Robert Hunter Wade dari London School of Economics, 8 Februari 2011, telah mengingatkan kekuatan AS yang selama ini bersifat memaksakan kehendaknya lewat lembaga-lembaga internasional akan mendapatkan perlawanan.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·3 menit baca
AP/AIJAZ RAHI
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen tersenyum saat mendengar pertanyaan yang disampaikan kepadanya saat konferensi pers dalam pertemuan para menteri keuangan negara-negara anggota G20 di pinggiran Bengaluru, India, 23 Februari 2023.
Pemerhati kekuatan geopolitik sejak 1991 pasti mengenang postur Amerika Serikat yang bagai godzilla atau monster. Tak satu pun negara bisa menolak apa pun yang diinginkan AS dalam setiap urusan internasional. Pertemuan pejabat keuangan G20 di Bengaluru, India, yang berakhir pada Sabtu (25/2/2023) memperlihatkan godzilla itu sudah lunglai.
Seusai pertemuan terbaru di India itu, G20 disebut terpolarisasi, tidak efektif, tidak kompak. Ini persis seperti ucapan Menteri Luar Negeri Norwegia Jonas Gahr Store kepada Der Spiegel, 22 Juni 2010. Ia mengatakan, G20 menggambarkan kemunduran terbesar bagi komunitas internasional sejak Perang Dunia (PD) II. Argumentasi Store, G20 tanpa legitimasi internasional tak punya mandat dan tak memiliki fungsi jelas.
Hal yang paling pas adalah AS sekarang ini tidak lagi berhasil menekan G20. Negara-negara anggota G20 tidak mau lagi didikte AS. Sejak PD II, sebenarnya tidak ada lembaga internasional yang punya legitimasi kuat. Keberadaan PBB, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) hanya terkesan kuat karena tekanan AS tanpa perlawanan, tetapi tidak sepenuhnya mewakili kepentingan dunia.
Oleh sebab itu, sejak PD II turut bermunculan kelompok Gerakan Non-Blok, Gerakan Selatan Selatan, dan lainnya. Bank Dunia, misalnya, telah tertandingi pada 2015 dengan terbentuknya New Development Bank, ciptaan BRICS, yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. PBB, Bank Dunia, IMF, hingga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dianggap tidak mewakili semua pihak.
AFP/MANJUNATH KIRAN
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memperlihatkan gestur namaste saat keluar dari ruang pertemuan para menteri keuangan negara-negara anggota G20 di pinggiran Bengaluru, India, Sabtu (25/2/2023).
Kini G20 dianggap menjadi kelompok yang paling menggambarkan keterwakilan dunia. Lalu, mengapa G20 kadang dinilai tidak efektif? Sebenarnya jasa G20 sangat dikenang saat resesi besar AS pada 2008. Pada 2009, Presiden AS Barack Obama lewat G20 berhasil mendorong kucuran stimulus dan pembelian obligasi terbitan Pemerintah AS oleh China. Hal ini sangat menolong perekonomian dunia dari resesi. Di bawah Obama, G20 berjalan relatif baik dengan dasar pikiran ”bahwa di dunia ini yang punya hak dan kepentingan bukan hanya AS”.
Setelah Obama, G20 kurang efektif walau tetap tergolong sebagai kelompok dengan keterwakilan tertinggi. Presiden AS Donald Trump muncul dengan moto ”America First”. Dan tentu AS juga tidak bisa lagi menekan dunia dan G20.
Pemudaran kekuatan ekonomi AS turut membuat dunia menuntut perubahan tatanan global. BRICS, terutama China, telah menjadi kekuatan utama yang ingin mengubah tatanan, seperti dituliskan Deepanshu Mohan, profesor ekonomi dan Direktur Centre for New Economics Studies, Jindal School of Liberal Arts and Humanities, OP Jindal Global (The Wire, 25 Februari 2023).
AP/INDIAN FINANCE MINISTRY
(Dari kiri ke kanan) Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman, dan Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati berfoto bersama dalam simposium infrastruktur publik digital dalam rangkaian pertemuan para menteri keuangan negara-negara anggota G20 di pinggiran Bengaluru, India, 23 Februari 2023.
Mendukung itu, harian China, The Global Times, 19 Februari 2023, menyajikan artikel yang ditulis He Zhigao, anggota staf dari Institute of European Studies, Chinese Academy of Social Sciences. ”Tatanan internasional yang didominasi AS selama ini telah memudar karena melulu digerakkan berdasarkan ide dan aturan Barat serta hanya melayani kepentingan hegemoni dan dominasi Barat,” tulis He Zhigao.
Robert Hunter Wade dari London School of Economics, 8 Februari 2011, telah mengingatkan kekuatan AS yang selama ini memaksakan kehendaknya lewat lembaga internasional akan mendapat perlawanan. Perlawanan G20 terhadap tekanan AS terlihat nyata dalam pertemuan G20 di Bengaluru.
Menkeu AS Janet Yellen gagal memaksa G20 serentak mengecam invasi Rusia ke Ukraina. Tentu G20 juga tidak kompak soal pembahasan pengurangan beban utang negara berkembang, yang kini membesar akibat inflasi dan kenaikan suku bunga di AS. Agenda G20 berantakan di Bengaluru. Namun, sejatinya G20 tidak berantakan. Yang terjadi, sang godzilla yang sudah lunglai dan ompong serta harus berubah. (REUTERS/AP/AFP)