China mengeluarkan inisiatif agar Rusia dan Ukraina berdamai. Akan tetapi, dunia menunggu langkah kongkretnya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KYIV, JUMAT – Ukraina menyambut baik inisiatif China yang mengeluarkan pernyataan tertulis mengenai penghentian kekerasan dan percepatan perundingan damai. Langkah itu penting guna mengakhiri perang dengan Rusia yang telah berlangsung selama satu tahun. Kyiv menginginkan agar Beijing menambah frekuensi dialog dengan mereka dan jangan hanya mendekati Moskwa agar ada pembicaraan yang berimbang.
Kementerian Luar Negeri China di Beijing pada hari Kamis (23/2/2023) malam mengeluarkan dokumen berjudul Inisiatif Keamanan Global. Di dalamnya tertera 12 poin mengenai penghentian perang antara Rusia dengan Ukraina. Pokok-pokok yang disinggung adalah agar semua pihak memacu perundingan damai antara kedua negara yang bertikai; menghentikan segala jenis ancaman penggunaan senjata nuklir; menghentikan sikap mental Perang Dingin; dan mencabut berbagai embargo ekonomi.
“Ini sungguh langkah yang baik dari China untuk terlibat mempromosikan perundingan damai secara lebih intensif. Hendaknya, Beijing bisa duduk bersama kami untuk membahas dengan jernih situasi sekarang dan perspektif kami mengenai perundingan damai,” kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam jumpa pers bersama Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez yang sedang melawat ke Kyiv.
Zelenskyy menekankan bahwa persyaratan perundingan damai dari Ukraina masih sama dengan tahun lalu yang mengandung sepuluh poin. Di antaranya ialah penarikan pasukan Rusia dan Ukraina, membebaskan tahanan, mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki kepada Ukraina, dan secara resmi menyatakan perang telah usai. Wilayah yang dimaksud adalah Kherson, Donetsk, Luhanks, dan Zaporizhia. Dokumen dari China ini tidak membahas poin-poin tersebut.
Mencari gambaran
Terbitnya dokumen itu membuat dunia bertanya-tanya mengenai gambaran mediasi konflik yang akan dipakai oleh China. Sejumlah pihak mempermasalahkan konsistensi sikap China. Misalnya, Beijing mengeluarkan inisiatif, tetapi pada saat yang sama memilih abstain dari menandatangani resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghentikan perang Rusia-Ukraina. Dugaannya karena salah satu pokok di resolusi itu ialah mengenai penarikan pasukan Rusia dari wilayah Ukraina.
Dari seluruh negara anggota PBB, sebanyak 141—termasuk Indonesia—menandatanganinya. China termasuk dari 35 negara yang abstain bersama dengan India, negara-negara Asia Tengah, dan sebagian besar negara di Afrika. Adapun Korea Utara, Nikaragua, Suriah, Mali, Eritrea, Belarus, dan Rusia menolak resolusi.
“Kami memercayai bahwa dialog adalah satu-satunya jalan keluar dari konflik ini. Bejing menyayangkan proses dialog yang berlangsung di awal perang terhenti. Proses ini harus dimulai lagi,” kata Wakil Duta Besar China untuk PBB Dai Bing, dikutip oleh Deutsche Welle.
Kuasa Usaha Ukraina untuk China Zhanna Leshchynska menanggapi pada kesempatan yang berlainan bahwa butuh pembuktian yang nyata mengenai inisiatif tersebut. Hal ini akan memberi gambaran jelas mengenai posisi Beijing. Apalagi, saat ini ada narasi dari negara-negara Barat bahwa China disinyalir hendak memberi bantuan persenjataan kepada Rusia karena Ketua Komite Kebijakan Luar Negeri Partai Komunis China Wang Yi baru berkunjung ke Moskwa. China membantah kabar itu, tetapi kecurigaan internasional tetap ada.
“Posisi China sebaga anggota Dewan Keamanan PBB sangat penting untuk membujuk Rusia mau berunding,” tutur Leshchynska.
Pengalaman China
China sejatinya memiliki pengalaman memediasi konflik internasional. Mereka antara lain terlibat dalam proses mediasi di Afghanistan; Korea Utara; Sudan dan Sudan Selatan; serta Suriah. Pada Agustus 2018, Institut Kajian China Mercator (MERICS) di Jerman mengeluarkan laporan mengenai keterlibatan China dalam berbagai mediasi konflik selama periode 2006-2018.
Menurut ketua tim peneliti MERICS, Helena Legarda, frekuensi keterlibatan China meningkat sejak tahun 2013. Ini adalah ketika proyek Insiatif Sabuk dan Jalan (BRI) dicanangkan. Di dalam BRI, China membangun infrastruktur transportasi berupa jalan dan rel kereta api di negara-negara berkembang yang bertujuan melancarkan pergerakan barang serta jasa.
“Motif keterlibatan China memediasi ini adalah ekonomi, yaitu demi melancarkan investasi China yang kebetulan berada di wilayah-wilayah berkonflik,” ujarnya.
Pemikiran serupa juga dituangkan di laporan Institut Stimson dari Amerika Serikat pada Agustus 2021. Laporan ini menganalisis sikap China berdialog dengan Taliban yang merebut pemerintahan Afghanistan. Tidak hanya itu, China tetap menawarkan berbagai proyek kerja sama dan tetap meneruskan proyek BRI di Afghanistan.
Justin Lin, penulis laporan, menjelaskan bahwa selain motif ekonomi, juga ada alasan kuat bagi China merangkul Taliban. Beijing tidak menginginkan Afghanistan yang berbatasan langsung dengan Xinjiang menjadi basis dari gerakan separatis ataupun kelompok teroris.
Landasan keterlibatan China memang masih kuat di hal-hal yang pragmatis. Akan tetapi, Lin juga menyoroti bahwa China selama ini tidak mengambil peran sebagai pemimpin mediasi, melainkan terlibat menjadikan mediasi itu sebagai proses multinasional. Artinya, banyak negara yang terlibat sehingga narasi tidak dikuasai oleh pihak-pihak tertentu.
Sementara itu, pihak yang langsung menolak memercayai niat China ini adalah AS. Dalam wawancara dengan CNN, Penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan bahwa hanya jika Putin berhenti menyerang Ukraina perang bisa berhenti. “Begitu Putin tidak menyerang Ukraina, perang berhenti pada detik itu,” ujarnya.
Editor:
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO, FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA