Proksi AS-Rusia Berkomplikasi pada Bantuan ke Suriah
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ungkapan ini barang kali tepat menggambarkan situasi yang dialami rakyat Suriah.
Perang saudara di Suriah sudah berlangsung lebih dari satu dekade. Itu saja sudah membuat rakyat Suriah menderita. Sanksi sepihak oleh Amerika Serikat dan sekutunya menyebabkan situasi ekonomi masyarakat menjadi makin berat.
Belum selesai dengan derita akibat perang saudara dan sanksi ekonomi tersebut, penduduk Suriah kini harus berhadapan dengan dampak gempa bumi yang meluluhlantakkan mereka, mulai dari kehidupan, bangunan dan infrastruktur, hingga ekonomi negara itu.
Suriah dan Turki diguncang dua kali gempa tektonik dangkal dahsyat pada Senin (6/2/2023). Menurut Otoritas Manajemen Bencana dan Darurat Turki (AFAD), gempa pertama bermagnitudo 7,8 berpusat di kedalaman 17,7 kilometer di Distrik Pazarcik, Provinsi Kahramanmaras. Peristiwa itu terjadi pada dini hari.
Sampai dengan Kamis (9/2/2023) siang WIB, jumlah korban tewas sudah lebih dari 15.000 orang, 2.992 korban tewas di Suriah dan 12.391 korban tewas di Turki.
Gempa dahsyat kedua terjadi sembilan jam kemudian. Menurut Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), gempa itu bermagnitudo 7,5 di kedalaman 10 km. Pusat gempa sedikit ke utara dari sumber gempa pertama, sekitar 4 km dari kota Celeyke, Kahramanmaras.
Korban tewas dan luka terus bertambah di Suriah dan Turki. Sampai dengan Kamis (9/2/2023) siang WIB, mengutip laporan Al Jazeera, jumlah korban tewas sudah lebih dari 15.000 orang, 2.992 korban tewas di Suriah dan 12.391 korban tewas di Turki.
Ribuan bangunan dan infrastruktur hancur luluh lantak. Musim dingin yang sedang melanda membuat penderitaan warga terdampak di Suriah dan Turki semakin berat.
Berbagai penyaluran bantuan kemanusiaan ke Suriah berlangsung lambat. Ini terutama karena rusaknya berbagai infrastruktur akibat gempa. Perang saudara juga menjadi faktor penghambat penyaluran. Pada saat yang sama, perang proksi antara AS dan Rusia di Suriah menyebabkan penyaluran bantuan menjadi lebih kompleks.
”Saya meminta kepada komunitas internasional, negara-negara Arab, dan PBB untuk segera membantu kami,” kata Obaida Rannoush, seorang sukarelawan kesehatan yang bertugas di perbatasan Bab al-Hawa.
Presiden Suriah Bashar al-Assad telah lama mendesak agar semua bantuan kemanusiaan dikirim melalui jalur pemerintah, termasuk untuk masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang dikuasai oposisi. Hal sama ia serukan kembali dalam hal bantuan kemanusiaan untuk korban gempa.
AS dan negara-negara Barat tidak mau berhubungan langsung dengan pemerintahan Assad di Damaskus.
Namun, AS dan negara-negara Barat tidak mau berhubungan langsung dengan pemerintahan Assad di Damaskus. Alasan normatifnya, mereka khawatir Assad akan menyalahgunakan bantuan tersebut. Oleh sebab itu, AS, misalnya, memilih organisasi mitra di lokasi bencana untuk menyalurkan bantuan.
Di Suriah, kami memiliki mitra kemanusiaan yang didanai AS yang mengoordinasikan bantuan pencarian dan penyelamatan korban,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Selasa (7/2/2023).
Kerumitan pengiriman bantuan juga terjadi karena Damaskus tidak mengakui kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan oleh organisasi non-pemerintah di wilayah barat laut Suriah. ”Sangat sulit, secara logistik dan administratif, untuk mendapat persetujuan dari Damaskus,” kata Natasha Hall, peneliti senior pada CSIS yang berbasis di Washington.
Blinken menambahkan, Pemerintah AS berkomitmen untuk memberikan bantuan bagi warga Suriah yang menjadi korban dalam peristiwa gempa dahsyat. Namun, AS tidak akan berkoordinasi dengan Damaskus dalam hal penyalurannya.
”Saya ingin menekankan di sini bahwa dana ini tentu saja untuk rakyat Suriah, bukan untuk rezim. Itu tidak akan berubah,” kata Blinken.
Pejabat AS dan Uni Eropa menegaskan bahwa gempa tidak akan mengubah kebijakan mereka. Mayoritas wilayah Suriah saat ini berada di bawah kendali Damaskus. Sementara sebagian besar wilayah utara dikendalikan oleh kelompok yang berbeda dan terkadang saling berkonflik satu sama lain.
Masalah utama yang memperumit penyebaran bantuan di Suriah adalah perang dan cara merespons bantuan yang terbagi antara wilayah kekuasaan kelompok pemberontak dan Damaskus.
Wilayah di barat laut secara de facto dikendalikan oleh Turki dan Hayat Tahrir al-Sham, kelompok pemberontak yang memiliki hubungan dengan kelompok teror Al Qaeda. Sementara di timur laut, sebagian besar wilayah dikuasai oleh kelompok Kurdi yang dipimpin AS.
Selama bertahun-tahun, bantuan internasional dialirkan melalui Provinsi Idlib di barat laut yang berbatasan dengan Turki. Namun, karena gempa, wilayah ini juga rusak parah.
”Masalah utama yang memperumit penyebaran bantuan di Suriah adalah perang dan cara merespons bantuan yang terbagi antara wilayah kekuasaan kelompok pemberontak dan Damaskus,” kata Aaron Lund, peneliti Suriah di lembaga Century International, New York.
Selama satu dekade terakhir, Suriah menjadi medan perang proksi antara AS dan Rusia. Dalam perang saudara di negara berpenduduk 21,23 juta jiwa itu, Washington dan Moskwa memiliki agenda yang berbenturan. Alih-alih mengambil jeda demi kemanusiaan, benturan kepentingan ini terus berlanjut pada penyaluran bantuan kemanusiaan setelah gempa.
Sejak 2013, AS memasok dukungan logistik dan militer kepada sejumlah kelompok milisi yang menentang Assad. Sebaliknya, Rusia sejak 2015 memberi dukungan kepada Assad yang lebih dekat dengan Kremlin ketimbang Gedung Putih.
Rusia berkepentingan mendukung Assad antara lain untuk memastikan keberlanjutan pangkalan militernya di Tartus. Pangkalan tersebut merupangan satu-satunya pangkalan militer Rusia di luar negeri. Eksistensinya penting untuk menjaga satu-satunya akses Rusia ke Laut Mediterania.
Kehadiran sekitar 900 tentara AS sejak 2015 di Suriah bagian timur merupakan langkah strategis AS secara geopolitik.
Sementara AS, mengutip laporan DW, berkepentingan menjaga pengaruhnya di Timur Tengah. Suriah menjadi salah satu medannya. Kehadiran sekitar 900 tentara AS sejak 2015 di Suriah bagian timur merupakan langkah strategis AS secara geopolitik.
Lewat cara itu, AS menahan agar Turki tidak menyerang kelompok Kurdi, salah satu aliansi AS di kawasan. Di mata Turki, Kurdi adalah kelompok teroris. AS juga berkepentingan menahan perluasan pengaruh Rusia, Iran, dan rezim Suriah. Bagi AS, ketiganya adalah lawan di panggung politik internasional.
Kepala Bulan Sabit Merah Arab Suriah Khaled Hboubati mengatakan, kelompoknya siap untuk mengirimkan bantuan ke semua wilayah Suriah, termasuk daerah yang tidak berada di bawah kendali pemerintah. Dia menyerukan UE untuk mencabut sanksi terhadap Suriah mengingat kehancuran besar-besaran yang disebabkan oleh gempa bumi.
Konvoi bantuan dan penyelamat dari beberapa negara, utamanya sekutu utama rezim Assad, seperti Rusia, serta Uni Emirat Arab, Irak, Iran, dan Aljazair, telah mendarat di Damaskus. Namun, sanksi memperburuk situasi kemanusiaan yang sudah sulit.
”Tidak ada bahan bakar bahkan untuk mengirim konvoi (bantuan dan penyelamatan). Ini semua karena blokade dan sanksi,” kata Hboubati.
Tidak ada bahan bakar bahkan untuk mengirim konvoi (bantuan dan penyelamatan). Ini semua karena blokade dan sanksi,
Secara teori, operasi bantuan di wilayah yang dikuasai pemerintah tidak boleh dihalangi oleh sanksi karena AS dan UE memiliki pengecualian untuk bantuan kemanusiaan. Namun, di lapangan, kenyataannya berbeda.
Lund mencontohkan soal pemblokiran transfer untuk membayar pemasok barang atau pekerja lokal untuk organisasi kemanusiaan. Hal ini tetap berlaku sebagai konsekuensi kebijakan sanksi AS dan UE. Meski ada pengecualian untuk bantuan kemanusiaan, di lapangan itu terjadi.
Kebijakan sanksi yang diterapkan oleh AS dan UE, menurut Lund, berpotensi untuk menghambat pembangunan kembali infrastruktur yang rusak di wilayah terdampak gempa. Meski demikian, AS bergeming.
Stephen Allen, pimpinan operasi tanggap darurat di lapangan untuk Badan untuk Pembangunan Internasional AS (USAID), mengatakan, sebagian besar kerusakan terjadi di wilayah yang tidak berada di bawah kendali Assad. Untuk menyalurkan bantuan ke wilayah itu, USAID telah bekerja sama dengan mitra lokal. Dia menolak menyebutkan nama kelompok non-pemerintah yang bekerja dengan AS dengan alasan keamanan operasional.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, menyatakan, bekerja sama dengan rezim Assad adalah tindakan kontraproduktif. ”Ironis, bahkan kontraproduktif, bagi kami untuk menjangkau pemerintah yang telah menganiaya rakyatnya selama belasan tahun,” kata Price.
Dia mengatakan, organisasi mitra AS di wilayah yang dikuasai pemerintah akan langsung memberikan bantuan kepada warga yang benar-benar berhak. Tidak perlu ada koordinasi atau arahan dari Damaskus. ”Ini untuk memastikan bahwa bantuan kami tidak dialihkan oleh aktor jahat atau rezim Assad,” ujarnya.
Jauh sebelum peristiwa gempa sekalipun, pengiriman bantuan bagi warga Suriah yang menjadi korban perang saudara sulit dilakukan. Ada tantangan politik dan logistik yang menakutkan.
Tidak mudah mengirimkan bantuan bagi warga Suriah. Tidak hanya saat ini, pascagempa. Namun, jauh sebelum peristiwa gempa sekalipun, pengiriman bantuan bagi warga Suriah yang menjadi korban perang saudara sulit dilakukan. Ada tantangan politik dan logistik yang menakutkan.
Pascagempa, jalan dan infrastruktur lainnya di Turki selatan rusak. Situasi ini telah menghentikan jalur pengiriman bantuan mencapai Suriah utara, wilayah yang telah hancur akibat konflik selama 12 tahun terakhir. AS dan negara-negara Eropa masih menjatuhkan sanksi terhadap pemerintahan Assad. (AP/AFP)