AS Berkomitmen Ikuti Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik
AS memercayai adanya kebebasan berlayar, terbang, dan perdagangan. Menurut Kritenbrink, pandangan AS dan AOIP ini sejalan dengan peraturan-peraturan internasional.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Amerika Serikat telah meningkatkan hubungan menjadi mitra strategis komprehensif Himpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN sejak Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Kamboja pada November 2022. Menindaklanjuti hal tersebut, AS mengungkapkan komitmen untuk mengikuti Pandangan ASEAN terhadap Indo-Pasifik atau AOIP di tengah semakin memanasnya situasi geopolitik.
Demikian dikemukakan oleh Daniel Kritenbrink, Wakil Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia-Pasifik, ketika jumpa pers di Kedutaan Besar AS di Jakarta, Rabu (8/3/2023). Kritenbrink sedang melawat ke Indonesia dan Malaysia untuk membahas sejumlah isu yang berhubungan dengan ASEAN.
”ASEAN ini organisasi kawasan yang paling muda di dunia sekaligus paling dinamis,” katanya. Ia baru menyelesaikan pertemuan di Sekretariat ASEAN yang membahas kerja sama antara lain di bidang ketahanan energi, ketahanan pangan, kejahatan transnasional, keamanan bahari, dan pemberdayaan perempuan.
Di samping itu, para pejabat senior pemerintahan negara-negara anggota ASEAN maupun mitra wicara juga membicarakan persoalan Myanmar, perkembangan situasi di Korea Utara yang melakukan berbagai uji coba rudal jarak jauh dan menengah, serta perang yang masih berlangsung antara Rusia dan Ukraina.
”AS mendukung sentralitas ASEAN dan keketuaan Indonesia. Oleh sebab itu, untuk isu Myanmar kami percaya ASEAN bisa membuat perubahan positif, menetapkan target yang realistis, dan mendorong segera dilaksanakannya Lima Poin Konsensus ASEAN oleh junta militer,” ujar Kritenbrink.
Ia mengatakan, AS bekerja sama dengan kantor utusan khusus ASEAN untuk Myanmar yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan untuk urusan hariannya diketuai oleh Ngurah Swajaya. Sebagai wujud dari dukungan terhadap sentralitas ASEAN, Kritenbrink mengungkapkan, AS akan meningkatkan tekanan terhadap junta Myanmar untuk melakukan gencatan senjata dan menghentikan penyerangan serta kekerasan kepada lawan-lawan politiknya.
Mengenai pandangan AS soal Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, Kritenbrink menjelaskan, AS memercayai adanya kebebasan berlayar, terbang, dan perdagangan. Menurut dia, pandangan AS dan AOIP ini sejalan dengan peraturan-peraturan internasional.
Ia berpendapat, beberapa tahun belakangan, di berbagai belahan dunia, mayoritas perkembangan justru menunjukkan keinginan dunia untuk semakin berjejaring melakukan konvergensi berlandaskan nilai-nilai strategis universal. Semua menginginkan keamanan, kestabilan, ketenangan, dan keselarasan yang berujung pada kesejahteraan bersama.
Oleh karena itu, ia mengatakan, AOIP ini sejalan dengan berbagai peraturan internasional. Prinsipnya ialah tidak boleh ada negara yang merundung negara lain ataupun melakukan perbuatan koersif. Semua negara saling memercayai untuk membuat keputusan berdasarkan pertimbangan masing-masing, selama tidak melanggar aturan global. ”Setiap negara bebas menentukan mitra kerja sama mereka. Biarkan ada kompetisi yang sehat,” ujarnya.
Prinsip kompetisi ini, lanjut Kritenbrink, juga diterapkan dalam hubungan bilateral antara AS dan China. Dua hari lalu, Menlu China Qin Gang mengkritik AS karena menganggap AS memaksakan kehendak dan berusaha untuk mengisolasi serta menjegal China. Hal itu, antara lain, karena China tetap dekat dengan Rusia yang dikecam oleh negara-negara Barat karena menginvasi Ukraina. Baru-baru ini, AS menembak balon yang dituduh sebagai perangkat mata-mata China meskipun Beijing mengatakan itu balon pemantau cuaca yang tertiup ke wilayah AS.
China juga banyak menggelar latihan militer di Selat Taiwan sebagai reaksi dari kunjungan berbagai pejabat Pemerintah AS ke Taiwan. Adapun berbagai kunjungan itu sendiri adalah reaksi dari pidato Presiden China Xi Jinping pada Kongres Nasional Partai Komunis China 2022 bahwa ia ingin menyatukan kembali Taiwan dengan Beijing, padahal Taipei menginginkan status quo sesuai dengan referendum tahun 1992.
”Bagaimanapun, prinsip hubungan AS-China adalah kompetisi yang sehat dan terbuka. AS juga terus memegang komitmen Kebijakan Satu China, yaitu Taiwan sebagai wilayah otonom dari China. Hal ini tertuang di dalam status quo yang juga disepakati oleh China,” paparnya.
Patut diketahui, 50 persen pergerakan kontainer dunia ada di Selat Taiwan dan 90 persen pergerakan cip serta semikonduktor juga di selat ini. Jika ada ketegangan, apalagi konflik terbuka, seluruh dunia akan terdampak.
Namun, perilaku China akhir-akhir ini dinilai bersifat unilateral. Kritenbrink mencontohkan klaim China atas Laut China Selatan dengan sistem Sembilan Garis Putus-putus yang tidak diakui oleh hukum internasional sehingga bersengketa dengan negara-negara anggota ASEAN. Demikian pula klaim hendak menyatukan Taiwan dengan AS yang jelas melanggar status quo.
”Patut diketahui, 50 persen pergerakan kontainer dunia ada di Selat Taiwan dan 90 persen pergerakan cip serta semikonduktor juga di selat ini. Jika ada ketegangan, apalagi konflik terbuka, seluruh dunia akan terdampak. Kami selalu mengupayakan berbagai jalur diplomasi untuk memastikan kestabilan, tetapi juga kepatuhan terhadap hukum internasional,” tutur Kritenbrink.
Saat ditanya mengenai prinsip hukum internasional, sementara AS tidak meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 1982 tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS), Kritenbrink mengatakan, yang paling penting adalah segala perilaku AS tetap mengacu kepada hukum tersebut. Menurut dia, hal itu lebih penting dibandingkan meratifikasi UNCLOS, tetapi tidak menegakkan aturan.
Ia menekankan, AS menunggu keluarnya kode panduan (code of conduct/COC) terkait Laut China Selatan yang mulai dibahas kembali oleh ASEAN dengan China. Sementara itu, AS mendukung penerapan deklarasi panduan (DOC). ”Kami memercayai ASEAN dalam bernegosiasi terkait COC,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang berbeda, peneliti ASEAN di Badan Riset dan Inovasi Nasional, Khanisa Krisman, mengatakan, komitmen dan itikad baik AS itu tetap harus dimantapkan dengan meratifikasi berbagai peraturan internasional, termasuk UNCLOS. Hal ini karena hukum internasional itu yang menjadi pegangan semua negara dan tolak ukur pelaksanaan komitmen.
”Melalui hukum itu pula setiap pihak yang melanggar bisa dimintai pertanggungjawaban. Saat ini, Pemerintah AS memang mematuhi UNCLOS, walaupun tidak meratifikasi. Akan tetapi, tidak ada yang bisa menjamin kepatuhan itu di masa depan apabila AS tidak meneken konvensi,” ucapnya.
Khanisa juga mengatakan agar ASEAN serius menerapkan sentralitasnya. Presiden Joko Widodo ketika menerima kunjungan Menlu Qin Gang pada akhir Februari menegaskan, ASEAN bukan perpanjangan tangan negara lain ataupun kekuatan geopolitik global tertentu. Artinya, persaingan yang terjadi antara negara-negara itu tidak boleh dibawa ke ASEAN.
”Apa pun tawaran kerja samanya, tidak boleh diselipi persyaratan bahwa ASEAN sebaiknya memilih membela pihak tertentu. Itu baru perwujudan komitmen terhadap sentralitas ASEAN,” katanya.