Isu Laut China Selatan dan Myanmar Perlu Jadi Prioritas Keketuaan Indonesia di ASEAN
Stabilitas kawasan, yang dipengaruhi dinamika di Laut China Selatan dan Myanmar, menjadi penentu keberhasilan Indonesia dalam mengejar target keketuaan ASEAN, yakni mewujudkan kawasan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
AFP/ANONYMOUS SOURCE
Dalam foto yang diambil dan diterima dari sumber tanpa nama melalui Facebook, 1 April 2021, ini seorang pengunjuk rasa mengangkat poster bergambar pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi, dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Monywa, wilayah Sagaing, Myanmar.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia yang memegang Keketuaan ASEAN pada tahun 2023 menghadapi tantangan kompleks. Minilateralisme di sekitar kawasan, persaingan kekuatan global, hingga kejahatan terhadap kemanusiaan akan menjadi tantangan yang harus dihadapi di tengah keinginan mengejar pertumbuhan di kawasan.
Hal itu disampaikan Dewi Fortuna Anwar, Profesor Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), saat berbicara pada seminar nasional bertema ”Kajian Prioritas Keketuaan Indonesia di ASEAN dalam Bidang Politik dan Keamanan” di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (8/2/2023). Seminar itu diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan The Habibie Center.
Pembicara lain dalam seminar tersebut yaitu Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto R Suryodipuro, Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, dan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, serta Wakil Indonesia pada Komisi HAM Antarpemeritah ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum.
Dewi mengatakan, untuk menciptakan pertumbuhan di kawasan, negara-negara anggota ASEAN di bawah keketuaan Indonesia harus mengupayakan kestabilan, keamanan, dan perdamaian di wilayah itu. Dalam situasi stabil, keamanan yang terjamin, dan dinamika lingkungan yang bisa diprediksi, menurut dia, ekonomi dan perdagangan bisa berjalan serta akan mendorong pertumbuhan di kawasan.
”Untuk membangun kemakmuran, keamanan kawasan, baik itu di dalam lingkungan ASEAN itu sendiri dan sekelilingnya harus dibangun. Politik luar negeri tidak cash on delivery, transaksional,” kata Dewi.
Menurut dia, upaya Indonesia menakhodai ASEAN tahun ini tidak akan mudah. Dewi mengidentifikasi beberapa situasi, baik internal maupun eksternal, yang harus dihadapi Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN selama beberapa waktu ke depan, antara lain mengenai sikap China yang agresif, tidak hanya di Taiwan, tetapi juga di Laut China Selatan dan kawasan Indo-Pasifik lainnya hingga ke wilayah Pasifik Selatan.
(PHILIPPINE COAST GUARD VIA AP)
Foto yang dikeluarkan Pemerintah Filipina ini memperlihatkan kapal Penjaga Pantai China (kiri) berlayar di dekat kapal Penjaga Pantai Filipina yang tengah berpatroli di segmen Bajo de Masimioc yang berjarak lebih kurang 200 kilometer sebelah barat Provinsi Zambales, Filipina, 2 Maret 2022.
Selain itu, ada rivalitas Amerika Serikat dan China di berbagai arena dan kemudian berpindah ke kawasan, termasuk di Selat Taiwan, Laut China Selatan, hingga Pasifik. Masih ada lagi ketegangan hubungan antara China dengan Jepang, India, dan Australia, serta militerisasi Laut China Selatan.
Dinamika politik dan keamanan di kawasan semakin tidak menentu setelah AS memotori terbentuknya beberapa kerja sama keamanan, yang kerap disebut minilateralisme, untuk membendung sikap dan pengaruh China di kawasan. Keberadaan Quad dan AUKUS di kawasan adalah cara AS dan sekutu-sekutunya membendung pengaruh China yang makin besar di wilayah ini.
Dewi mengatakan, situasi yang dinamis di halaman depan Indonesia dan ASEAN harus menjadi prioritas bagi keketuaan ASEAN tahun ini. Penyelesaian Kode Perilaku (Code of Conduct) di Laut China Selatan seharusnya menjadi prioritas utama tantangan eksternal ASEAN. Kode perilaku akan menjadi pegangan bagi setiap aktor untuk bersikap dan berhubungan dengan negara-negara lain yang juga memiliki kepentingan di kawasan dengan ASEAN sebagai tuan rumah.
Kredibilitas ASEAN
Adapun terkait prioritas internal, Dewi berharap agar permasalahan Myanmar bisa segera diselesaikan. Ketidakmampuan ASEAN menyelesaikan situasi di Myanmar akan melemahkan kredibilitas ASEAN dan mempersulit keinginan para pemimpin organisasi ini mewujudkan komunitas ASEAN.
Menurut Dewi, ada hal yang harus diperhatikan dalam menghadapi persoalan di Myanmar, yaitu membuka kemungkinan penjatuhan sanksi terhadap junta militer Myanmar sebagai hukuman atas pelanggaran Piagam ASEAN dan penyusunan peta jalan jangka panjang untuk mengembalikan demokrasi di negara itu.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Para Menlu ASEAN dan Sekjen ASEAN bersiap meninggalkan panggung setelah sesi foto dalam pembukaan Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN atau ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM) Retreat di Sekretariat ASEAN, Jakarta, Sabtu (4/2/2023).
Yuyun Wahyuningrum mengatakan, selain penunjukan utusan khusus yang sifatnya tetap untuk membantu Indonesia dan ASEAN dalam berkomunikasi dengan junta militer Myanmar, rencana Kemenlu RI untuk melakukan dialog dengan semua pemangku kepentingan patut didukung.
Komunikasi diharapkan tak terbatas pada komunikasi dengan elite politik Myanmar semata. Pola komunikasi juga tidak hanya secara formal, tetapi bisa dilakukan secara informal guna mendorong terciptanya dialog dan membuka peluang bagi dialog nasional.
Hikmahanto Juwana mengatakan, hal penting yang menjadi tantangan bagi keketuaan Indonesia di ASEAN adalah penyelesaian Kode Perilaku di Laut China Selatan. Kode perilaku ini menjadi pegangan bagi negara-negara untuk menghindari insiden antarnegara di Laut China Selatan hingga memastikan keamanan kapal-kapal yang berlayar di perairan itu.
Keinginan ASEAN memiliki kode perilaku sudah menjadi kesepakatan ASEAN dan China sejak 2002. Baru pada 2018, ASEAN-China bersepakat untuk memulai pembahasan kode perilaku itu. Rencana awal, perundingan akan selesai dalam tiga tahun. Pandemi membuat rencana itu tidak terealisasi.
Menurut Hikmahanto, tantangan dalam pembahasan kode perilaku adalah apakah kode perilaku ini bersifat mengikat secara hukum atau tidak, sampai batas mana (wilayah perairan) kode perilaku berlaku, hingga apakah kode perilaku itu juga mengikat bagi negara-negara di luar ASEAN dan China.
(DEPARTMENT OF NATIONAL DEFENSE PAS VIA AP)
Foto yang dikeluarkan Pasukan Pertahanan Nasional Filipina, 9 Juni 2020, ini memperlihatkan sebuah kapal membawa bahan bangunan yang akan digunakan untuk membangun Pulau Thitu, sebuah pulau di Laut Fipilina Barat yang diklaim masuk dalam wilayah teritorial Filipina.
Hikmahanto menyoroti ketidaksolidan negara-negara anggota ASEAN untuk menjalani perundingan secara bersama-sama dengan China dalam sengketa klaim atas Laut China Selatan. Negara-negara anggota ASEAN memilih berunding secara bilateral dengan China. Empat negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam, terlibat sengketa klaim atas Laut China Selatan.
Dalam situasi yang tidak ideal, menurut Hikmahanto, Indonesia harus memastikan bahwa meski ada dinamika di Laut China Selatan, jangan sampai ada konflik terbuka di antara negara-negara yang bersengketa. Indonesia juga harus mendorong dialog dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan dan menjadi honest broker dalam menyelesaikan permasalahan di kawasan.