Laporan Booth: Inflasi di AS Jauh dari Tuntas dan Tetap Berisiko
Analisis Booth mengindikasikan potensi gejolak bagi perekonomian AS. Mengutip kasus historis dimulai dari 1950, perang melawan inflasi pada perekonomian besar, tidak mungkin tanpa resesi.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
AFP/YUKI IWAMURA
Satu keluarga berbelanja di sebuah supermarket di kota New York, Amerika Serikat, 14 Desember 2022. Inflasi di Amerika Serikat melandai dalam beberapa bulan terakhir. Namun, dibutuhkan penurunan harga lebih lanjut untuk bisa menunjukkan bahwa tren itu akan berlangsung dalam jangka panjang.
Pertarungan Amerika Serikat melawan inflasi jauh dari selesai. Memang, di AS telah terjadi penurunan inflasi tahunan dari puncaknya sebesar 9,1 persen pada Juni 2022 menjadi 6,4 persen pada Januari 2023. Akan tetapi, target inflasi di AS adalah 2 persen. Jalan menuju level 2 persen itu masih alot dan tidak mungkin tanpa resesi.
Efek tekanan inflasi di AS tetap berpotensi memberi goyangan pada mata uang negara-negara berkembang lewat gejolak kurs. Efek lain adalah lanjutan kenaikan inflasi, antara lain lewat inflasi impor dari AS, yang juga sudah dirasakan di sejumlah negara.
Goyangan kurs mata uang negara berkembang kuat karena keadaan memaksa Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga dari level sekarang sebesar 4,5–4,75 persen. ”Saya pikir karena tekanan inflasi, lanjutan kenaikan suku bunga dengan besaran 0,5 persen ketimbang 0,25 persen tetap diperlukan,” kata Presiden Federal Reserve Bank Cleveland Loretta Mester, Jumat (24/2/2023).
Tekanan inflasi terlihat dari ukuran inflasi yang menjadi pilihan The Fed, disebut personal consumption expenditures price index (disingkat PCE). Ukuran pilihan The Fed ini berbeda dengan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) yang diumumkan Pemerintah AS lewat Biro Statistik Tenaga Kerja. Inflasi tahunan berdasarkan CPI turun menjadi 6,4 persen pada Januari 2023.
Namun, inflasi berdasarkan ukuran pilihan The Fed menunjukkan inflasi pada Januari 2023 sebesar 5,4 persen. Angka inflasi pilihan The Fed ini lebih rendah dari CPI karena harga-harga sewa memiliki bobot dua kali dalam CPI ketimbang PCE. Akan tetapi, PCE dapat menangkap perubahan pola belanja warga ketika inflasi naik. Dengan demikian, ukuran PCE ini bisa menangkap pola belanja dari barang mahal ke barang lebih murah.
Kenaikan terdeteksi
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
Tekanan inflasi tinggi di Amerika Serikat mendorong kenaikan suku bunga acuan lebih tinggi.
Masalah muncul karena inflasi berbasis PCE, yang dikompilasi Departemen Perdagangan AS, naik 0,6 persen antara Desember 2022 dan Januari 2023. Kenaikan bulanan terakhir ini lebih besar dari kenaikan 0,2 persen yang terjadi antara periode November–Desember 2022.
Inflasi tahunan berdasarkan PCE pada Januari 2023 sebesar 5,4 persen dibandingkan dengan Januari 2022. Angka ini juga lebih tinggi dari inflasi tahunan sebesar 5,3 persen pada Desember 2022 jika dibandingkan dengan Desember 2021.
Data yang diumumkan pada Jumat itu menjadi pertanda bahwa AS masih didera tekanan inflasi. Uniknya, tekanan inflasi tetap terjadi meski The Fed telah menaikkan suku bunga sebanyak delapan kali sejak Maret 2022 dari angka 0,25-0,5 persen menjadi 4,5-4,75 persen.
Jelas, pengetatan kebijakan moneter masih diperlukan untuk waktu yang lebih lama,
Bahkan, inflasi tahunan berdasarkan CPI pada Januari 2023 yang sebesar 6,4 persen juga lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya, yakni sebesar 6,2 persen. Inflasi bulanan berdasarkan CPI pada Januari 2023 naik 0,5 persen dari Desember 2022. Kenaikan bulanan ini lebih tinggi dari kenaikan bulanan sebesar 0,1 persen yang terjadi pada periode November–Desember 2022.
Pebisnis pun menaikkan harga jual produknya pada awal 2023, pertanda disinflasi berlangsung lambat. Survei yang dilakukan University of Michigan, Jumat (24/2), turut menunjukkan konsumen memprediksi inflasi akan naik lagi pada Februari 2023. ”Jelas, pengetatan kebijakan moneter masih diperlukan untuk waktu yang lebih lama,” kata Jeffrey Roach, ekonom dari LPL Financial.
Ekonomi harus terjerembab
CHIP SOMODEVILLA/GETTY IMAGES/AFP
Gubernur The Fed Jerome Powell.
Keadaan ini sesuai dengan pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell pada awal Februari 2023 bahwa kenaikan suku bunga diperlukan lagi dan suku bunga tinggi perlu dipertahankan lebih lama. Situasi terbaru itu semakin mencuatkan keraguan apakah AS bisa mengatasi inflasi tanpa harus menyebabkan perekonomian memasuki resesi.
Pada Jumat, dalam pernyataan di Bengaluru, India, Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengulangi lagi keyakinannya bahwa inflasi memang masih menekan. Hanya, Yellen juga mengulangi lagi pernyataannya bahwa ekonomi AS mungkin saja mengalami penurunan aktivitas, tetapi tidak resesi, dalam perang melawan inflasi.
Akan tetapi, sebuah hasil riset terbaru menyebutkan, untuk menurunkan inflasi menjadi 2 persen, tidak mungkin tanpa resesi. ”Tidak ada preseden bagi sebuah bank sentral yang bisa memerangi inflasi tanpa mengorbankan perekonomian atau resesi,” demikian hasil sebuah laporan yang dipaparkan kepada para pembuat kebijakan di The Fed.
Laporan tersebut dipersiapkan University of Chicago’s Booth School of Business. Analisis Booth mengindikasikan potensi gejolak bagi perekonomian AS. Mengutip kasus historis dimulai dari 1950, perang melawan inflasi pada perekonomian besar, tidak mungkin tanpa resesi.
Laporan tersebut dipersiapkan sebuah tim akademisi dan para ekonom yang bekerja di sejumlah korporasi. Di dalam anggota tim penyusun laporan itu ada mantan anggota Dewan Gubernur The Fed Frederic Mishkin. Tim mengingatkan kembali periode 1970-an saat Gubernur The Fed Paul Volcker menaikkan suku bunga secara radikal untuk memerangi inflasi.
Laporan terbaru itu juga menyebutkan, The Fed sekarang telah terlambat mengantisipasi ancaman inflasi. Seperti Volcker, Powell sekarang ini kehilangan respek pasar tentang kemampuan memerangi inflasi. Akibatnya, kenaikan suku bunga kemudian terpaksa dilakukan oleh Volcker secara radikal dengan konsekuensi besar, termasuk menyebabkan pengangguran 10 persen pada dekade 1980-an. Laporan Booth memprediksi The Fed harus memperketat kebijakan moneter hingga bisa mencapai target inflasi 2 persen pada 2025.
Masukan penting
KARINA ISNA IRAWAN
Proyeksi The Fed Terhadap Perekonomian AS
Philip Jefferson, anggota Dewan Gubernur The Fed, mengatakan pentingnya menelaah sejarah dan membandingkannya dengan situasi sekarang ini. Hanya, Jefferson mengingatkan efek pandemi Covid-19 tahun 2020 yang turut mendorong stimulus besar-besaran, penyebab inflasi tinggi.
Masalahnya, ada sekitar 9 triliun dollar AS stimulus yang dikucurkan Pemerintah AS untuk mencegah depresi pada masa pandemi. Hanya, stimulus AS ini tergolong berlebihan, yang didorong mantan Presiden Donald Trump dan juga Presiden Joe Biden.
Laporan itu menepis pandangan beberapa para pejabat The Fed sekarang yang berharap inflasi akan bisa diatasi tanpa menyebabkan resesi. ”Kami tidak menemukan kasus bank sentral berhasil mencapai disinflasi tanpa resesi,” demikian isi laporan tim yang juga beranggotakan para ekonom, seperti Stephen Cecchetti, Michael Feroli, Peter Hooper, dan Kermit Schoenholtz.
Riset tersebut mencoba melihat kemungkinan disinflasi tanpa resesi. ”Analisis kami mengindikasikan keraguan apakah target inflasi 2 persen bisa dicapai tanpa resesi,” demikian lanjutan isi riset itu. (REUTERS/AFP/AP)