Hingga 32 persen gen Z merasa membutuhkan pertolongan untuk mengatasi masalah kejiwaan. Masalahnya, 50 persen dari mereka tidak mau menemui tenaga kesehatan jiwa. Gen Z malah mencari informasi kesehatan jiwa di Tiktok.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Karyawan bekerja di samping kolam renang di kantor Jojonomic Playground 5.0 di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Jumat (28/5/2021). Tempat kerja yang jauh dari kesan formal serta dikonsep layaknya tempat bermain digandrungi oleh pekerja muda.
Dalam dua tahun mendatang, 30 persen penduduk dunia berusia antara 13 tahun dan 28 tahun. Tidak hanya banyak, kelompok usia itu paling rawan depresi dan paling kerap mengeluhkan masalah kesehatan mental. Dampaknya akan sangat buruk bagi ekonomi dan masyarakat.
Kelompok usia itu saat ini dikenal sebagai generasi Z. Belakangan, sebagian menyebut mereka sebagai generasi Zoom. Sebab, pandemi Covid-19 memaksa mereka sekolah atau bekerja dengan menggunakan pelantar telekonferensi itu.
Dalam laporan jajak pendapat Cigna International Health 2023 diungkap, mayoritas generasi Z atau Gen Z mengaku terputus dari dunia selama pandemi. Interaksi mereka dengan rekan seusia dilakukan melalui pelantar. Berbulan-bulan terkurung di rumah dan berbincang dengan teman hanya lewat video atau telepon.
Survei itu juga mengungkap, 91 persen pekerja kelompok umur 18 tahun hingga 28 tahun mengaku tertekan. Di kelompok umur lain, porsi yang mengaku tertekan paling banyak 84 persen. Hingga 98 persen pekerja merasa kelelahan dan 23 persen merasa tidak mampu mengelola stres. Dengan kata lain, pekerja di kelompok gen Z paling tertekan dibandingkan pekerja dari kelompok umur lain.
Di sisi lain, sebagaimana terungkap dalam survei LinkedIn pada Desember 2022, hanya 28 persen Gen Z berani keluar dari tempat kerja. Di kelompok umur lain, ada 38 persen yang berani keluar dari tempat kerjanya.
Faktor
Dalam jajak pendapat oleh lembaga konsultansi McKinsey diungkap, hingga 58 persen Gen Z mengaku kebutuhan sosial mereka tidak terpenuhi. Kebutuhan sosial itu mencakup pendapatan, pekerjaan, pendidikan, pangan, dan tempat tinggal. Akibatnya, 25 persen Gen Z mengaku tertekan. Pada kelompok umur lebih tua, jumlah yang mengaku tertekan hanya 13 persen.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Karyawan-karyawan muda di Lotte Shopping Avenue, Jakarta, tengah membahas pekerjaan, Kamis (11/8/2022).
Dalam jajak pendapat McKinsey, ada hal yang mengkhawatirkan. Hingga 32 persen Gen Z merasa membutuhkan pertolongan untuk mengatasi masalah kejiwaan. Masalahnya, 50 persen dari mereka tidak mau menemui tenaga kesehatan jiwa dan 18 persen lainnya tidak terlalu yakin untuk berkonsultasi kepada tenaga kesehatan jiwa. Hanya 18 persen Gen Z yang benar-benar menemui tenaga kesehatan jiwa untuk mendapat pertolongan.
Mayoritas Gen Z memilih mencari informasi di internet. Alih-alih ke psikolog atau psikiater, Gen Z malah mencari informasi kesehatan jiwa di Tiktok, Reddit, dan sejumlah forum dunia maya lain. ”Dampaknya akan buruk secara ekonomi, sosial, dan lainnya,” kata praktisi pengembangan sumber daya manusia di Amerika Serikat, Santor Nishizaki, kepada BBC, soal kondisi mental Gen Z.
Penulis buku Working with Gen Z itu menyoroti fakta bahwa 27 persen angkatan kerja di Eropa dan Amerika Utara tergolong Gen Z. Jika mereka merasa tidak siap mental untuk bekerja atau melakukan aktivitas lain, produktivitas akan menurun.
Kondisi mental yang mencemaskan itu disebabkan berbagi faktor. Paling awal, Gen Z tumbuh sebagai generasi cemas. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, Gen Z menerima informasi lebih banyak sejak dini. Gen Z tertua masih berusia balita kala terjadi peristiwa 11 September 2001, yakni penyerangan atas menara kembar WTC di New York, Amerika Serikat.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Ajakan untuk sejenak meninggalkan gawai terlihat di sebuah kegiatan menyambut Hari Anak di Jakarta, Juli lalu.
Kemajuan teknologi informatika membuat mereka dengan mudah mendapatkan informasi berbagai perang, bencana, dan kerusuhan dari tempat jauh. Hal-hal yang jauh dari mereka terasa lebih dekat karena informasinya bisa mereka terima lewat ponsel. Semua terjadi nyaris tanpa henti selama 24 jam setiap hari.
Mereka cemas oleh limpahan informasi soal keadaan yang amat buruk. Kondisi itu diperburuk dengan fakta mereka tidak tahu harus mencari penjelasan ke mana. Mereka menyimpulkan, semua keburukan di tempat jauh akan berimbas kepada mereka.
Karena kecemasan meluas itu, ”permacrisis” menjadi ”Kata 2022”. Kata itu merupakan gabungan dari ”permanent” dan ”crisis”. Kata itu untuk menggambarkan terlalu banyak orang merasa kondisi buruk akan terus terjadi dan harapan perbaikan nyaris tidak ada.
Kecemasan pekerja
Di kalangan Gen Z yang sudah bekerja, kecemasan terjadi karena pendapatan dirasa tidak cukup untuk menopang kehidupan mereka. Menurut McKinsey, salah satu alasan Gen Z tidak menemui psikolog atau psikiater adalah karena mereka tidak sanggup membayar jasanya.
Gen Z juga menyaksikan gelombang pemecatan di sektor teknologi. Padahal, sektor itu dipandang sebagai salah satu penyedia lapangan kerja idaman banyak Gen Z. Gelombang pemecatan terjadi saat dan ketika pandemi Covid-19 melandai. Padahal, Gen Z sudah cemas selama pandemi. ”Ada rasa tertekan amat besar oleh gelombang pemecatan ini,” kata praktisi perekrutan pekerja muda di Amerika Serikat, Eliza Filby.
Pernyataan itu selaras dengan temuan McKinsey. Hingga 45 persen Gen Z cemas pada kelangsungan tempat kerja mereka. Jika tempat kerja tutup, mereka akan kehilangan pekerjaan.
Lingkungan kerja berkontribusi pada perasaan tertekan di kalangan Gen Z. Sebagian merasa cemas setiap berangkat kerja. Hal yang mereka cemaskan amat beragam. Perkara busana kerja, menu dan lokasi makan siang, hingga materi obrolan dengan rekan kerja yang lebih senior bisa membuat pekerja kelompok Z cemas dan tertekan. Mereka juga cemas pada kemampuan menyelesaikan pekerjaan. Sebagian merasa beban kerja terlalu banyak. Sebagian merasa tidak dihargai pekerjaannya.
Karena itu, Gen Z membutuhkan tempat kerja yang jelas komunikasinya antara atasan dan bawahan. Mereka butuh perintah jelas serta panduan soal manfaat pekerjaan mereka. Atasan lebih diharapkan berperan sebagai pembimbing, bukan orang yang sangat ahli soal teknis. Gen Z juga berharap bekerja di organisasi yang lentur. Mereka memaknai kelenturan sebagai kemudahan komunikasi antara atasan dan bawahan, senior dan yunior, serta tentu saja waktu dan tempat kerja.
Seperti disampaikan Nishizaki, mengatasi masalah kecemasan Gen Z akan baik bagi perekonomian dan masyarakat. Jika tidak, mereka akan selamanya merasa semua tidak baik-baik saja. Mereka akan benar-benar merasa dalam permacrisis. (AFP/REUTERS)