Para Pemengaruh, antara Inkompetensi dan Ilusi
Pemengaruh atau ”influencer” di media sosial semakin banyak memengaruhi perilaku pengikutnya. Permasalahannya, tak sedikit pemengaruh yang tak memiliki kompetensi memadai atas substansi konten yang disebarkannya.
Para pemengaruh atau influencers di media sosial semakin memasuki ruang-ruang publik arus utama dan menjadi pesohor serta idola baru. Namun, tidak semua bisa memberi pengaruh positif kepada pengikutnya.
Tak sedikit pemengaruh tersangkut kasus pidana yang merugikan warganet. Sama seperti di Tanah Air, persoalan seperti ini juga terjadi pada para pemengaruh internasional.
Kasus mutakhir yang menarik perhatian internasional adalah soal Andrew Tate (36) dan adiknya, Tristan Tate (33). Mereka ditangkap kepolisian Romania pada akhir Desember 2022 atas tuduhan perdagangan orang dan kejahatan seksual.
Baca juga: Andrew Tate, Pemengaruh Ekstrem Kanan, Ditangkap atas Tuduhan TPPO
Kedua bersaudara ini, terutama Andrew, adalah pemengaruh di media sosial. Andrew tercatat memiliki 4,7 juta pengikut di Twitter. Ini adalah angka setelah akunnya diaktifkan kembali oleh Elon Musk setelah orang terkaya di dunia itu membeli Twitter.
Sebelumnya, Andrew diblokir dari semua media sosial karena unggahan-unggahannya kerap berupa ujaran kebencian dan misoginis.
Ujarannya yang kontroversial antara lain perempuan sebagai kepunyaan laki-laki. Ada pula korban kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, yang disebutnya sebagai pihak yang salah ketika kejahatan itu terjadi.
Penangkapan Tate bersaudara mendapat banyak perhatian dari para orangtua dan sekolah-sekolah di Inggris ataupun Amerika Serikat. Bahkan, sejumlah sekolah di Inggris, dilansir dari surat kabar Evening Standard, mengadakan semacam program deradikalisasi bagi para siswa yang mengikuti akun media sosial kedua Tate ini.
”Kasus termuda yang saya tangani adalah siswa kelas VI yang terpengaruh pemikiran Andrew Tate,” kata Deana Puccio, mantan jaksa penuntut umum untuk kasus kejahatan seksual yang kini menjabat sebagai direktur lembaga swadaya masyarakat RAP Project.
RAP Project adalah lembaga yang melakukan pendidikan anti-kekerasan seksual kepada masyarakat. Saat ini, lembaga ini tengah mendampingi lima sekolah di Inggris khusus untuk membersihkan pikiran para siswa dari pengaruh Tate Bersaudara.
Baca juga: ”Ayah Sejuta Anak” Dipuji di Media, Kini Berakhir di Jeruji Besi
Psikolog perkembangan anak dari Maryland, AS, Courtney Conley, yang juga menangani kasus-kasus aduan para orangtua mengenai pengaruh Tate Bersaudara pada putra-putra mereka, menjelaskan, Andrew dan Tristan memiliki hal-hal yang secara fisik diidamkan para remaja laki-laki.
Keduanya melalui unggahan-unggahan di media sosial selalu tampil memakai busana mahal, mengendarai mobil mewah atau di atas pesawat pribadi, serta selalu didampingi perempuan-perempuan cantik.
”Ini cita-cita remaja yang sedang mencari jati diri dan susah mendapat pacar ataupun mempertahankan hubungan. Tate Bersaudara menjadi semacam guru mereka yang bisa diakses kapan pun melalui media sosial,” kata Conley kepada Yahoo Life.
Berpikir kritis
Baik Puccio maupun Conley pertama-tama mendengar pendapat para siswa mengenai Tate. Setelah itu, mereka mengajak berdiskusi mengenai jati diri yang sehat dan hubungan pacaran yang positif.
Umumnya, ketika para siswa diajak berpikir, ”apakah kamu setuju jika saudara perempuanmu atau teman dekatmu dipandang dan diperlakukan seperti itu?” pikiran kritis mereka terpantik.
”Kesenjangan digital antara orangtua dan anak membuat percakapan mengenai pengaruh pesohor media sosial minim terjadi,” kata Conley.
Baca juga: Jerat Perdagangan Orang di Media Sosial
Pemengaruh, Conley mengatakan, memiliki tempat berbeda di hati para pengikutnya dibandingkan dengan pesohor arus utama, seperti penyanyi, bintang film, dan fotomodel. Para pemengaruh bermula dari orang biasa, sama seperti pengikutnya. Perlahan, mereka memiliki semakin banyak penggemar di media sosial.
Daya tarik mereka antara lain fisik yang menarik dan kepribadian yang dianggap tidak dibuat-buat sehingga pemirsa merasa ada kedekatan selera dan emosi, serta konten yang di luar hiburan arus utama.
Joe Gagliese, Direktur Viral Nation, perusahaan agensi pemengaruh di AS, mengatakan, algoritma media sosial memang membuat konten yang paling sensasional secara otomatis mendapat perhatian warganet paling banyak. Contoh pemengaruh yang kontroversial adalah Logan Paul.
Kanalnya dimulai dengan konten video-video mengisengi orang lain (prank). Seiring dengan bertambahnya pengikut dan sponsor, memungkinkan dirinya melakukan pengambilan gambar di luar negeri.
Baca juga: Artis Tak Bisa Sembarangan Bicara Aset Kripto
Sekarang, konten Paul merambah ke olahraga tinju, apalagi setelah ia melawan petinju veteran Floyd Mayweather pada 2021. Ia juga mempromosikan investasi kripto miliknya, CryptoZoo.
Terkait aset kripto ini, Paul mendapatkan gugatan perwakilan masyarakat (class action) oleh pengikutnya sendiri. Mereka mengaku ditipu oleh Paul setelah membeli CryptoZoo. Uang mereka bukannya bertambah dengan ”investasi” itu, melainkan malah terkuras karena tidak ada hasil ataupun laporan tindak lanjut.
Ada pula kasus Liver King, nama kanal milik Brian Johnson yang merupakan seorang promotor hidup sehat ala manusia primitif di Youtube. Johnson yang memiliki penampilan fisik tinggi, besar, dan kekar ini menekankan bahwa penampilannya diperoleh dari rajin berolahraga dan hanya memakan protein hewani, terutama hati sapi dan ayam.
Ia mendulang untung dari menjual program kebugaran dan diet hati hewan kepada para pengikutnya. Setelah itu, ia pun menjual berbagai produk suplemen dan vitamin yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan farmasi dan dibuat di bawah merek atau jenama Liver King.
Baca juga: Menghindari Jebakan ”Flexing” dalam Berinvestasi
Namun, apesnya, seorang warganet menemukan fakta bahwa badan ”ideal” Johnson ini bukan karena diet dan suplemen yang ditawarkan. Bocor di media sosial bahwa Johnson ternyata pengguna steroid selama bertahun-tahun. Setelah kisruh di laman Youtube, Johnson pun mengakui hal tersebut dan meminta maaf kepada publik.
Warganet, terutama mereka yang membeli produk Johnson, tidak memaafkan. Mereka menghajarnya dengan gugatan hukum yang, menurut laman classaction.org, menuntut ganti rugi kolektif senilai 25 juta dollar AS atau lebih kurang Rp 379,5 juta.
Baca juga: "Buzzer", Disukai Sekaligus Dibenci
Dalam tulisannya di Forbes edisi Agustus 2019, Bradley Hoos, konsultan pemasaran, menyatakan, para pemengaruh awalnya adalah orang-orang yang ahli atau setidaknya berpengalaman di satu bidang tertentu. Warganet mengakuinya.
Namun, seiring bertambahnya pengikut, sponsor, dan kekayaan, para pemengaruh ini berusaha merambah ke bidang lain. Pengikutnya tetap memercayai karena terkena efek halo. Istilah ini diambil dari halo, fenomena lingkaran cahaya di sekeliling matahari atau bulan. ”Kesukaan warganet kepada seorang pemengaruh menghasilkan ilusi bahwa individu ini bisa dipercaya. Padahal, jelas-jelas ia melakukan hal yang di luar kompetensinya,” katanya.