Delegasi masyarakat sipil Ukraina pada kunjungan ke Jakarta menuding serangan Rusia ke Ukraina terkait dengan budaya politik invasif Rusia. Mereka menganggap persoalan ini sudah mengakar sejak Soviet belum ada.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Delegasi masyarakat sipil Rusia berkunjung ke Jakarta pada beberapa hari terakhir. Didampingi Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin, delegasi yang terdiri atas empat orang itu bertemu sejumlah pihak dan berdiskusi tentang perang di Ukraina.
Salah satu diskusi digelar di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Jumat (10/2/2023). Salah seorang anggota delegasi adalah Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional Kyiv Olexiy Haran.
Haran dan tiga perwakilan masyarakat sipil Ukraina melakukan safari dengan tujuan mendudukkan perkara soal situasi konflik di Ukraina. Menurut mereka, narasi bahwa perang di Ukraina itu sebenarnya perang antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Rusia adalah tidak benar.
Menurut mereka, narasi bahwa perang di Ukraina itu sebenarnya perang antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Rusia adalah tidak benar.
Konflik di Ukraina saat ini, mereka berpendapat, sebenarnya sudah berakar sejak ratusan tahun silam. Akar persoalan tersebut sudah ada baik sebelum Republik Federasi Ukraina maupun Uni Soviet ada.
Diwawancarai sebelum memberikan presentasi, ia menyatakan, perjuangan Ukraina melawan invasi Rusia terus berlangsung. Rakyat Ukraina hanya menginginkan agar pasukan Rusia meninggalkan wilayah Ukraina, termasuk Semenanjung Crimea yang dicaplok pada 2014.
Haran menuding bahwa serangan Rusia ke Ukraina terkait dengan budaya politik invasif Rusia. ”Apakah menurut mereka budaya politik yang imperialis ini masih relevan dengan situasi global sekarang atau sebaiknya mereka mengembangkan pendekatan yang baru,” katanya.
Haran menyebut, budaya politik Kekaisaran Rusia yang berakhir pada tahun 1917 adalah imperialis. Bangsa-bangsa di sekitar Rusia menjadi bagian dari kekaisaran melalui cara yang invasif. Pandangan politik ini dilanjutkan ketika Uni Soviet berdiri pada 1922. Wujud negara dan ideologi politiknya berbeda, tetapi budayanya tetap sama.
”Ketika Soviet runtuh, budaya politik imperialis dan mesianik ini terus ada. Pandangan yang tertuang di Undang-Undang Dasar Rusia tahun 1993 masih mengedepankan konsep juru selamat. Dulu, di masa kekaisaran ialah memimpin dunia dengan nilai-nilai ortodoks Kristiani, kemudian di zaman Soviet dengan nilai komunisme, dan sekarang dengan prinsip strongman yang dianut oleh Presiden Vladimir Putin,” katanya.
Haran menjelaskan, Ukraina mengharapkan pasukan Rusia segera meninggalkan wilayah mereka. Dan jika bisa, Putin dilengserkan dari kursi kepemimpinan. Akan tetapi, untuk sistem politik dan pandangan Rusia, tidak ada yang bisa mengubah kecuali rakyat Rusia.
Haran menyebut, budaya politik Kekaisaran Rusia yang berakhir pada tahun 1917 adalah imperialis.
Namun, Haran pesimistis mengingat Rusia hanya pernah menjadi negara demokrasi selama enam bulan, yaitu pada Februari-Oktober 1917. Setelah itu, negara tersebut selalu dipimpin oleh orang kuat (strongman).
”Selama budaya politik imperialis ini ada, terlepas pemimpinnya, Rusia selalu menjadi ancaman bagi negara-negara yang memerdekakan diri pasca-Soviet,” kata Haran.
Ia juga mengungkapkan perihal dukungan Ukraina bagi kemerdekaan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1946. Menurut dia, Indonesia dan Ukraina memiliki banyak kesamaan dalam hal merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam diskusi itu hadir sebagai penanggap Kepala Pusat Strategi Kebijakan Kawasan Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri Spica Tutuhatunewa. Ia mengatakan, bagaimanapun, politik luar negeri Indonesia bebas aktif sehingga tidak akan memutus hubungan persahabatan dan diplomatik baik dengan Rusia maupun Ukraina.
Bagi Indonesia, hal terpenting ialah mencegah eskalasi konflik dan berusaha mengakhiri peperangan. Oleh sebab itu, langkah yang diambil ialah mendengarkan berbagai pihak, terutama lembaga-lembaga kajian politik, sosial, dan ekonomi di Eropa, untuk mempelajari dinamika situasi dan bersama-sama mencari jalan keluar. Forum-forum multilateral juga gencar digunakan untuk mempelajari perkara ini dan menyuarakan penghentian konflik.
Indonesia juga terus mengirim bantuan kemanusiaan ke Ukraina. ”Ada pula langkah nyata mendukung masyarakat Ukraina agar terus berdaya dan perekonomian tetap berjalan di tengah situasi peperangan. Kerja sama ekonomi ini harus terus terbuka,” ujar Spica.
Bagi Indonesia, hal terpenting ialah mencegah eskalasi konflik dan berusaha mengakhiri peperangan.
Sementara itu, Kepala Departemen Luar Negeri CSIS Lina Alexandra mengatakan, Indonesia harus mengambil langkah yang lebih lugas dan tegas untuk mempraktikkan politik bebas aktif. Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB adalah wadah yang baik untuk menyuarakan bahwa Indonesia berkeras bahwa perang harus dihentikan.
Inti dari politik bebas aktif dan Gerakan Non-Blok adalah mencegah adanya perselisihan yang berujung kepada konflik terbuka. ”Di deklarasi G20 November 2022 sudah ditekankan bahwa konflik ini merugikan dunia. Indonesia bisa lebih proaktif membawa pesan itu, bukan sekadar mengatakan keprihatinan,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy baru saja merampungkan safari politik ke Eropa untuk meminta bantuan pesawat tempur. Polandia, Lituania, Latvia, dan Estonia telah berjanji mengirim jet Lockheed Martin F-16. Empat negara ini adalah bekas wilayah Soviet.
Adapun Inggris dan Perancis masih berpikir-pikir untuk mengirim pesawat tempur. Kedua negara ini mengatakan, tidak tertutup kemungkinan suatu saat mereka akan memberi Ukraina jet tempur berstandar NATO. Namun, langkah itu dinilai bukan solusi tepat untuk sekarang.
Kedua negara ini mengatakan, tidak tertutup kemungkinan suatu saat mereka akan memberi Ukraina jet tempur berstandar NATO.
”Lebih baik kita fokus pada jalan keluar yang memang sesuai dengan kebutuhan lapangan. Perancis akan mengirim meriam Caesar dan artileri pertahanan udara Mamba,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron yang dikutip oleh surat kabar The New Voices ofUkraine.