India Coba Redam Kecurigaan ASEAN soal Minilateralisme
India memiliki sejumlah kerja sama minilateral, antara lain BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Selain itu juga ada aliansi keamanan Quadrilateral atau Quad.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Di tengah persaingan geopolitik yang kian meruncing, minilateralisme berisiko membuat ketegangan semakin parah apabila tidak dikelola dengan baik. Salah satu negara yang banyak menerapkan pendekatan minilateralisme adalah India. Justru, menurut kebijakan politik luar negeri India saat ini, minilateralisme merupakan jembatan antara kepentingan Indo-Pasifik dan negara-negara maju.
Topik ini dibahas dalam seminar Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) di Jakarta, Selasa (14/2/2023). Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Duta Besar India untuk Indonesia Basir Ahmed. Adapun narasumbernya adalah Sunjat Chinoy yang merupakan Ketua T20, yaitu kelompok kerja yang berisi lembaga-lembaga riset untuk keketuaan India di kelompok 20 negara dan wilayah berperekonomian terbesar dunia (G20) yang berlangsung selama tahun 2023.
Anggota Dewan FPCI, Soemadi Brotodiningrat, menjelaskan, hubungan Indonesia dengan India sangat erat dari aspek sejarah. Dari sudut kontemporer, Indonesia, India, bersama Brasil membentuk troika G20, yaitu segitiga koordinasi antara mantan ketua G20, ketua saat ini, dan ketua untuk tahun berikutnya. “Kita harus belajar dari pengalaman kesuksesan dan kegagalan tidak hanya di lingkup G20, tetapi juga mengelola kawasan,” ujarnya.
Minilateralisme
India memiliki sejumlah kerja sama minilateral, antara lain BRICS yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Selain itu juga ada aliansi keamanan Quadrilateral atau Quad yang terdiri dari India, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Baru-baru ini, India juga membuat kesepakatan minilateral dengan Uni Emirat Arab dan Perancis.
Menurut Chinoy, kerja sama minilateral ini semua memiliki nuansa tersendiri yang tidak melulu harus dimaknai sebagai cara untuk meningkatkan persaingan geopolitik atau lebih gamblangnya lagi menghalangi perkembangan pengaruh China di kawasan. “Secara sejarah, India memiliki hubungan erat dengan China. Pada saat yang sama, juga ada persoalan mengenai batas-batas geografis yang harus diselesaikan. Tentu dengan mengutamakan diplomasi,” tuturnya.
Ia menjelaskan, minilateral dengan UEA dan Perancis juga demi kepentingan nasional India karena mereka memiliki 8 juta diaspora di negara-negara Teluk. Demikian pula dengan wilayah benua Afrika bagian timur yang secara historis merupakan rumah bagi para imigran India. Kebetulan, Perancis memiliki hubungan erat, bahkan memiliki sejumlah wilayah kekuasaan di timur Afrika.
“Minilateralisme ini tidak untuk menegasikan Indo-Pasifik. Dapat dilihat bahwa minilateralisme menjadi jembatan bagi kekuatan-kekuatan besar untuk mengetahui kemauan dan kebutuhan Indo-Pasifik,” kata Chinoy.
Dalam politik luar negeri, lanjut dia, tetap harus mengutamakan perdagangan, perkembangan teknologi, kedaulatan wilayah, perang melawan terorisme, narasi politik yang berbasis keterbukaan informasi, dan saling percaya. Chinoy menyadari bahwa Indonesia bersama Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menanggapi munculnya minilateralisme dengan sikap waswas.
Menurut dia, minilateralisme di dalam konteks Indo-Pasifik terbukti lebih terbuka, demokratis, inklusif, dan akomodatif. Suatu bangsa di Indo-Pasifik tidak akan bisa menjadi pemain global apabila memandang Indo-Pasifik melalui kacamata yang sempit. “Pada saat yang sama, India juga memercayai multilateralisme. Akan tetapi, berbagai lembaga multilateralisme ini harus direformasi,” ujarnya.
Ia mencontohkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Bank Dunia, dan Dana Moneter Internasional (IMF). Ketiganya didirikan oleh negara-negara maju dan hingga kini kecondongannya selalu mengegolkan berbagai kebijakan atapun pandangan negara-negara maju. Oleh sebab itu, lembaga-lembaga multilateral ini harus ditata ulang guna menjamin adanya kesetaraan bagi negara-negara berkembang dengan kepentingan yang berbeda-beda.
Sekretaris Pusat Studi ASEAN Universitas Indonesia Shofwan Al Banna Choruzzad, menanggapi, ASEAN tidak pernah melarang negara mana pun membentuk kerja sama minilateral. ASEAN menekankan bahwa setiap kerja sama internasional harus dikelola sebijaksana mungkin. “Keberadaan minilateralisme tidak boleh memperuncing persaingan geopolitik. Cara untuk memastikannya ialah menggencarkan pembahasan di forum multilateral yang berbobot dan setara,” kata salah satu peneliti di FPCI ini.
Salah satu contoh ialah Quad yang awalnya merupakan aliansi pertahanan. Berkat pendekatan terus-menerus dari ASEAN, aliansi Quad berkembang menjadi kerja sama di bidang ketahanan energi dan mitigasi perubahan iklim. Di samping itu, Quad juga berkomitmen untuk mengusung pandangan ASEAN (AOIP) di wilayah Indo-Pasifik.