Bersiap Menggembala Ciptaan yang Bisa Menghancurkan
Bak dua sisi satu koin, yang diperingatkan Stephen Hawking, penciptaan AI itu kejadian terbesar sekaligus bisa kejadian terakhir dalam sejarah manusia. Perlu pengaturan agar dunia terhindar dari kehancuran akibat AI.
Di hampir semua tahapan pengembangan kecerdasan buatan, pemerintah dan khususnya militer di sejumlah negara berperan. Ironisnya, kini banyak pemerintah belum siap menghadapi perkembangan kecerdasan buatan. Padahal, sudah hampir seabad fondasi awal pengembangan kecerdasan buatan itu terbentuk. Para panglima perang lebih cemas lagi, melihat kemajuan kecerdasan buatan bisa meningkatkan kemampuan mesin memusnahkan makhluk hidup.
Mendiang Stephen Hawking menyebut, penciptaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bisa disebut kejadian terbesar dalam sejarah manusia. Namun, penciptaan AI juga bisa menjadi kejadian terakhir dalam sejarah manusia jika manusia tidak mempelajari risiko pengembangan dan penggunaan AI.
Dosen pada Texas University, Peter Stone, menyebut, perkembangan AI sedang mengalami percepatan. Meski fondasinya telah diletakkan pada 1943, hanya dalam dua dekade terakhir ada percepatan perkembangan AI secara luar biasa. Komputer kini makin tangguh untuk mengelola mahadata.
Baca juga: Ancam Kemanusiaan, Kecerdasan Buatan pada Militer Butuh Aturan Internasional
Damman 7, komputer milik Arab Saudi dan tercepat di Jazirah Arab, mampu menjalankan 55.400 triliun penghitungan dalam satu detik. Jika dilakukan manusia, penghitungan sebanyak itu butuh hingga 1,7 juta tahun. Meski cepat, kemampuan Damman 7 jauh di bawah Frontier. Superkomputer milik IBM ini bisa melakukan satu kuintiliun penghitungan tiap detik. Setiap kuintiliun setara dengan sejuta triliun.
Dalam skala jauh di bawah Damman dan Frontier, komputer-komputer di Rusia dan Ukraina digunakan untuk mengolah informasi tempur. Dilengkapi kecerdasan buatan, komputer-komputer itu membuat perang Ukraina kini menjadi ajang unjuk kebolehan persenjataan otonom (autonomous weapon system/AWS).
Perang mengerikan
Dalam artikel di jurnal Nature pada 21 Februari 2023, pengajar ilmu komputer di University of California, Stuart Russell, menuliskan kecemasannya pada AWS dan semi-AWS di Ukraina. Wahana nirawak dan rudal bisa mengecoh pertahanan udara karena diatur oleh AI. AWS mampu memutuskan titik terbaik untuk diserang. Pertimbangan target serangannya adalah titik yang bisa menimbulkan kerusakan dan kematian paling besar.
AI membuat wahana nirawak bisa mengerubuti obyek serangan. Akibatnya, sistem pertahanan udara terkecoh. Wahana nirawak berperilaku seperti lebah atau semut, tidak seperti pasukan militer dengan barisan pengepungan konvensional. ”Komunitas AI sejak lama menentang AWS,” tulis Russell.
Elon Musk serta sejumlah pakar dan tokoh teknologi pernah meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa melarang penggunaan AI untuk membangun AWS. Namun, desakan itu tidak didengar sampai sekarang. Sebaliknya, justru penggunaan AI di persenjataan semakin luas.
Kolonel Senior Zhou Bo lewat artikel di The New York Times pada 2020 mendesak Amerika Serikat dan China membuat panduan untuk membangun kepercayaan militer kedua negara. Panduan itu perlu memasukkan AI. Pakar AI di Universitas Teknologi Pertahanan Nasional China, Zhu Qichao, menekankan, AS-China perlu membuat batasan penggunaan AI pada persenjataan. Beijing-Washington juga perlu membuat mekanisme mencegah konflik yang dipicu oleh penggunaan AI dalam pengambilan keputusan militer.
Baca juga: Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Kemanusiaan
Saran itu diajukan karena salah satu penerapan AI di militer adalah penilaian potensi ancaman. Dengan memeriksa mahadata, AI menyusun hipotesis potensi ancaman dan saran penanggulangannya. Fakta masih ada bias pada AI sampai sekarang bisa meningkatkan kesalahan penilaian potensi itu.
Pertimbangan target serangan dengan sistem persenjataan otonom (autonomous weapon system/AWS)adalah titik yang bisa menimbulkan kerusakan dan kematian paling besar.
Wakil Presiden Centre for a New American Security Paul Scharre menyebut, kengerian dampak dan kerusakan dalam perang Napoleon dan Perang Dunia (PD) I bisa terulang karena AI. Teknologi membuat kemampuan senjata dalam melukai dan membunuh lawan meningkat pada perang Napoleon dan PD I.
Namun, para jenderal tidak memahami hal itu dan masih menggunakan taktik lama. Akibatnya, korban meningkat drastis dibandingkan perang sebelumnya. Kini, persenjataan yang dilengkapi AI bisa meningkatkan kemampuan memusnahkan sasaran.
AI memaksa pakar strategi mengubah cara mengelola perang. Keputusan di lapangan harus dibuat dalam hitungan detik. ”Taktik masa depan harus beradaptasi dengan fakta musuh bisa menembak lebih tepat sasaran dan bertindak dalam hitungan detik karena bantuan AI dalam pengelolaan pusat informasi tempur,” ujar Scharre.
Dosen pada Sekolah Staf Komando China, Chen Hanghui, mengatakan, kondisi itu membuat otak manusia akan sampai tahap tidak mampu mengolah informasi di palagan tempur. Sebab, informasi terlalu banyak dan cepat mengalir. Mau tidak mau, pengolahan informasi tempur diserahkan kepada AI.
Pengaturan
Karena itu, wajar jika ada desakan larangan atau setidaknya pengaturan AI dalam persenjataan. Namun, jangankan secara spesifik soal senjata, pengaturan AI secara umum pun baru dilakukan oleh sedikit negara. Lewat undang-undang yang disahkan pada Oktober 2021, Brasil termasuk negara paling awal yang mengatur AI.
Sebelumnya, pada April 2021, Komisi Eropa mengusulkan rancangan UU yang dikenal sebagai AI Act. Versi akhir RUU itu diadopsi Dewan Menteri Uni Eropa pada awal Desember 2022. Parlemen Eropa dijadwalkan memaparkan pandangan mereka atas RUU itu, Maret 2023.
Selain menggodok aturan internal, UE juga sedang membahas standar AI global bersama Amerika Serikat. Pada 1 Desember 2022, komite bersama AS-UE telah mengesahkan peta jalan soal pengembangan standar AI.
Baca juga: 61 Negara Serukan Penggunaan Kecerdasan Buatan Militer yang Bertanggung Jawab
AS, Brasil, UE, bersama Inggris dan Kanada dianggap sebagai pelopor pengaturan AI. Posisi AS dan Inggris memang teramat penting dalam pengembangan AI. Persamaan yang dikenal sebagai Unit Ambang Logika yang digagas Warren McCulloch dan Walter Pitts pada 1943 dipandang sebagai fondasi awal AI. Berikutnya, matematikawan Inggris, Alan Turing, dianggap sebagai pengembang awal kemampuan mesin untuk belajar (machine learning). Kini machine learning menjadi salah satu inti AI.
Meski demikian, Inggris bukan negara paling unggul dalam penggunaan AI. Dalam indeks adopsi global AI yang dikeluarkan IBM, Inggris tertinggal jauh dari India, Italia, dan Uni Emirat Arab soal penggunaan AI. Indeks IBM, yang disusun berdasarkan jajak pendapat terhadap masing-masing 500 perusahaan di negara responden, menemukan hanya 26 persen responden di Inggris menggunakan AI. Di India, 57 persen responden menggunakan AI dan 27 persen lain sedang menjajakinya.
Dalam Indeks Kesiapan AI yang rutin diterbitkan Oxford Insight, Inggris juga tidak masuk peringkat teratas. Inggris di peringkat ketiga setelah AS dan Singapura. Sebaliknya, India di peringkat ke-32. Oxford Insight mengukur kapasitas pemerintah, teknologi, dan infrastruktur data dalam menyusun daftar itu.
Dalam daftar versi 2022, Indonesia menempati peringkat ke-43 dari 181 negara yang diukur kesiapannya terhadap perkembangan AI. Di Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Indonesia, menurut Oxford Insight, mengalami percepatan penggunaan AI karena memacu digitalisasi selama pandemi Covid-19.
Oxford Insight mempertimbangkan serangkaian regulasi yang dinilai mendorong pengembangan AI. Lembaga itu memasukkan visi pengembangan AI sebagai salah satu alat ukur kesiapan pemerintahan pada AI. Visi itu harus jelas menggambarkan bagaimana AI akan dikembangkan dan dikelola. Pemerintah juga perlu kapasitas digital yang kuat, termasuk kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru.
Tantangan
Dalam kajian McKinsey dan IBM, adaptasi menjadi persoalan serius dalam penggunaan AI. Seperti disebut Stone, AI kini berkembang sangat cepat. Banyak pebisnis mengaku tidak sanggup mengikuti kecepatan AI.
Ketua Asosiasi Masyarakat AI Indonesia Lukas menyebut, Indonesia telah meluncurkan strategi nasional AI pada 2020. Walakin, Indonesia masih sangat kekurangan tenaga terampil untuk mengembangkan AI. Dukungan riset juga sangat kurang. Padahal, berkaca pada pengalaman berbagai negara, kedua faktor itu amat penting dalam pengembangan AI. Meski belum diketahui sebabnya, penelitian soal AI di Indonesia belum banyak diadaptasi oleh industri.
Baca juga: AI dan Masa Depan Manusia
Soal riset, Michael Wooldridge menyebut, tahun ini akan ada penurunan dana untuk program jangka panjang. Sebab, para pendana ingin segera melihat hasil berbagai penelitian sebelumnya. ”Peneliti di laboratorium perusahaan pun akan berada dalam tekanan agar penelitian mereka bisa menghasilkan uang,” kata dosen Oxford University itu.
Kondisi itu merupakan imbas dari penurunan perekonomian global dan bukan pertama kali ini terjadi. Setidaknya ada tiga kali periode penurunan perkembangan AI pada 1970-1990. Kondisi itu terjadi kala pendana merasa berbagai riset gagal memenuhi harapan untuk menghasilkan uang. Meski demikian, Wooldridge meyakini perkembangan AI akan semakin cepat.
Juara dunia catur yang pernah dikalahkan AI, Garry Kasparov, menyebut perkembangan AI tidak mungkin dicegah. Di masa depan, mesin bisa jadi jauh lebih ahli dibandingkan manusia. Pada tahap itu, manusia dapat berperan sebagai penggembala dan AI adalah ternak yang perlu diarahkan agar tidak menimbulkan bahaya. (AFP/REUTERS)