Strategi Ganda China untuk Penyatuan Kembali Taiwan
China mempercepat strategi reunifikasi Taiwan di bawah payung ”Satu China” melalui dua langkah. Namun, Taiwan menegaskan kembali, mereka tidak tertarik menjadi bagian terintegrasi dari China.
BEIJING, KOMPAS — Sejak dimasukkan dalam Konstitusi Republik Rakyat China pada 1982 di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, kebijakan ”satu negara, dua sistem” yang diterapkan Pemerintah China terhadap kawasan-kawasan di sekitarnya belum berhasil mengambil hati Taiwan.
Prinsip itu bahkan mendapat perlawanan dari Taiwan. Di Taipei, prinsip tersebut semakin kehilangan pamornya beberapa tahun belakangan, terutama setelah munculnya ketegangan antara China dan Hong Kong yang selama ini kerap dijadikan contoh emas untuk praktik kebijakan ”Satu China”.
Kabar bahwa China berencana mengubah strategi pendekatan reunifikasinya dengan Taiwan pun marak beredar, terutama sejak Presiden Xi Jinping menunjuk Wang Huning sebagai anggota Komite Tetap Politbiro Partai Komunis China dan Wakil Kepala Kelompok untuk Urusan Taiwan, tahun lalu. Wang disebut-sebut telah ditugasi Xi untuk mencari strategi baru reunifikasi damai dengan Taiwan.
Baca Juga: Alarm Berbahaya dari China
Di tengah eskalasi tensi China-Amerika Serikat, menguatnya aktivitas militer di Selat Taiwan, serta desas-desus soal serangan China ke Taiwan pada 2027, arah kebijakan soal Taiwan menjadi isu penting dalam agenda sidang Kongres Rakyat Nasional (NPC) yang dibuka pada Minggu (5/3/2023).
Taiwan dan China berpisah pada 1949 setelah perang saudara yang berakhir dengan kontrol Partai Komunis di China daratan. Kelompok nasionalis di bawah pemimpin Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek menyingkir dan mendirikan pemerintahan Taiwan. Beijing mengklaim Taiwan sebagai bagian dari teritorialnya.
Ketika Perdana Menteri China Li Keqiang menyampaikan laporan kerja pada sesi pembukaan sidang NPC, ia memberi pesan ambigu. Di satu sisi, China akan memajukan dan mengintensifkan proses reunifikasi damai dengan Taiwan. Di sisi lain, China juga tak akan segan mengambil langkah keras melawan independensi Taiwan.
Strategi Beijing
Dalam wawancara terbatas secara daring di Beijing dengan Deputi NPC Li Yihu, Rabu (8/3) malam, kebijakan China soal Taiwan itu kembali ditegaskan. Li menyampaikan, China akan mempercepat upaya reunifikasi damai dengan Taiwan melalui dua langkah.
Pertama, melawan pihak-pihak yang mendukung independensi Taiwan dan tidak akan segan-segan melawan jika ada provokasi. Kedua, terus menggencarkan reunifikasi damai dengan Taiwan melalui strategi pendekatan ke masyarakat sipil. Terkait strategi ini, Li mengatakan, Pemerintah China akan mendorong pertukaran komunikasi yang lebih intensif antara warga China dan Taiwan.
Baca Juga: Taiwan Tuding China Matangkan Persiapan Serangan
Pemerintah China, kata Li, sampai sekarang belum berencana berdiplomasi langsung dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen yang pada awal 2024 akan mengakhiri masa jabatannya. Li menambahkan, dalam waktu dekat, akan ada beberapa kebijakan strategis yang dikeluarkan Pemerintah China untuk mendorong aktivitas bersama warga China dan Taiwan serta memperkuat relasi ekonomi dan budaya kedua wilayah.
”Kami sungguh berharap isu ini bisa diselesaikan secara damai, memakai pendekatan warga ke warga. Bisa dilihat, dari sekarang kami sudah memperlakukan warga Taiwan ataupun China daratan secara sama rasa, sama rata,” kata Li.
Ia mengklarifikasi konsep ”satu negara, dua sistem”. Menurut Li, setelah reunifikasi kawasan Taiwan dengan China, Taiwan akan tetap bisa mempertahankan sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem sosialnya. ”Taiwan tetap bebas mempertahankan sistem dan gaya hidup mereka. Hak-hak negara lain yang beraktivitas di Taiwan juga tetap akan dijamin,” ujar Li.
Sikap Taipei
Kompas telah berupaya meminta tanggapan Pemerintah Taiwan melalui perwakilannya di Jakarta, Kantor Ekonomi dan Dagang Taipei (TETO), terkait pernyataan terbaru Beijing soal Taiwan. TETO menyarankan merujuk pada pernyataan resmi Pemerintah Taiwan, termasuk Kementerian Luar Negeri dan Dewan Urusan Daratan.
Dalam pernyataan mengenai klaim bahwa Taiwan sebagai bagian dari China dan penolakan terhadap kemerdekaan Taiwan, yang dirilis Beijing seusai pertemuan Presiden Xi Jinping dan Presiden Belarus Aleksandr Lukashenko, 1 Maret 2023, Kemenlu Taiwan menegaskan, Kamis (2/3), ”hanya pemerintahan yang dipilih oleh rakyat Taiwan di bawah sistem yang bebas dan demokratik yang dapat mewakili Taiwan”.
”Pemerintahan otoriter China harus mengakui dan menghormati status quo dan realitas ini. Sebagai tambahan, mereka seharusnya tidak memaksa negara-negara atau organisasi-organisasi lain agar menerima ’prinsip satu China’ yang diada-adakan,” tutur Taipei.
Baca Juga: Taiwan Meminta China Hentikan Narasi Persatuan
Taiwan menegaskan, mereka tidak tertarik menjadi bagian terintegrasi dari China. ”Narasi penyatuan Taiwan kepada China ini adalah ’senjata’ Xi Jinping agar dia didukung memasuki masa jabatan ketiga sebagai Presiden China ataupun Sekretaris Jenderal PKC,” kata pakar ilmu politik Universitas Nasional Cheng Kung (NCKU) Taiwan, Hung Chin-fu, kepada surat kabar Taipei Times edisi Selasa (7/3).
Opsi agresif
Dalam wawancara, Rabu malam, Li Yihu juga mengatakan, jika ada pihak eksternal kelompok separatis pendukung independensi Taiwan melakukan provokasi, sebagaimana bunyi Pasal 8 Undang-Undang Antiseparatisme China yang disahkan pada 2005, China akan mengambil langkah agresif nondamai untuk mencapai gol reunifikasi dengan Taiwan.
”Selama mereka tak melanggar hukum antiseparatisme itu, kami masih berharap mempercepat upaya reunifikasi damai dengan Taiwan,” kata Li.
Sejumlah langkah AS dan Taiwan, seperti komunikasi yang semakin intens antara Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dan pejabat AS, beberapa kali membuat China marah. Setelah kunjungan mantan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan, Agustus 2022, dalam waktu dekat ini ada pula rencana pertemuan Ketua DPR AS Kevin McCarthy dengan Tsai Ing-wen di AS.
Pejabat Taiwan, seperti dikutip kantor berita Reuters, melaporkan bahwa Tsai berencana transit di Los Angeles dan New York, AS, dalam kunjungan ke negara-negara Amerika Tengah. Harian Financial Times melansir, Tsai dijadwalkan akan bertemu dengan McCarthy di California, Los Angeles.
China pun kembali mengingatkan AS untuk tidak menyeberangi garis merah utama dalam relasi China-AS. Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri China yang baru, Qin Gang, dalam konferensi pers perdananya, Selasa (7/3/2023). Qin memperingatkan, jika Washington tak mengerem diri, konfrontasi AS-China tak bisa dihindari.
Baca Juga: Menlu China: Jika AS Tak Injak Rem, Konfrontasi AS-China Tak Bisa Dihindari
”Isu mengenai Taiwan adalah fondasi dasar politik hubungan AS-China dan garis batas pertama yang tidak boleh dilanggar dalam relasi kedua negara itu. Isu Taiwan adalah urusan China, bukan urusan negara lain,” katanya.
Berikut petikan wawancara dengan Li, yang diikuti Kompas dan delapan media asing:
T (tanya): Apakah ada tenggat kapan Taiwan kembali di bawah ”Satu China”?
J (jawab): Soal tenggat itu tidak menarik bagi kami. Kalau ditanya tahun berapa dan bulan berapa tepatnya China akan mengambil Taiwan kembali, tidak ada. Yang jelas, kami mempercepat laju reunifikasi damai dengan Taiwan, dan bisa dikatakan semakin hari kami semakin dekat dengan tujuan final itu. Akan tiba saatnya, suatu hari di masa depan, Taiwan kembali lagi ke China.
T: Apakah China akan mencegah perang jika AS memprovokasi lebih dulu?
J: Kami akan siap melawan negara mana pun yang mengintervensi urusan internal kami, entah itu untuk isu Taiwan, Xinjiang, atau Tibet. Kami berharap AS bisa mengubah sikapnya dan tidak melihat China sebagai musuh utamanya.
Kami sebenarnya tidak ingin berperang dengan AS karena kami punya prinsip diplomasi yang damai dengan negara lain. Namun, kalau AS terus menekan dan menantang China, kami siap melawan provokasi mereka. Kami tidak takut dengan gaya provokasi yang seperti itu.
Baca Juga: Lawatan Pelosi Jerumuskan Asia pada Periode Berbahaya
T: Apakah kenaikan belanja militer China tahun ini berkaitan dengan situasi di Taiwan?
J: Itu terlalu dibesar-besarkan oleh media untuk memanaskan tensi. Sebenarnya belanja militer kami hanya naik dari 1,45 triliun yuan tahun lalu menjadi 1,55 triliun yuan tahun ini. Hanya naik tipis, kenaikannya juga rasional terhadap produk domestik bruto kami.
Kenaikan belanja militer seperti ini wajar dilakukan di banyak negara, ini kami lakukan untuk melindungi diri kami dan kedaulatan kami. Kami tidak ada niat ingin memprovokasi perang dengan negara lain. (LUK/DNE/SAM)