Lingkaran Setan Perang Mengancam Anak-anak Afrika
Kenaikan harga bahan pokok akibat invasi Rusia ke Ukraina turut membuat anak-anak di Afrika kekurangan gizi. Dalam jangka panjang, Afrika akan kesulitan berkembang dan selalu menjadi benua yang terbelakang.
Nadifa Abdi Isak bergegas membawa tiga putrinya yang kekurangan gizi ke Rumah Sakit Benadir di Mogadishu, Somalia. Isak menuturkan, kedua putrinya mengeluh sakit di dadanya. Saat kejadian, waktu menunjukkan pukul 02.00.
Tidak mudah mencari kendaraan yang mau membawa mereka ke rumah sakit. Isak dan suaminya, Mohamed Ibrahim, mencoba menyetop berbagai kendaraan yang lewat, meminta bantuan agar bisa membawa kedua anak mereka ke rumah sakit. Namun, nihil. Tak ada satu pun kendaraan berhenti. Akhirnya, mereka berjalan kaki sejauh 4 kilometer untuk mencapai rumah sakit.
Tiba di instalasi gawat darurat, dokter dan perawat memberi tahu mereka tidak bisa menemukan pembuluh darah di tangannya untuk memasukkan obat atau cairan infus. Mau tidak mau, tim perawat terpaksa memasukkan cairan melalui pembuluh darah di kepalanya. ”Belum waktunya dia mati,” kata ibunya lega.
Baca juga: “Melerai” Duet Mematikan: Konflik dan Kelaparan
Hari itu, tidak hanya putri Isak yang dirawat di rumah sakit karena kekurangan gizi. Seorang perawat menyebut, 42 anak lainnya harus dirujuk ke instalasi gawat darurat karena kondisi yang sama. Sehari sebelumnya, pasien yang harus dirawat karena kekurangan gizi mencapai 57 anak.
Mogadishu bukan kampung halaman Isak dan keluarganya. Mereka berasal dari Dinsoor, kota di wilayah Teluk Somalia, 370 kilometer timur Mogadishu. Tidak mudah bagi mereka untuk keluar dari sana.
Isak, suami, dan lima anak mereka, yaitu Hamdi (7), Muna (6), Nasib (4), Fardawasa (3) dan seorang bayi di punggungnya, meninggalkan Dinsoor pada Juni 2022. Mereka berjalan kaki ke kota terdekat, Baidoa, berharap mendapat tumpangan untuk mencapai ibu kota. Selain pakaian, sedikit susu dan makanan untuk kedua anaknya, Isak mengantongi uang tabungannya yang hanya bernilai 15 dollar AS (Rp 227.000). ”Kami melarikan diri dengan harapan menyelamatkan anak-anak kami,” kata Isak.
Akan tetapi, perjalanan ke Mogadishu tidak mudah. Baru sehari berjalan, mereka disergap bandit. Uang tabungan yang tidak seberapa itu digasak. Begitu juga dengan makanan yang dibawa. Beruntung bagi keluarga tersebut, bandit-bandit itu tidak membunuh mereka. Tanpa bekal apa pun, mereka meneruskan perjalanan.
Setelah empat hari berjalan, mereka baru bisa mencapai Baidoa. Namun, tidak ada bantuan yang bisa mereka dapatkan di sana. Beruntung, seorang asing memberikan tumpangan bagi Isak, suami, dan ketiga anaknya untuk mencapai Mogadishu. Perjalanan dari Baidoa juga tak mudah. Butuh waktu seminggu untuk mencapai ibu kota Somalia dan mendirikan kemah di Distrik Garasbaley, tujuan bagi Isak dan sekitar 50.000 warga Somalia yang mencari bantuan.
Hanya seminggu setelah keluarga itu tiba di Mogadishu pada Juni, dua anaknya, Muna dan Hamdi, jatuh sakit. Mereka lemah dan demam, kaki mereka membungkuk dan anggota badan membengkak. Mereka mulai batuk dan berjuang untuk bernapas.
Saat Isak membawa Muna dan Hamdi berobat, semuanya sudah terlambat. ”Para dokter tidak dapat membantu mereka karena mereka akan meninggal ketika kami sampai di rumah sakit,” kata Isak.
Tidak banyak yang bisa dilakukan dokter dan para perawat di rumah sakit. Kepala perawat di IGD Anak RS Benadir Farhia Moahmud Jama mengatakan, tidak jarang para orangtua tidak sadar ketika anaknya dibawa ke rumah sakit, kondisinya sudah sangat parah. Terlambat. ”Terkadang ada ibu yang membawa anak mereka ke sini dalam keadaan sudah meninggal. Dan, mereka tidak tahu mereka sudah mati,” kata Jama.
Kekurangan gizi
Kepala Departemen Pediatrik RS Benadir Aweis Olow mengatakan, kematian Muna dan Hamdi adalah pemandangan yang jamak disaksikan di rumah sakit itu. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, kasus pasien anak yang mengalami kekurangan gizi meningkat lebih dari dua kali lipat selama satu tahun terakhir. Kini, setiap bulan, rumah sakit ini menangani lebih dari 1.000 kasus anak-anak kekurangan gizi.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut, sekitar 1 juta anak di Somalia terancam kelaparan. Dalam pernyatan bersama pada 12 Januari 2023, lima badan PBB yang mengurusi kesehatan, kesejahteraan warga dan pengungsi, yaitu UNHCR, FAO, WFP, Unicef, dan WHO, menyebut, 30 juta anak di 15 negara mengalami kekurangan gizi akut yang mengancam nyawa.
Negara-negara tersebut adalah Afghanistan, Burkina Faso, Chad, Republik Demokratik Kongo, Etiopia, Haiti, Kenya, Madagaskar, Mali, Niger, Nigeria, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, dan Yaman.
Baca juga: 50 Juta Warga Afrika Timur Terancam Kelaparan Akut
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan, satu dari lima warga Afrika mengalami krisis pangan sejak tahun 2021. Diperkirakan, 300 juta warga benua ini mengalami krisis pangan dan kini memburuk. Memperkuat pernyataan FAO, Program Pangan Dunia (WFP) menyebut di wilayah Afrika timur saja, warga yang mengalami krisis pangan melonjak hingga 60 persen. Di Afrika barat, kenaikan mencapai 40 persen.
Menurut FAO, secara global, harga sereal, susu, daging, minyak sayur dan gula mengalami kenaikan lebih dari 23 persen pada 2021. Kenaikan ini tercepat dalam satu dekade terakhir. Hal itu berdampak pada kenaikan pengeluaran untuk makanan pokok di seluruh dunia, termasuk di Afrika. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut, kenaikan pengeluaran untuk makan di kawasan Sub-Sahara Afrika mencapai 40 persen. Kenaikan ini termasuk tertinggi di dunia.
Reda (55), warga Kairo, masih lebih baik dari keluarga Isak. Walau begitu, dia mengatakan, penghasilannya dari bekerja di dua tempat tidak mencukupi kebutuhan 13 orang keluarga yang bergantung padanya. ”Bahkan dengan dua sumber uang, masih banyak yang tidak bisa saya beli,” ujar Reda.
Kenaikan harga bahan kebutuhan pokok global tidak lepas dari gangguan ekspor di Laut Hitam. Gangguan produksi bahan pangan, seperti gandum, jagung, dan produk biji-bijian lain dari Ukraina, berpengaruh besar pada pasar pertanian global.
Dikutip dari laman CSIS, walau ada perpanjangan Black Sea Grain Initiative (BSGI), ekspor dari Ukraina tetap dibatasi. Proyeksi Departemen Pertanian AS, pada musim 2022-2023, produksi gandum Ukraina hanya mencapai 20,5 juta metrik ton, turun hingga 62 persen dari musim sebelumnya.
Kondisi itu berdampak pada besaran ekspor Ukraina. Walau BSGI memberikan peluang ekspor sebesar 13,7 juta metrik ton sejak Agustus 2022, angka ini 40 persen lebih rendah dari besaran ekspor sebelumnya. Rendahnya pasokan bahan pangan dari Ukraina, membuat harga-harga terkerek naik. Inflasi harga pangan akibat perang Rusia di Ukraina akan terus membuat pola makan yang sehat dan beragam tidak terjangkau oleh banyak orang.
Kelindan persoalan
Persoalan kerawanan pangan di Afrika berkelindan dengan berbagai macam persoalan lain yang harus dihadapi pemerintah dan warganya. Persoalan iklim dan curah hujan berjalinan dengan persoalan kemiskinan, utang, serta perang dan konflik. Perang dan konflik telah memaksa warga sipil pergi meninggalkan rumah dan kampung halamannya, tempat mereka bercocok tanam yang merupakan sumber pangan utama mereka.
Situasi ini (kerawanan pangan) kemungkinan memburuk pada tahun 2023. Kita harus memastikan ketersediaan, keterjangkauan, dan aksesibilitas makanan sehat.
Menurut data Proyek Data Lokasi dan Peristiwa Konflik Bersenjata (ACLED), kelompok pemantau krisis yang berbasis di Wisconsin-AS, pada tahun 2016, terdapat 3682 konflik bersenjata di Afrika Jumlah itu meningkat dua kali lipat pada tahun 2021 menjadi 7418 konflik bersenjata.
”Situasi ini (kerawanan pangan) kemungkinan memburuk pada tahun 2023. Kita harus memastikan ketersediaan, keterjangkauan, dan aksesibilitas makanan sehat,” kata Qu Dongyu, Direktur FAO.
Akses pangan yang terjangkau bagi rakyat Afrika dipersulit karena invasi Rusia ke Ukraina. Invasi Rusia telah menyedot perhatian banyak lembaga kemanusiaan negara-negara ekonomi maju. Mereka memotong dana bantuan untuk Afrika dan mengalihkannya ke Ukraina. ”Perang di Ukraina telah menyedot semua oksigen,” kata seorang pejabat pemerintah negara Barat, mengibaratkan bantuan kemanusiaan dengan oksigen yang dibutuhkan makhluk hidup tetap bernyawa.
WFP, dalam beberapa kasus, kata Ollo Sib, peneliti senior lembaga tersebut di wilayah Afrika barat, terpaksa mengurangi jatah untuk pengungsi, menjaga agar jangkauannya tetap luas. Tanpa dana bantuan yang memadai, lembaga ini mulai menghentikan bantuan makanan untuk pengungsi dan menyisakan 10 persen pengungsi saja yang dianggap paling rentan. ”Kami bisa membuat orang tetap hidup, tapi kami tidak hanya ingin membuat orang tetap hidup,” katanya.
Bertentangan dengan tren global di mana jumlah anak yang mengalami tengkes (stunting) menurun selama 25 tahun terakhir, di Afrika timur dan selatan jumlah anak yang mengalami stunting telah meningkat dari 23,6 juta anak menjadi 26,8 juta anak pada periode yang sama karena lambatnya upaya penurunan stunting. Pada saat yang sama, tidak ada upaya pemerintah mengerem angka kelahiran. Populasi anak berkembang pesat.
Sepuluh negara benua itu, yakni Angola, Burundi, Etiopia, Kenya, Madagaskan, Malawi, Mozambik, Afrik Selatan, Uganda, dan Tanzania, menyumbang 80 persen angka stunting di wilayah itu. Anak balita berusia 6-23 bulan mengalami defisiensi mikronutrien (kekurangan vitamin A, yodium, zat besi, dan seng), yang bisa memengaruhi pertumbuhan fisik dan kecerdasannya.
Baca juga: Perang, Bencana, dan Kelaparan
Pada anak-anak, kekurangan gizi bisa menghambat perkembangan otak dan mengurangi kekebalan tubuh. Kekurangan asupan bergizi selama beberapa bulan juga bisa mengurangi harapan hidup anak untuk tumbuh sehat dan produktif. Nutrisi yang cukup, stimulasi dini, dan lingkungan untuk tumbuh kembang yang optimal selama setidaknya tiga tahun pertama adalah hal penting untuk membentuk manusia yang optimal.
Malanutrisi pada periode ini nantinya akan mengurangi kualitas sumber daya manusia, meningkatkan biaya kesehatan, dan ujungnya dampak buruk pada pertumbuhan ekonomi karena negara tidak bisa memiliki bonus demografi yang bisa diperoleh dari pertumbuhan populasi dalam jangka menengah dan panjang. Ujungnya melanggengkan siklus kemiskinan dan ketimpangan.
Bagi Afrika, dalam jangka panjang, kemampuan mereka untuk berkembang menjadi terhambat. Status sebagai benua yang paling tertinggal akan selamanya melekat.
”Sangat tidak adil bahwa peluang seorang anak untuk bertahan hidup ditentukan hanya oleh tempat kelahirannya, dan ada ketidaksetaraan yang begitu besar dalam akses mereka ke layanan kesehatan yang menyelamatkan jiwa,” kata Dr Anshu Banerjee, pejabat WHO yang menangani soal kesehatan ibu, bayi, anak serta remaja.
”Krisis pangan global juga merupakan krisis kesehatan, dan lingkaran setan. Dukungan mendesak diperlukan sekarang di negara-negara yang paling terpukul, untuk melindungi kehidupan dan kesehatan anak-anak, termasuk memastikan akses penting ke makanan sehat dan layanan gizi, terutama bagi perempuan dan anak-anak,” kata Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. (AFP)