Era Baru Surat Kabar Jepang
Bisnis media cetak Jepang mulai merasakan krisis yang terjadi di Barat dan kawasan lainnya bertahun-tahun silam. ”Shinano Mainichi Shimbun”, salah satunya, mulai beradaptasi ke dunia digital karena menurunnya oplah.

Sejumlah karyawan dari surat kabar lokal, Shinano Mainichi Shimbun atau Shinmai, sibuk bekerja di ruang redaksi, di Nagano, Jepang, Jumat (17/2/2023). Surat kabar ini menyediakan berita lokal, nasional, serta internasional. Nagano adalah prefektur dengan 2,05 juta jiwa penduduk.
Industri surat kabar Jepang telah lama terkenal kokoh melintasi zaman dan gempuran teknologi informasi. Akan tetapi, angin krisis mulai datang berembus beberapa tahun terakhir. Selamat datang di era baru, Jepang.
”Kami bisa bertahan 150 tahun karena menerbitkan surat kabar berkualitas. Masyarakat lokal menginginkan informasi lokal yang tak tersedia di internet,” ujar wartawan Shinano Mainichi Shimbun, Atsumu Takehana, di Prefektur Nagano, Jepang.
Berdiri sejak 1873, Shinano Mainichi Shimbun atau Shinmai adalah surat kabar lokal Jepang. Shinano merupakan nama kuno Nagano, sedangkan mainichi berarti setiap hari. Kantor pusatnya berlokasi di 657 Minami-Agatamachi. Dikelilingi oleh pegunungan Alpen Utara yang memukau, gedung surat kabar bergaya modern kebiruan ini terdiri atas 12 lantai.
Kompas berkunjung ke redaksi Shinmai, Jumat (17/2/2023). Kunjungan ini adalah bagian dari program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth (Jenesys) 2022. Pemerintah Jepang mengundang 20 jurnalis muda Indonesia berkunjung ke Jepang selama 15-21 Februari 2023.
Siang itu, waktu menunjukkan pukul 14.00. Ruang redaksi Shinmai sekilas terasa sepi. Bukannya tidak ada orang. Kepala beberapa karyawan menunduk ke arah komputer dan kertas yang bertebaran di atas meja. Mereka tengah menyiapkan penerbitan koran sore.
Ya, Shinmai terbit dua kali sehari, yakni pagi dan sore. Oplahnya masih mencatat angka yang cukup luar biasa. Koran ini mencetak 410.000 eksemplar untuk versi pagi dan 25.000 eksemplar untuk versi sore. Pada puncaknya, sirkulasi pernah mencapai 489.502 eksemplar pada 2008 serta menguasai lebih dari 60 persen pangsa pasar.

Wakil Pemimpin Redaksi Shinano Mainichi Shimbun atau Shinmai Norio Kikuchi berbicara kepada rombongan program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youth (Jenesys) 2022 untuk jurnalis muda asal Indonesia di ruang redaksi, di Nagano, Jepang, Jumat (17/2/2023).
Shinmai menjadi koran lokal terbesar keempat di Jepang. Surat kabar ini menyediakan berita lokal, nasional, serta internasional. Nagano ialah prefektur dengan populasi penduduk sebanyak 2,05 juta jiwa.
”Kebiasaan orang Jepang adalah membaca koran setiap hari. Sampai saat ini, masih ada kebutuhan semacam itu. Namun, ada perubahan budaya pada generasi muda sehingga mereka lebih menyukai berita daring,” ujar Wakil Pemimpin Redaksi Shinmai Norio Kikuchi.
Demografi pembaca mayoritas berusia 40-an tahun ke atas. Shinmai juga memiliki pembaca setia usia 60-80 tahun. Merekalah yang menopang bisnis surat kabar yang pernah berperan sebagai media resmi Olimpiade dan Paralimpiade Musim Dingin Nagano 1998 itu.
Akan tetapi, oplah belakangan cenderung menurun. Pembaca muda berkurang. Mereka tak biasa membayar demi berita. Perusahaan media tersebut lantas mencoba menggaet mereka lewat platform digital berbayar yang dirilis pada Desember 2021.

Sejumlah karyawan dari surat kabar lokal, Shinano Mainichi Shimbun atau Shinmai, terlihat sibuk bekerja di ruang redaksi, di Nagano, Jepang, Jumat (17/2/2023).
Terlambat adaptasi
Kisah Shinmai adalah cuplikan industri surat kabar Jepang. Dahulu, kata paradoks tepat bagi Jepang. Negara yang terkenal dengan teknologi canggih ini masih mengonsumsi berita secara luring. Malahan, surat kabar Jepang tetap berjaya ketika industri media cetak di Barat dan kawasan lainnya merosot akibat televisi dan internet.
Fondasi industri ini kuat sebab membaca koran merupakan bagian dari identitas warga Jepang. Faktor penentu lain ialah berkat layanan pengantaran koran langsung ke rumah. Dalam paparan Berpikir tentang Media dan Dunia, Direktur Utama Bee Media LLC, Haruo Kurasawa, mengatakan, puncak sirkulasi surat kabar di Jepang mencapai 53 juta eksemplar pada 1997.
Namun, realita baru membawa Jepang bergegas ke dunia digital. Seiring waktu, oplah koran menurun. Jumlah sirkulasi surat kabar Jepang sebesar 30,85 juta eksemplar pada 2022, mengutip Statista. Setidaknya satu dari empat orang berlangganan koran. Jepang sekarang memiliki sekitar 4.000 surat kabar, termasuk surat kabar lokal.
”Di Jepang, digitalisasi kurang dan agak terlambat. Dan, membuat berbagai platform itu susah,” kata Kurasawa yang juga adalah jurnalis senior di Tokyo, Rabu (15/2).

Tampilan halaman depan koran Shinano Mainichi Shimbun atau Shinmai di ruang redaksi Shinmai, di Nagano, Jepang, Jumat (17/2/2023). Shinmai merupakan koran lokal terbesar keempat di Jepang yang terbit pada pagi dan sore.
Fenomena tersebut tidaklah mengejutkan. Sejak September 2013, Profesor Studi Informasi Universitas Tokyo Kaori Hayashi, dalam artikel Japan’s Newspaper Industry: Calm Before the Storm di Nippon.com telah menyebutkan industri surat kabar Negara Sakura ini akan mengalami guncangan jika terus menerapkan model bisnis lama.
Sekarang, angin krisis bagi industri tersebut datang. Shinmai menjadi contoh dari sekian surat kabar yang mulai beradaptasi ke platform digital. Koran di Nagano ini baru meluncurkan platform digital berbayar pada 2021. Baru sekitar 2.000 pelanggan yang diperoleh.
”Kami ingin memeroleh profit itu, tetapi sekarang masih percobaan model bisnis mana yang lebih berpotensi. Kami belum memutuskan kebijakan yang lebih layak,” ujar Kikuchi.
Jika dibandingkan, The New York Times dari Amerika Serikat meluncurkan berita versi digital berbayar pada 2011 dan sekarang telah meraih 6,37 juta pelanggan khusus produk berita (Statista, 2023). Di Indonesia, Kompas resmi merilis platform Kompas.id sejak 2017.
Selain terlambat, proses adaptasi surat kabar harus melawan sistem yang telah ada. Keberadaan situs pengumpul berita (news aggregator), seperti Yahoo! News, mendominasi internet Jepang. Situs-situs ini tak melakukan peliputan, tetapi mengumpulkan informasi dari situs-situs berita. Sebuah kabar buruk bagi media dengan platform berbayar.

Sejumlah karyawan dari surat kabar lokal Shinano Mainichi Shimbun atau Shinmai, di ruang redaksi, di Nagano, Jepang, Jumat (17/2/2023).
Tempat khusus
Kurasawa berpendapat, media massa Jepang akan bergerak menuju ke arah yang lebih bervariasi. Koran-koran mulai memiliki situs sendiri, seperti Yomiuri Shimbun dan Asahi Shimbun, dan media digital kecil bermunculan.
”Kondisi semacam itu bagus bagi Jepang. Di Eropa, mesin pencari informasi melakukan pencarian, tetapi orang cuma melihat satu halaman sehingga hanya melihat informasi yang sama. Hal itu menjadi masalah,” tutur mantan jurnalis Nippon TV ini.
Terlepas dari platform berita yang bermunculan, keberadaan surat kabar yang mulai tertatih mungkin akan selalu memiliki tempat khusus di hati masyarakat Jepang. Saat darurat, terbukti bahwa media massa konvensional sebagai tonggak informasi andal.
Pada 2011, terjadi bencana tsunami di pesisir timur laut Jepang yang memakan korban 19.000-an jiwa. Tsunami juga menimbulkan bencana nuklir Fukushima. Percetakan Ishinomaki Hibi Shimbun ikut terdampak. Walakin, para wartawan menulis berita lewat tulisan tangan bagi warga di pusat evakuasi (Kompas, 19/1/2012).

Sejumlah peralatan liputan dan foto bersejarah milik surat kabar lokal Shinano Mainichi Shimbun atau Shinmai, di Nagano, Jepang, Jumat (17/2/2023).
Selain itu, format berita yang beragam tidak ada artinya jika kerja jurnalistik dilakukan ala kadarnya. Tak bisa dimungkiri, berita adalah komoditas yang diperdagangkan. Perusahaan sibuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan persaingan bisnis yang kian sengit untuk bertahan. Tuntutan pekerjaan wartawan jadi bertambah dari segi kualitas dan kuantitas tulisan dalam waktu terbatas.
Wakil Direktur Divisi Kedua Asia Tenggara Departemen Urusan Asia Tenggara dan Barat Daya Kementerian Luar Negeri Jepang Kazuya Kaneko menyampaikan, wartawan jadi tergoda membuat berita sensasional yang berujung pada pengorbanan nilai berita.
”Pemberitaan seperti itu lebih mengundang respons emosional daripada melahirkan pembahasan yang membangun berdasarkan pada nalar dan logika,” ujar pejabat yang pernah bertugas di Indonesia ini.
Baca Juga:Jurnalisme sebagai Jembatan Perdamaian
Ia melanjutkan, perkembangan teknologi juga tidak serta-merta mempermudah pekerjaan jurnalistik. Kerja jurnalistik justru menjadi rumit. Pelaporan berita secara langsung kadang luput menayangkan hal tak berbentuk, misalnya nilai dan kepentingan politik.
Karena itu, menurut Kaneko, wartawan berkewajiban untuk terus berlatih berpikir dan menulis tangan karena mereka berperan dalam membentuk opini publik. ”Wartawan perlu menjaga profesionalisme yang baik dan merasakan tanggung jawab atas berita yang dibuat. Hal ini tentu berlaku pada media seluruh dunia,” katanya.