Masalah menurunnya angka kelahiran sangat penting bagi keberlanjutan suatu bangsa. Menurut laporan di jurnal ilmiah ”Lancet”, pada 2100 sebanyak 23 negara maju akan kehilangan setengah penduduknya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AP PHOTO/ANDY WONG
Warga membawa anak-anak mereka bermain di dekat kawasan komersial di Beijing, China, 10 Mei 2021. Partai Komunis China menghapus batasan yang memperbolehkan pasangan suami istri memiliki tiga anak untuk mendongkrak penurunan angka kelahiran di negara itu.
Jepang dan China sama-sama mengalami masalah kekurangan kelahiran penduduk, sementara jumlah warga lanjut usia kian banyak. Muncul beberapa usulan di luar dugaan dari sejumlah politikus kedua negara itu untuk menggenjot angka kelahiran.
Di Jepang, dalam kongres Parta Demokratik Liberal (LDP), Selasa (28/2/2023), seorang politikus dari Prefektur Mie berteori bahwa berkurangnya jumlah kelahiran bukan karena biaya hidup yang tinggi dan keengganan perempuan untuk berkeluarga, melainkan karena masyarakat Jepang tidak memiliki kemampuan bersikap romantis. ”Pemerintah harus membuat program untuk meningkatkan perasaan romantis di masyarakat,” kata Narise Ishida, politikus tersebut yang dikutip oleh surat kabar Mainichi.
Menurut dia, hal ini berdasarkan jajak pendapat yang pernah dilakukan di Prefektur Mie beberapa tahun silam. Mayoritas responden mengatakan memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah. Selain itu, banyak yang mengaku tidak tahu cara memulai komunikasi dengan lawan jenis, apalagi berpacaran.
Sementara itu, di China, anggota Dewan Penasihat Partai Komunis China, Lu Weiying, mengusulkan agar kaum perempuan diimbau membekukan sel telur mereka. Lu, yang juga berprofesi sebagai dokter kandungan, menjelaskan, sel telur beku itu nanti bisa digunakan walaupun perempuan tersebut telah melewati masa subur.
”Tentu saja perempuan itu harus menikah dulu sebelum bisa menggunakan sel telur bekunya,” ujar Lu kepada surat kabar nasional China, Global Times. Usul ini secara resmi akan diajukan pada Konferensi Penasihat Politik Rakyat China pada 4 Maret.
Di China, program bayi tabung hanya bisa diakses oleh perempuan yang telah menikah. Meskipun demikian, pada akhir 2022, Pemerintah China mengumumkan bahwa perempuan yang tidak menikah ataupun yang memilih lajang sekalipun dianjurkan mempunyai anak demi menjaga tingkat populasi.
Persoalan menurunnya angka kelahiran di negara-negara maju saling berkelindan. Beberapa negara, antara lain Jepang, China, dan Korea Selatan, menyalahkan tekanan ekonomi dan biaya hidup yang mahal sebagai akar permasalahan warga mereka tidak mau mempunyai anak. Akan tetapi, sebenarnya permasalahannya lebih pelik lagi.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, seperti dikutip oleh kantor berita Kyodo, mengatakan, pemerintah memprioritaskan berbagai kebijakan terkait pembinaan keluarga dan anak. Per April 2023, ada Badan Keluarga dan Anak yang dicanangkan. Mereka ditargetkan mengeluarkan peta jalan keluarga berencana Jepang pada Juni 2023.
”Fungsi sosial kita terancam jika kelahiran terus menurun,” kata Kishida. Angka kelahiran Jepang pada Desember 2022 di bawah 800.000 kelahiran. Ini jumlah terendah di negara tersebut sejak tahun 1899.
Kishida menginginkan anggaran tunjangan keluarga ditingkatkan dari 10 triliun yen, yang setara dengan 2,1 persen pendapatan domestik bruto (PDB), menjadi dua kali lipat. Masyarakat cepat mengutarakan kekhawatiran pajak akan naik, apalagi negara masih dilanda inflasi setinggi 4,2 persen. Ini inflasi terburuk dalam 40 tahun.
Di Jepang, pemerintah memberi insentif sebesar 420.000 yen (sekitar Rp 46,9 juta) setiap kelahiran anak. Kishida berencana menaikkannya menjadi minimal 500.000 yen (Rp 55,9 juta) per kelahiran. Gubernur Tokyo Yurike Koike menambahkan, di ibu kota tersebut, warga berumur 0-18 tahun akan diberi uang saku sebesar 5.000 yen (Rp 559.000) per bulan. Akan tetapi, masyarakat mempertanyakan asal muasal tunjangan itu.
Sejumlah perusahaan besar, antara lain Sega, Nintendo, Toyota, dan Honda, menaikkan gaji pegawai mereka dengan kisaran 5-30 persen. Meskipun begitu, secara umum, berbagai firma kajian keuangan memperkirakan, kenaikan gaji rata-rata di Jepang maksimal 2,85 persen. Jumlah itu tidak akan mengubah kesejahteraan masyarakat secara drastis. Apalagi, 40 persen tenaga kerja di Jepang adalah karyawan honorer yang tidak masuk dalam skema kenaikan upah.
Warga Tokyo, Jepang, melintasi kawasan Shibuya, 13 Oktober 2015. Jepang termasuk negara dengan struktur penduduk menua akibat melonjaknya jumlah warga lansia dan terus turunnya hasrat kaum muda terhadap pernikahan.
Menurun
Berdasarkan data Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dunia membutuhkan jumlah anak sebanyak 2,1 per keluarga untuk menjaga kelangsungan populasi. Di 38 negara anggota OECD, rata-rata jumlah anak per tahun 2020 adalah 1,67 per keluarga.
Tren ini kecil, terutama di negara-negara maju. Angka kesuburan Jepang adalah 1,3; China 1,2; dan Korea Selatan 0,8. Bahkan, angka kesuburan di negara-negara Eropa selatan dan tengah juga menurun. Italia, misalnya, angka kesuburannya 1,3 dan Polandia 1,4.
Jurnal ilmiah Lancet pada 2020 mengeluarkan hasil kajian yang memperkirakan bahwa pada 2100 sebanyak 23 negara maju akan kehilangan setengah dari penduduknya. Perkiraan ini tidak mencakup kemungkinan pertambahan populasi dari sektor imigrasi, tetapi hanya menghitung sesuai dengan tren angka kelahiran per negara.
Dosen Komunikasi dan Budaya Universitas Hati Suci, Tokyo, David McNeill, menjelaskan di harian Manichi bahwa keengganan generasi muda berkeluarga ini tidak sebatas soal uang, tetapi juga definisi kebahagiaan hidup. ”Pemudi sekarang tidak berminat menjadi ibu rumah tangga yang berjibaku sendirian di rumah, sementara suami bekerja hingga larut malam. Pemudanya juga tidak mau terjebak kehidupan sebagai salaryman. Baik laki-laki maupun perempuan menginginkan hidup yang bahagia dan berkualitas sesuai minat masing-masing. Negara belum bisa membaca kemauan generasi muda,” paparnya.
Demikian pula di China yang dilanda krisis tangping (selonjoran) dan bailan (membusuk). Generasi muda pengikut aliran tangping memilih hidup santai dan menekuni hal-hal yang membahagiakan mereka. Bekerja dan berkeluarga karena tekanan sosial tidak dilirik sama sekali.
Sebaliknya, pengikut aliran bailan berpandangan hidup apatis. Jika nasib tidak kunjung membaik, buat apa berusaha? Ini adalah persoalan yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan iming-iming tunjangan anak.