal kuat kepada pemerintah Israel saat ini bahwa Israel tidak dapat mengandalkan Arab Saudi untuk mendukung aksi militer Israel melawan Iran, dimana pun di kawasan itu.
Namun, bagi Fatima Abo Alasrar dari Institut Timur Tengah, kesepakatan Arab Saudi dan Iran hanya berfokus pada isu-isu spesifik seperti pembukaan kembali kedutaan dan dimulainya kembali hubungan perdagangan serta keamanan dari serangan. Meskipun langkah-langkah ini penting untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan mengurangi ketegangan antara kedua negara, langkah-langkah itu tidak mengatasi perbedaan ideologis dan politik yang lebih luas yang telah mendorong persaingan lama mereka.
Keterbukaan Arab Saudi untuk terlibat kembali dengan Iran juga dapat dilihat sebagai bagian dari dorongan diplomatik yang lebih besar yang melibatkan perbaikan keretakan hubungan dengan Qatar dan Turki. Menurut peneliti Arab Saudi, Eyad Alrefai, ini menciptakan momentum yang dapat membantu kawasan bergerak menuju masa depan saling pengertian, rasa hormat, dan kerja sama antar negara. "Dalam lingkungan seperti itu, pemain regional, terutama Israel dalam hal ini, dapat memanfaatkannya," ujarnya. (AFP)