Mayoritas Masyarakat Anggap ASEAN Makin Tak Relevan
Mayoritas responden menganggap ASEAN lamban dan tidak efektif pada perkembangan mutakhir. Responden juga cemas pada perpecahan ASEAN.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Asia Tenggara menilai relevansi ASEAN bagi kepentingan masyarakat kawasan semakin berkurang. Mereka meragukan ASEAN sanggup menghadapi tantangan kawasan dan global.
Peningkatan pesimistis itu tecermin dalam jajak pendapat Pusat Kajian ASEAN pada ISEAS Yusof Ishak Singapura edisi 2023. Dilakukan terhadap 1.308 responden di seluruh negara anggota ASEAN, jajak pendapat itu merekam pendapat para akademisi, praktisi, dan birokrat di kawasan. Tahun ini, laporan disiarkan mulai Kamis (9/2/2023) malam.
Pada laporan 2022, sebanyak 70 persen responden menganggap ASEAN lambat dan tidak mangkus. Dengan demikian, ASEAN dianggap tidak relevan, tidak sanggup menghadapi perkembangan ekonomi dan politik kawasan. Pada laporan 2023, sebanyak 82,6 persen responden menganggap ASEAN pada kondisi itu.
Responden menganggap, ASEAN cenderung reaktif dibandingkan antisipatif pada perkembangan mutakhir. Responden di Singapura dan Vietnam paling banyak mengemukakan pendapat itu. Sementara responden di Laos paling sedikit berpendapat demikian.
Temuan itu menjadi tantangan serius pada tema keketuaan Indonesia. Sebagai ketua bergilir ASEAN 2023, Indonesia memilih tema ”ASEAN Matter: Epicentrum of Growth”. Lewat tema itu, Indonesia ingin menunjukkan ASEAN tetap relevan.
Indonesia terus menyampaikan tema kepemimpinan itu dalam berbagai forum bilateral dan multilateral. Salah satunya dilakukan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi dalam lawatan ke Australia sejak 8 Februari 2023. Selain ke Australia, penjelasan soal tema kepemimpinan itu disampaikan pula ke perwakilan 41 negara dan sejumlah lembaga yang terlibat dalam Bali Process on On People Smuggling.
Kepada mitranya, Retno antara lain memaparkan tiga pilar tema keketuaan Indonesia di ASEAN tahun ini. Pilar ASEAN Matters yang menekankan pentingnya penguatan kapasitas, kesatuan, dan sentralitas ASEAN agar tetap relevan dan penting bagi rakyat dan dunia.
Pilar Epicentrum of Growth yang menekankan pentingnya menjadikan ASEAN tetap sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di tengah situasi global yang gloomy saat ini. Adapun pilar penerapan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) menekankan kerja sama konkret di empat area prioritas, yaitu konektivitas, maritim, SDGs, dan kerja sama ekonomi lainnya.
”Saya juga jelaskan mengenai flagship events keketuaan Indonesia di bawah payung ASEAN Indo-Pacific Forum yang merupakan implementasi dari AOIP dan mengundang partisipasi Australia,” ujarnya.
Para responden juga semakin khawatir pada perpecahan ASEAN. Dari 48,2 persen pada 2022 menjadi 60,7 persen pada 2023. Salah satu sumber perpecahan itu adalah Lima Poin Konsensus ASEAN soal Myanmar. Sikap ASEAN pada perang Ukraina juga dianggap salah satu indikasi perpecahan.
Khusus Vietnam dan Singapura, 30 persen responden di setiap negara menganggap kehadiran Timor Leste sebagai anggota baru ASEAN sebagai salah satu sumber perpecahan organisasi kawasan itu. Di negara lain, nyaris tidak ada responden berpendapat demikian.
Sebanyak 38 persen responden Vietnam juga menganggap kehadiran Timor Leste akan semakin memperumit proses pengambilan keputusan di ASEAN. Sejak lama, pengambilan keputusan di ASEAN didasarkan pada kesepakatan bersama.
Sebanyak 73 persen responden cemas pada persaingan itu. Mereka khawatir negara-negara di kawasan dijadikan kepanjangan tangan negara besar untuk berkonflik di kawasan.
ASEAN menyepakati menerima Timor Leste sebagai anggota baru lewat konferensi tingkat tinggi di Kamboja pada November 2022. Pada Februari 2023, Dili mulai terlibat dalam pertemuan menteri luar negeri ASEAN. Timor Leste hadir sebagai pemantau dan ASEAN akan segera menerbitkan panduan untuk memproses negara itu sebagai anggota penuh ASEAN.
Persoalan lain yang disoroti para responden dari jajak pendapat ISEAS adalah persaingan negara besar di kawasan. Sebanyak 73 persen responden cemas pada persaingan itu. Mereka khawatir negara-negara di kawasan dijadikan kepanjangan tangan negara besar untuk berkonflik di kawasan. Responden di Kamboja paling banyak khawatir soal itu. Bahkan, isu itu menjadi prioritas bagi mereka.
Di sisi lain, 59 persen responden menganggap China sebagai kekuatan ekonomi di kawasan. Sebanyak 53,5 persen responden tidak yakin pada Kerangka Kerja Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) yang digagas Amerika Serikat. Bahkan, sebagian responden berpendapat IPEF akan semakin memperburuk persaingan AS-China di kawasan.