China Desak "Negara Tertentu" Tak Panas-panasi Perang di Ukraina
Beijing menilai, eskalasi perang di Ukraina terus meningkat, bahkan lepas kendali. Untuk itu China mendesak agar sejumlah ‘negara tertentu’ berhenti 'menyiramkan bahan bakar ke api".
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·5 menit baca
Beijing, Selasa – Perang berkepanjangan di Ukraina membuat China sangat prihatin. Beijing menilai, eskalasi perang yang dipicu operasi militer khusus Rusia itu terus meningkat, bahkan lepas kendali. Keprihatinan itu diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri China Qin Gang dalam Forum Lanting, Inisiatif Keamanan Global yang digelar Kementerian Luar Negeri China di Beijing, Selasa (21/2/2023).
"China sangat khawatir konflik Ukraina akan terus meningkat atau bahkan lepas kendali," kata Qin dalam pidatonya. Tanpa menyebut nama suatu negara, Qin mendesak agar sejumlah ‘negara tertentu’ segera berhenti mengobarkan peperangan di Ukraina. “Berhenti memanas-manasi, menambah bahan bakar ke api, hari ini Ukraina, besok Taiwan,” kata Qin.
Dengan tegas Qin mengatakan bahwa Beijing menentang dan melawan semua bentuk hegemoni, terutama campur tangan asing, terutama dalam urusan China. Qin menambahkan, agar negara-negara itu berhenti menyalahkan China.
Terkait perang di Ukraina, China sejauh ini terus berupaya memposisikan diri sebagai pihak netral, sembari mempertahankan hubungan dekat dengan Rusia yang merupakan sekutu strategisnya. Beijing sendiri berupaya mendorong upaya damai untuk menghentikan perang tersebut. China telah berjanji membuat proposal yang bertujuan mencari “solusi politik” untuk mengakhiri perang di Ukraina.
China, kata Qin, siap untuk bekerja sama dengan komunitas internasional mempromosikan dialog dan konsultasi demi mengatasi aneka persoalan yang muncul dan mewujudkan perdamaian.
Pada saat ini yang sama diplomat senior China, Wang Yi tengah menggelar lawatan ke Eropa. Ia mengunjungi Perancis, Italia, Hongaria, Jerman dan Rusia. Menurut Kantor Berita Rusia TASS, Wang dijadwalkan tiba di Moskwa hari ini.
Saat menghadiri Konferensi Keamanan Munich pada Sabtu pekan lalu, terkait Ukraina Wang mengatakan, Beijing menentang serangan terhadap pembangkit listrik tenaga nuklir, dan menentang penggunaan senjata biokimia. China pun, tutur Wang bersedia bekerja sama dengan semua pihak.
Sementara itu saat singgah di Hongaria pada Senin kemarin, Wang menyerukan negosiasi untuk menyelesaikan perang di Ukraina. Pada hari yang sama, Presiden AS Joe Biden mengunjungi Kyiv. Saat bertemu dengan mitranya Presiden Volodymyr Zelenskyy, Biden kembali menjanjikan bantuan militer senilai lebih dari 500 juta dollar AS untuk Kyiv. Selain itu, Biden juga menjanjikan sanksi tambahan untuk elite Rusia. Sebaliknya, Zelenskyy menilai kunjungan itu sebagai tanda kunci dukungan AS untuk Ukraina.
"Pembicaraan ini membawa kami lebih dekat ke kemenangan," kata Zelenskyy. Ia menyebut janji tambahan pasokan senjata dari AS adalah sinyal tegas bahwa upaya Rusia untuk menang tidak akan memiliki peluang.
Menurut juru bicara Dewan Keamanan Nasional, John Kirby, saat bertemu Zelenskyy, Presiden Biden juga menegaskan bahwa AS akan terus mendukung Ukraina selama diperlukan.
"Putin mengira Ukraina lemah dan Barat terbagi," kata Biden, Senin. "Dia pikir dia bisa bertahan lebih lama dari kita. Dia benar-benar salah," tambahnya.
Tuduhan
Lawatan Wang Yi, serta penegasan sikap Beijing sebagaimana disampaikan Qin Gang, mengemuka menyusul tuduhan Menlu Amerika Serikat Antony Blinken yang mengatakan bahwa China tengah mempertimbangkan mengirim senjata ke Rusia.
"Ada berbagai jenis bantuan mematikan yang setidaknya mereka pertimbangkan untuk diberikan, termasuk senjata," kata Blinken dalam wawancara dengan NBC News, Sabtu pekan lalu.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell dalam pertemuan terakhirnya dengan Wang mengingatkan, setiap dukungan material untuk Moskwa merupakan garis api relasi EU-China.
"Dia mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak akan melakukannya, mereka tidak berencana melakukannya. Tetapi kami akan tetap waspada," kata Borrell, Senin (20/2/2023) di Brussel, Belgia.
Terhadap tuduhan Washington, Beijing dengan tegas membantahnya. Sebaliknya, Beijing menuduh Washington telah "menyebarkan informasi palsu".
Tak hanya itu, saat bertemu dengan Blinken di sela-sela Konferensi Keamanan Munich, Minggu, Wang mengatakan AS seharusnya mempromosikan solusi politik untuk krisis di Ukraina, bukan terus menambah ‘bahan bakar ke dalam api’.
"Amerika Serikatlah, bukan China, yang tanpa henti mengirim senjata ke medan perang," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin.
China sendiri sebagaimana dikemukan oleh Qin Gang, akan segera merilis Prakarsa Keamanan Global (GSI). Dalam prakarsa itu, China mendorong agar sistem dan peradaban yang berbeda diperlakukan sama. GSI pertama kali diusulkan oleh Presiden Xi Jinping pada April tahun lalu. Dijadwalkan, Jumat mendatang – bertepatan setahun perang di Ukraina – Presiden Xi akan menyampaikan “pidato perdamaian” di Beijing.
Berkepanjangan
Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari telah memicu salah satu konflik paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua. Perang itu menjadi konfrontasi terbesar antara Moskwa dan Barat sejak Krisis Rudal Kuba 1962. Di sisi lain, saat Barat mengisolasi Moskwa, perdagangan China-Rusia terus meningkat. Di bawah tekanan sanksi Barat, volume ekspor minyak Rusia ke China justru menjadi lebih besar.
Sementara itu, Direktur Pengelola German Marshall Fund East Michal Baranowski mengatakan, perang di Ukraina akan menjadi perang yang panjang. "Jika kita tidak memiliki kepemimpinan politik dan jika kita tidak menjelaskan kepada masyarakat kita mengapa perang ini sangat penting untuk keamanan mereka, maka Ukraina akan berada dalam masalah," kata Baranowski.
Di AS, jajak pendapat yang diterbitkan minggu lalu oleh The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research menunjukkan bahwa dukungan untuk menyediakan senjata dan bantuan ekonomi langsung kepada Ukraina melemah. Bahkan pada awal bulan ini sebanyak 11 politisi Republikan di DPR AS menginisiasi sebuah resolusi yang mereka sebut sebagai "kelelahan Ukraina". Resolusi itu antara lain berisi desakan agar Biden mengakhiri bantuan militer dan keuangan untuk Ukraina, sambil mendorong Ukraina dan Rusia mencapai kesepakatan damai.