Pengalaman Jepang dan Jalan Panjang Turki serta Suriah
Gempa Turki dan Suriah mengingatkan rakyat Jepang akan gempa dan tsunami pada 2011 yang menghancurkan Tohoku. Rekonstruksi Jepang sampai sekarang belum juga tuntas. Turki dan Suriah akan melalui jalan yang sama.
TOKYO, SABTU – Gempa dahsyat berkekuatan 7,8 magnitudo yang mengguncang Turki dan Suriah hingga menewaskan sedikitnya 23.000 orang itu mengingatkan rakyat dan pemerintah Jepang akan bencana gempa serupa yang terjadi tahun 2011. Tetapi kalau dari jumlah korban yang tewas, jumlah korban di Turki dan Suriah melampaui jumlah korban tewas di Jepang yang pada waktu itu, yakni sekitar 18.400 orang.
Kesamaan gempa dan dampak gempa yang terjadi di Jepang ini setidaknya bisa menjadi gambaran sekilas apa yang akan dihadapi Turki dan Suriah beberapa tahun ke depan. Gempa yang terjadi di Jepang pada 11 Maret 2011 pukul 14.46 berkekuatan hingga 9,0 magnitudo.
Tak lama setelah salah satu gempa yang terkuat sepanjang sejarah Jepang itu, kamera di sepanjang pantai Jepang menangkap gelombang tsunami yang mengarah ke wilayah Tohoku. Gelombang tsunami itu lalu menghantam dan menghanyutkan rumah, mobil, gedung perkantoran, dan ribuan orang serta menghancurkan sebagian fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi.
Baca juga: Seorang WNI Belum Ditemukan
Perahu-perahu berukuran besar terbawa ombak hingga puluhan kilometer jauhnya dari lautan hingga mendarat di puing-puing yang menjulang tinggi di tempat yang dulunya tengah kota. Mobil-mobil terombang-ambing seperti mainan, lalu teronggok di jalanan dan bangunan yang hancur.
Sampai sekarang masih banyak orang yang tidak yakin daerah itu akan pulih seperti dulu kala. Meski pemerintah Jepang akan kembali membangun kawasan itu dan mengembalikannya seperti dulu, gempa Tohoku meninggalkan luka yang dalam.
Turki pun sebenarnya bukan kali ini saja mengalami gempa dahsyat dan mematikan karena pada tahun 1999 juga terjadi gempa yang menewaskan sedikitnya 18.000 orang.
Dari pengalaman Jepang, jumlah korban yang tewas langsung akibat gempa akan menurun dalam beberapa minggu, tetapi jumlah korban tewas tidak langsung masih bertambah. Di Jepang, sejumlah orang meninggal pada fase pascagempa karena serangan jantung yang berhubungan dengan stres atau karena kondisi hidup yang buruk. Meskipun pemerintah Jepang sudah mengucurkan anggaran ratusan miliar dollar AS untuk program rekonstruksi, suasana di wilayah itu belum bisa kembali pulih.
Sebelum gempa terjadi, Tohoku dipenuhi kota-kota kecil dan desa-desa, dikelilingi lahan pertanian, dan pelabuhan-pelabuhan dipenuhi kapal-kapal penangkap ikan. Tohoku merupakan salah satu pantai yang terindah di Jepang. Puing-puing gempa dan tsunami memang sebagian besar sudah dipindahkan dan banyak jalan serta bangunan yang sudah dibangun kembali.
Hanya saja, masih banyak area luas yang masih kosong. Banyak bangunan belum dibangun kembali dan lahan pertanian yang belum ditanami lagi. Segala macam usaha juga selama bertahun-tahun mencoba kembali menarik pelanggan untuk datang kembali ke Tohoku.
Seperti halnya tim pencari dan penyelamat Turki dan Suriah, dulu Jepang juga menggali bangunan yang hancur, menarik besi-besi yang bengkok, menggeser tumpukan beton, dan menyingkap kabel-kabel di mana-mana untuk memberi jalan menyelamatkan para korban.
Proses selanjutnya ini yang tidak mudah. Di Jepang, awalnya ada kebanggaan pada kemampuan negara untuk menanggung bencana. Warga berdiri dengan tenang dalam antrean panjang yang teratur untuk mendapatkan makanan dan air. Mereka menyebarkan kertas informasi di papan pesan di kota-kota yang hancur dengan deskripsi anggota keluarga yang masih hilang dengan harapan petugas penyelamat akan bisa menemukan mereka. Tetapi, harapan itu sirna karena banyak korban yang sampai sekarang tak ditemukan.
Kritik
Proses rekonstruksi paska gempa bukan proses yang mudah. Prosesnya tidak merata dan kadang berjalan sangat lamban karena terhambat ketidakmampuan pemerintah dan perdebatan di tingkat birokrasi. Hampir setengah juta orang yang mengungsi akibat bencana itu dan puluhan ribu orang sampai sekarang masih belum bisa pulang ke kampung halamannya.
Isu ini merembet ke dalam politik, terutama ketika perdebatan berkepanjangan tentang bagaimana menangani kerusakan di pembangkit nuklir Fukushima Daiichi. Bertahun-tahun kemudian, rasa takut akan radiasi menyebar dan beberapa daerah sudah memasang alat pengukur radiasi di taman dan tempat umum lain. Pemerintah masih ragu-ragu bagaimana cara menghilangkan puing-puing bahan bakar cair yang ada di dalam reaktor nuklir.
Pascagempa 2011, ada sekitar 30 anggota tim pencari dan penyelamat dari Turki yang membantu proses pencarian korban selama enam bulan di kota Shichigahama yang terkena dampak paling parah. Penduduk Shichigahama tidak melupakan jasa-jasa mereka dan kini mereka mulai kampanye donasi untuk Turki.
“Dulu mereka dengan berani berjalan melewati puing-puing untuk membantu menemukan korban dan mengembalikan jenazah mereka ke keluarga mereka. Kami sangat berterimakasih pada mereka dan kami ingin melakukan sesuatu untuk membalas budi menunjukkan rasa terima kasih kami,” kata Wali Kota Tohoku, Kaoru Terasawa.
Gempa Turki
Segera setelah gempa, pemerintah Turki dihujani kritik karena gagal menegakkan aturan konstruksi modern selama bertahun-tahun di daerah rawan gempa. Mereka juga dikritik karena lamban dalam menanggapi bencana.
Kepolisian Turki, Jumat, sudah menahan Mehmet Yasar Coskun, seorang kontraktor yang mencoba melarikan diri dari Turki setelah bangunan yang dia buat runtuh akibat gempa. Bangunan Ronesans Residence, apartemen mewah yang roboh di kota Antakya, Provinsi Hatay, Turki, memicu amarah warga di media sosial.
Mantan pemain sepak bola internasional Ghana Christian Atsu diyakini berada di bawah puing-puing blok apartemen 12 lantai yang dibangun pada 2013 itu. Direktur olahraganya di klub Hatayspor, Taner Savut, juga terjebak.
Pada tahun 2013 sebenarnya Turki sudah mengumumkan peraturan bangunan yang lebih ketat setelah gempa 1999. Coskun ditangkap di bandara Istanbul saat hendak melarikan diri ke Montenegro. Ia diduga membawa uang dalam jumlah yang tidak diketahui.
Baca juga: Korban Gempa Turki Terus Bertambah, Begitu Juga Kritik terhadap Erdogan
Menteri Lingkungan Hidup dan Tata Kota Turki, Murat Kurum, mengatakan bahwa sedikitnya ada 12.000 bangunan di Turki yang runtuh atau mengalami kerusakan serius. Para ahli menilai skala kehancuran yang besar itu sebagian disebabkan karena lemahnya penegakan aturan bangunan.
Protes yang sama juga muncul di Jepang dulu. Ada pejabat Jepang yang mengakui ketidakmampuan pemerintah membantu warga yang trauma akibat bencana. Sedikitnya 2.500 orang belum ditemukan di Tohoku dan sampai sekarang masih ada saja yang mencari jasad orang yang mereka cintai.
Bahkan, ada seorang laki-laki yang mendapat lisensi menyelam dan sudah menyelam setiap minggu selama bertahun-tahun demi mencari istrinya. Banyak juga yang masih sesekali membuka album foto, pakaian, dan barang-barang milik korban.
Suram
Bagi korban yang selamat dari bencana, masa depan pun terlihat suram. Seperti Fidan Turan yang sedang gamang memilih antara tetap bertahan di Turki sampai proses pemulihan paska gempa atau segera meninggalkan kotanya yang hancur. Bangunan tempatnya tinggal tidak ambruk seperti bangunan tetangganya di Antakya, pusat sejarah di dekat perbatasan Suriah. Flatnya di lantai empat hanya retak.
“Ketika saya melihat bangunan yang hancur dan banyaknya mayat, saya tidak tahu bagaimana bisa hidup besok. Kami kehilangan 60 anggota keluarga besar kami,” ujar Turan.
Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Pulang ke desa pun tak bisa karena desanya sudah dihancurkan. “Ke mana kita harus pergi,” tutur Turan. Ratusan orang tidur di jalanan, di bangku, dan di taman.
Mustafa Kaya bersama istri dan putrinya terlihat sedang menarik koper. Mereka sudah tinggal di tenda sejak Senin lalu dan mengambil beberapa barang yang disimpan di pintu masuk rumah mereka yang hancur. “Kami tidak tahu akan tinggal dimana setelah ini. Mungkin kami akan ke rumah saudara di Istanbul, tetapi tidak tahu harus naik apa ke sana,” ujarnya.
Baca juga: Proksi AS-Rusia Berkomplikasi pada Bantuan ke Suriah
Hatice Suslu (55) tak seberuntung Kaya yang masih mempunyai saudara di kota lain. Ia tidak memiliki apa-apa lagi selain tenda yang dipasangnya di taman. Ia tak sendiri. Banyak orang yang berkemah di situ siang dan malam. Ada yang menemukan kasur dari reruntuhan dan menariknya ke taman itu.
"Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan. Kami akan menunggu beberapa hari lagi sebelum memutuskan. Hidup sudah berakhir,” ujar Suslu.
Mehmet Ali Tuver (35) lebih beruntung karena berhasil mengamankan sebuah gudang sederhana yang dia tutupi dengan terpal plastik untuk menahan hawa dingin. "Semua orang mencoba melarikan diri ke suatu tempat. Tapi ini rumah kita. Kita tidak bisa meninggalkannya,” ujarnya. (AFP/AP)