Budaya suatu bangsa adalah alat diplomasi yang lengkap karena mengandung semua unsur, mulai dari politik, kesenian, sosial, dan ekonomi. Akan tetapi, pola pikir ini rupanya perlu "dikompori" lebih lanjut.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, LUKI AULIA
·5 menit baca
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Lanskap dari puncak Pulau Padar di kawasan Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, Kamis (28/7/2022). Selema beberapa tahun terakhir, jumlah wisatawan yang datang ke Pulau Padar dan Pulau Komodo semakin meningkat sehingga pemerintah memutuskan untuk membatasi pengunjung ke kawasan ini.
Setiap kali ada negara di Asia Tenggara yang mengajukan suatu tradisi ataupun artefak kebudayaan kepada Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), warganet Indonesia biasanya mencak-mencak. Mereka keras mengatakan bahwa produk budaya ituadalah kepunyaan Indonesia semata. Padahal, sejatinya, kebudayaan merupakan hal yang cair dan selalu menyebar. Mengakui persebarannya sembari melestarikan produk budaya itu menunjukkan keluhuran budi bangsa Indonesia.
“Di sini tugas kami melakukan pendidikan masyarakat bahwa budaya Indonesia itu lahir dari berbagai pengaruh global sejak zaman dulu dan kemudian menyebar pula di kawasan dengan kecairan komunikasi sehingga menjadi signifikan di wilayah yang lebih luas daripada Nusantara,” kata Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Itje Chodidjah ketika ditemui di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
KNIU adalah badan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat ini, ketuanya adalah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim. Guna memastikan lembaga ini berfungsi dengan baik, tugas hariannya diemban oleh ketua harian yang dalam hal ini dipegang oleh Itje, seorang pendidik dan juga pegiat pendidikan. Ia menjelaskan, KNIU adalah pintu masuk UNESCO ke pemerintahan Indoensia. Demikian pula sebaliknya.
“Tugas utama KNIU adalah membela kepentingan Indonesia pada tataran global dengan landasan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu aspek ikut melaksanakan ketertiban dunia,” tutur Itje.
LARASWATI ARIADNE ANWAR
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO Itje Chodidjah di Jakarta, Kamis (2/3/2023). Ia menjelaskan tugas KNIU sebagai fasilitator antara pemerintah Indonesia dengan Organisasi Keilmuan, Pendidikan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
UNESCO pada dasarnya bergerak di aspek pendidikan, kebudayaan, dan pelestarian lingkungan hidup. Oleh sebab itu, KNIU juga menjadi fasilitator antara lembaga dunia yang berpusat di Paris, Perancis itu dengan Pemerintah Indonesia. Tujuannya ialah memastikan bahwa kekayaan alam dan budaya Indonesia diakui, pada saat yang sama juga mendampingi pemerintah memastikan pelestarian kekayaan Indonesia yang sudah mendapat pengakuan global itu.
Itje menerangkan, di dalam pelestarian itu, literasi di masyarakat adalah kunci. Sering kali, pengetahuan masyarakat Indonesia terbatas mengenai kekayaan yang ada di sekitar mereka sehingga cenderung acuh. Baru ketika negara lain mengatakan mereka memiliki kekayaan serupa, masyarakat Indonesia marah dan langsung “merebut” narasi kepemilikan. Bahkan, keagresifan ini kerap diiringi pengecapan negara lain sebagai maling kebudayaan.
“Ini bukti pemahaman mengenai kebudayaan itu sangat minim di masyarakat sehingga muncul egosektoral antarnegara, bahkan antarsuku bangsa di dalam negara kita sendiri,” kata Itje.
KNIU kemudian “bergerilya” kepada berbagai kementerian/lembaga hingga organisasi-organisasi masyarakat untuk menjelaskan bahwa persebaran budaya adalah hal yang sangat alami. Justru, jika ada artefak kebudayaan atau tradisi yang berasal dari Nusantara menjadi signifikan di negara lain, menunjukkan kuatnya diplomasi non-politik bangsa Nusantara sejak dulu.
Salah satu pengajuan warisan budaya tak benda yang tengah diurus KNIU ialah kebaya. Di UNESCO, hanya dua jenis kebaya Nusantara yang telah tedaftar, yaitu kerancang dari Jakarta dan labuh dari Riau. Negara-negara tetangga, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei hendak bersama-sama mengajukan kebaya sebagai warisan budaya tak benda Asia Tenggara kepada UNESCO.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Hilmar Farid (kedua dari kiri) bersama perwakilan Malaysia, Thailand, dan Singapura di Jakarta, Selasa (7/2/2023). Pada kesempatan ini, disampaikan bahwa Indonesia sepakat untuk mengusulkan kebaya sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Menanggapi hal itu, sejumlah pihak di Indonesia tersinggung dan bermaksud mengajukan kebaya khusus sebagai milik Indonesia. KNIU kemudian mengadakan berbagai diskusi mengenai asal-usul dan penyebaran kebaya di Nusantara dan kemudian meluas ke Asia Tenggara dengan mengundang berbagai pakar, antara lain antropolog, perajin kebaya, dan sejarawan.
Dari berbagai diskusi itu, masyarakat tercerahkan. Bahkan, sekarang Indonesia bergabung bersama negara-negara sahabat di Asia Tenggara mengajukan kebaya ke UNESCO. Apabila diterima, di dalam inkripsi UNESCO tetap dijelaskan bahwa bukti-bukti sejarah dan arkeologis mengatakan kebaya berasal dari Nusantara dan signifikansinya meluas ke Asia Tenggara dan menjadi warisan di kawasan.
“KNIU menekankan bahwa pemahaman budaya secara luas dan mendalam ini adalah bukti keluhuran budi bangsa Indonesia. Ini pula yang akan membangun reputasi Indonesia sebagai bangsa yang bisa dipercaya dan murah hati. Kita memiliki produk kebudayaan dan di saat yang sama mengakui serta menghargai betapa produk itu juga sudah mendarah daging di bangsa-bangsa sahabat,” papar Itje.
Keluhuran budi itu, lanjut Itje, harus disertai tanggung jawab merawat dan melestarikan. Jika dalam keseharian masyarakat Indonesia tidak menunjukkan kepedulian dan mengabaikan warisan budaya tersebut, bahkan membiarkan nyaris punah, UNESCO akan mencabut pengakuan.
Menurut dia, untuk warisan budaya tak benda seperti tenun dan batik ataupun kesenian tradisional umumnya tidak ada masalah karena diterapkan dalam keseharian masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di warisan alam yang berupa cagar biosfer, taman nasional, dan taman bumi (geopark) ada pekerjaan rumah besar.
“Memang harus ada lebih banyak duduk bersama semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, daerah, masyarakat adat, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat awam mengenai pelestarian dan pengelolaan berbagai warisan alam ini agar jika ada pembangunan yang dibutuhkan masyarakat tetap sejalan dengan marwah pelestarian lingkungan,” ujarnya.
Pendidikan dan kebebasan
Selain pelestarian berbagai warisan budaya maupun alam, KNIU juga mengampanyekan literasi dan kebebasan berekspresi. Literasi diperoleh melalui pendidikan yang berkualitas dan berkesinambungan. Mereka mendukung program pembelajaran seumur hidup. Artinya, berapapun usia seseorang, ia harus terus memiliki pilihan untuk memperkaya wawasan dan keterampilan.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pedagang melayani wisawatan yang hendak berbelanja noken, tas khas Papua yang terbuat dari anyaman benang serat kayu, di tepi Jalan Budi Utomo, Kota Timika, Mimika, Papua, Rabu (27/10/2021). Noken yang sudah menjadi warisan budaya tak benda asal tanah Papua yang telah diakui UNESCO tersebut ditawarkan seharga Rp 150 ribu-Rp 500 ribu, tergantung ukuran dan kerumitan dalam pembuatan.
“Konsep pendidikan sepanjang hayat ini berkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan karena setiap unsur masyarakat aktif terlibat dan memiliki kemampuan masing-masing. Ini kunci perubahan karakter, di samping peningkatan mutu kognitif individual,” kata Itje.
Tujuan dari pendidikan tersebut ialah menjadikan masyarakat sebagai bagian dari pertumbuhan dunia. Kegiatannya memang di dalam negeri, tetapi memiliki wawasan global. Ia menuturkan, konsep dari UNESCO ini sebenarnya sudah ada di Indonesia di dalam Pendidikan Pelajar Pancasila yang dikenal dengan istilah kebinekaan global. Selain pada tataran pemikiran juga diturunkan kepada peningkatan kompetensi, vokasi, dan teknis yang terus dimutakhirkan.
Adanya pendidikan sepanjang hayat ini pula yang memungkinkan kebebasan berekspresi secara bertanggung jawab. Dalam hal ini, lanjut Itje, berkaitan erat dengan kebebasan pers di Indonesia. “Di satu sisi, masyarakat jangan sumbu pendek. Di sisi lain, pers juga harus profesional dan menjalankan tugas sesuai Kode Etik Jurnalistik. Jika keduanya terpenuhi, impunitas pers bisa lebih tertangani dan kiprah pers sebagai salah satu pilar demokrasi bisa berjalan lebih baik,” ujarnya.
Melihat banyaknya ragam tugas KNIU, Itje mengatakan, salah satu keinginan KNIU ialah agar payung hukum bisa diganti dari peraturan menteri menjadi peraturan presiden. Apabila itu terjadi, KNIU menjadi komisi nasional yang merdeka dan bisa mengakses lintas kementerian/lembaga seperti Komnas Hak Asasi Manusia dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia sehingga kinerja bisa sungguh-sungguh berskala nasional.