Orang kaya dan superkaya Amerika Serikat makin banyak dan kian dermawan. Hanya saja, sumbangan terbanyak mereka masih berkisar di masalah pendidikan, kesehatan, dan seni budaya. Mereka cenderung menghindari isu sensitif.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
DOKUMEN PRIBADI TAHIR
Dato Sri Tahir (keempat dari kiri) beserta keluarga bertemu dengan pendiri Microsoft, Bill Gates (kanan), di Lyon, Perancis, 9 Oktober 2019. Dalam pertemuan itu dibahas sejumlah bantuan untuk pemberantasan penyakit AIDS, TBC, dan malaria. Bill Gates juga tertarik untuk membantu keuangan inklusif bagi perempuan-perempuan di Indonesia.
Ketika jumlah orang superkaya di Amerika Serikat bertambah, daftar nama donor yang menyumbangkan uang dalam jumlah besar pun bertambah. Bahkan, mulai muncul megadonor—saking banyaknya uang yang disumbangkannya—yang berasal dari profesi yang tidak biasanya masuk di dalam kelompok orang superkaya, seperti pemain klarinet profesional, ahli atau pakar dalam ilmu daging, dan seorang pengacara yang sering berdebat di hadapan Mahkamah Agung AS.
The Chronicle of Philanthropy, majalah yang menyoroti dunia filantropi dan berbasis di Washington DC, AS, itu, Selasa (14/2/2023), menganalisis 50 donor terbesar di AS pada tahun 2022. Dari 50 orang superkaya itu, sebanyak 26 orang di antaranya termasuk orang baru yang masuk dalam peringkat tahunan Chronicle. Majalah ini sudah memulai pemeringkatan tersebut sejak tahun 2000.
Nama orang-orang baru yang ada di dalam daftar peringkat itu sebenarnya tak asing. Mereka sudah terkenal di dunia bisnis, seperti Brian Chesky dari Airbnb yang memberikan sumbangan 100 juta dollar AS untuk Yayasan Obama, Fred Smith dari FedEx yang menyumbang 65 juta dollar AS untuk Yayasan Beasiswa Korps Marinir, dan pendiri Roku Anthony Wood yang menyumbang 71,5 juta dollar AS untuk beberapa badan amal. Ada juga nama Jacklyn Bezos, ibu dari pendiri Amazon Jeff Bezos, bersama suaminya, Miguel. Keduanya menyumbang 710,5 juta dollar AS ke Pusat Kanker Fred Hutchinson.
Namun, banyak juga filantrop yang tidak dikenal secara nasional. Mereka tidak tinggal di kawasan Silicon Valley, tidak juga bekerja di Wall Street, seperti filantrop-filantrop pada umumnya. Mereka bukan pula orang terkenal dan nama besar yang berada di dunia teknologi atau keuangan, seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg, atau Warren Buffett.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Presiden Joko Widodo dan rombongan bertemu Mark Zuckerberg di kantor Facebook di California, AS, 18 Februari 2016.
Para ”pendatang baru” ini, antara lain, Edward Avedisian. Ia seorang pensiunan pemain klarinet Boston Pops yang mendapatkan banyak uang dari perdagangan sahamnya. Ia menyumbangkan 100 juta dollar AS kepada Universitas Boston sebelum ia meninggal pada Desember lalu.
Selain Avedisian, ada pula David Frederick dan istrinya, Sophia Lynn, yang memberikan hadiah sebesar 40 juta dollar AS kepada Universitas Pittsburgh dan Universitas Oxford di Inggris. Frederick adalah pengacara banding yang memperdebatkan lusinan kasus di hadapan Mahkamah Agung.
Ada pula nama kakak beradik Mary Bastian dan Emily Markham. Keduanya datang dari keluarga petani dan peternak yang sudah selama ratusan tahun mengelola tanah di Utah, AS. Keduanya menyumbangkan 100 hektar tanah senilai 41,3 juta dollar AS kepada Utah State University. Kemudian ada Gordon dan Joyce Davis yang menyumbangkan 44 juta dollar AS kepada Texas Tech. Gordon, pemegang gelar doktor dalam ilmu daging, pernah mengajar dan melatih tim juri daging universitas untuk kejuaraan nasional.
Lebih dari 141.000 orang AS memiliki kekayaan bersih sebesar 50 juta dollar AS atau lebih. Ini hampir empat kali lebih banyak dari 10 tahun yang lalu.
Perubahan komposisi peringkat ini mencerminkan kekayaan negara yang meroket. Lebih dari 141.000 orang AS memiliki kekayaan bersih sebesar 50 juta dollar AS atau lebih. Ini hampir empat kali lebih banyak dari 10 tahun yang lalu.
Perusahaan keuangan Credit Suisse menyebutkan, pertumbuhan ini semakin cepat di tengah pandemi Covid-19. Angka kenaikannya sebesar 75 persen hanya dalam waktu dua tahun.
Penggalangan dana masif
Munculnya orang superkaya di AS ini memicu tren penggalangan dana yang masif. Institusi papan atas dan terkenal, seperti Universitas Boston, Yayasan Obama, dan Museum Seni Metropolitan, menerima sumbangan individu setidaknya 10 juta dollar AS dari 50 donor filantropi pada 2022. Begitu pula Akademi Angkatan Udara McPherson, perguruan tinggi seni yang liberal di Kansas, dan Samford, sebuah universitas Kristen di Alabama.
Secara keseluruhan, separuh dari Filantropi 50 itu memberikan kontribusi kepada organisasi-organisasi yang selama ini belum pernah mendapatkan sumbangan dalam jumlah besar. Dan sumbangan dari para filantropi baru itu merupakan sumbangan terbesar dalam sejarah institusi atau organisasi mereka.
Selama ini filantrop besar juga kerap dikritik karena lebih sering menyumbang daerah pesisir dan perkotaan. Namun, hal ini tidak terjadi pada filantrop yang baru. Setengah dari 35 hibah untuk pendidikan tinggi AS diberikan kepada institusi di daerah-daerah pedalaman. Beberapa dari para filantrop baru itu juga memberikan hibah tanah ke universitas-universitas di Negara Bagian Oregon, Purdue, dan Utah.
AP/ANDREW HARNIK
Nama-nama donor terpampang di sebuah area yang dikelilingi oleh besi-besi penyangga (scaffolding) dalam pengenalan untuk media terkait renovasi besar senilai 67,5 juta dollar AS di Museum Nasional Perempuan dalam Seni di Washington DC, AS, Rabu (15/2/2023). Museum ini akan dibuka kembali pada 21 Oktober 2023.
Sementara orang-orang superkaya dan filantrop besar, seperti Gates, yang menempati peringkat teratas, memberikan sumbangan senilai 5,1 miliar dollar AS pada 2022. Angka sumbangan itu lebih dari sepertiga dari 14 miliar dollar AS yang disumbangkan kelompok orang-orang kaya dalam Filantropi 50 secara kolektif.
Di posisi kedua ada Michael Bloomberg, pendiri raksasa media keuangan Bloomberg dan mantan Wali Kota New York, AS. Ia memberikan sumbangan 1,7 miliar dollar AS untuk bidang seni, pendidikan, lingkungan, kesehatan masyarakat, dan program yang ditujukan untuk meningkatkan pemerintahan kota secara global.
Jika dilihat dari kecenderungan atau kebiasaannya selama puluhan tahun, para filantrop biasanya akan menyumbang ke badan-badan amal atau bidang-bidang ”tradisional”, seperti pendidikan, kesehatan, dan seni budaya. Sumbangan-sumbangan seperti beasiswa bagi siswa sekolah menengah atau perguruan tinggi sudah dilakukan sejak setidaknya 1.000 tahun yang lalu. Atau sumbangan untuk mendukung penelitian tentang kanker, parkinson, alzheimer, atau penyakit-penyakit lain yang memang membutuhkan dana besar.
Menjauhi bidang isu sensitif
Karena mereka lebih sering menyumbang ke bidang-bidang ”tradisional”, sebagian pengamat filantropi khawatir para donor justru tidak mengatasi masalah terbesar AS, seperti mitigasi dan solusi perubahan iklim atau isu rasisme.
Kontribusi dari 50 donor terbesar tahun lalu terhadap mitigasi dan solusi perubahan iklim saja, misalnya, hanya mencapai 195 juta dollar AS. Jumlah ini hanya sepersepuluh dari sekitar 2 miliar dollar AS yang disalurkan untuk beasiswa dan pencegahan penyakit. Apalagi, untuk isu terkait rasisme, hanya segelintir.
AP/JULIA NIKHINSON
Mantan Wali Kota New York, yang juga salah satu orang superkaya di AS, Michael Bloomberg, berbicara dengan Wakil Presiden AS Kamala Harris dalam upacara mengenang 21 tahun Serangan 11 September di National September 11 Memorial & Museum, New York, AS, 11 September 2022. Bloomberg termasuk dalam kelompok orang superkaya di dunia filantropi AS.
”Para donor terbesar tampaknya masih menjauhkan diri dari isu-isu atau tantangan sosial paling sulit di AS, seperti ketidaksetaraan, rasisme, dan masa depan planet Bumi,” kata Presiden Pusat untuk Filantropi, Phil Buchanan.
Direktur Eksekutif Yayasan Libra, Crystal Hayling, mengatakan, setelah aparat kepolisian membunuh warga kulit hitam AS, George Floyd, pada tahun 2020 dan memicu aksi protes nasional, sejumlah donor besar menunjukkan keinginan untuk mempelajari isu keadilan rasial dan apa yang bisa mereka lakukan. Itu dulu.
Yayasan Hayling sempat mengumpulkan 45 juta dollar AS bantuan untuk mendukung organisasi keadilan rasial kecil yang dipimpin warga kulit hitam. Sekarang, kata Hayling, minat itu menguap.
”Sekarang pembicaraannya kembali ke isu-isu yang sedikit lebih nyaman bagi orang kaya. Mereka membicarakan soal pemberian kesempatan yang sama bagi semua orang, lapangan pekerjaan, dan peningkatan kualitas sekolah. Masalah-masalah itu memang penting, tetapi sepertinya orang-orang kaya lebih senang mengelak untuk benar-benar menangani masalah ketidakadilan rasial,” ujarnya. (AP)