Berpacu dengan Waktu, Petugas Selamatkan Bayi yang Lahir Saat Gempa Turki
Dua hari setelah gempa, tim SAR Turki dan Suriah berpacu dengan waktu mencari korban yang masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan. Cuaca dingin dan minimnya bantuan membuat korban yang selamat pun masih menderita.
Mesut Hancer, warga kota Kahramanmaras, Turki, tak mau melepaskan tangan putrinya, Irmak (15), yang terbaring tak bernyawa di antara lempengan beton dan untaian besi-besi fondasi yang bengkok. Ia duduk terdiam di atas puing-puing bangunan yang ambruk diguncang gempa bumi bermagnitudo 7,8 di Turki dan Suriah, Senin (6/2/2023).
Hingga Rabu atau dua hari setelah gempa dahsyat itu, lebih dari 9.500 orang tewas. Selama dua hari dua malam, tim pencari dan penyelamat di kedua negara bekerja keras dan berpacu dengan waktu dalam kondisi cuaca sangat dingin untuk mencari korban yang masih terjebak di antara reruntuhan.
Arif Kaan (3) termasuk yang beruntung. Tim penyelamat berhasil menyelamatkan bocah itu dari perangkap di bawah lempengan beton. Selama proses penyelamatannya, saat petugas memotong besi-besi yang membelit, ia diselimuti dengan kain tebal agar tak kedinginan. Ayah Kaan, Ertugrul Kisi, yang sudah diselamatkan sebelumnya, tak kuasa menahan tangis saat putranya berhasil ditarik keluar dan dilarikan ke ambulans.
Baca juga: Derita Rakyat Suriah, dari Perang Saudara dan Sanksi Barat ke Gempa Dahsyat
Bagi para korban yang selamat pun, situasinya sama-sama berisiko. Banyak korban terpaksa berlindung di mana saja asalkan aman dari gempa susulan yang tak kunjung berhenti serta terlindung dari hujan dan salju. Mereka ada di dalam masjid, sekolah, bahkan di halte bus. Agar tubuh tetap hangat, mereka membakar apa saja yang bisa dibakar. Banyak juga yang berlindung di ruang tunggu terminal bandara, tetapi kondisinya sama: tetap kedinginan.
Rasa frustrasi mulai menjalar karena bantuan tak kunjung datang. Banyak korban selamat meminta agar bantuan segera datang. Di kota Gaziantep, semua toko tutup. Tidak ada fasilitas pemanas karena saluran gas diputus untuk menghindari terjadinya ledakan. Selain itu, juga sulit menemukan bahan bakar bensin.
”Kami tidak punya tenda, tidak ada pemanas, tidak ada apa-apa. Anak-anak basah kuyup karena hujan sehingga kedinginan. Kami tidak mati karena kelaparan atau gempa, tetapi kami akan mati kedinginan,” kata Aysan Kurt (27).
Situasi di daerah Suriah utara lebih parah. Sebelum gempa, bangunan rumah sakit dan juga perekonomian di wilayah itu hancur akibat perang saudara yang berkecamuk selama sepuluh tahun. Wilayah tersebut kerap menjadi sasaran pengeboman udara Suriah dan Rusia. Sejak lama warga di wilayah itu sudah kekurangan listrik, bahan bakar, dan air bersih. Gempa pada Senin pagi lalu memperparah situasi itu.
Dilahirkan saat gempa
Di kota Jindayris yang dikuasai kelompok oposisi Suriah, ada secercah kebahagiaan saat tim penyelamat berhasil menyelamatkan bayi perempuan yang menjadi korban di bawah reruntuhan. Namun, kebahagiaan itu berbungkus kesedihan karena ibu sang bayi, Afraa Abu Hadiya, tewas. Tali pusar bayi tersebut masih tertambat pada ibunya.
Lihat juga foto-foto: Bayi Perempuan Ditemukan Selamat di Bawah Reruntuhan Bangunan di Suriah
”Kami mendengar ada suara saat sedang menggali, lalu membersihkan puing-puing di sekitarnya dan menemukan bayi dengan tali pusar utuh. Kami memotongnya, lalu sepupu saya membawanya ke rumah sakit,” kata Khalil al-Suwadi, salah seorang kerabat dari bayi itu.
Kami mendengar ada suara saat sedang menggali, lalu membersihkan puing-puing di sekitarnya dan menemukan bayi dengan tali pusar utuh.
Penyelamatan atas bayi tersebut berlangsung, Senin siang, atau lebih dari 10 jam setelah guncangan gempa. Dr Hani Maarouf, dokter yang merawat bayi itu, memperkirakan Abu Hadiya—sang ibu bayi—pasti masih dalam kondisi sadar saat melahirkan. Maarouf menduga, bayinya lahir beberapa jam setelah ia ditemukan dan dievakuasi.
”Andai sang bayi perempuan itu terlambat (dievakuasi) satu jam atau lebih, ia mungkin tidak tertolong,” ujar Maarouf.
Ramadan Sleiman, kerabat keluarga Abu Hadiya, menuturkan bahwa saat gempa menghantam pada Senin dini hari, Abu Hadiya, suaminya, dan keempat anaknya kemungkinan berupaya lari keluar dari bangunan apartemen. Namun, struktur gedung ambruk. Tubuh mereka ditemukan di pintu masuk apartemen.
”Dia (bayi perempuan) ditemukan di depan kaki ibunya,” ujar Sleiman. ”Setelah debu dan serpihan batu dibersihkan, dia ditemukan selamat.”
Video penyelamatan bayi itu menjadi viral di media sosial. Di dalam rekaman video terlihat seorang laki-laki berlari dari puing-puing bangunan empat lantai yang runtuh sambil menggendong bayi mungil yang badannya penuh debu. Ada laki-laki lain yang berlari membawakan selimut untuk menghangatkan bayi yang baru lahir itu di suhu di bawah nol derajat.
Bayi itu lalu dibawa ke kota terdekat, Afrin, untuk mendapatkan perawatan. Anggota keluarga besarnya yang lain berusaha mengevakuasi jenazah ayah bayi, Abdullah; ibunya, Afraa Abu Hadiya: dan keempat saudara kandung serta bibinya. Hanya bayi itu yang selamat dari keluarga ini dan semuanya akan dimakamkan bersama di kuburan massal, Selasa.
”Kami mengungsi dari Deir Ezzor (kota di timur yang dikuasai pemerintah). Abdullah ini sepupu saya dan saya menikah dengan saudaranya,” kata Suwadi.
Baca juga: Dua Warga Negara Indonesia Menjadi Korban Gempa di Turki
Di dalam inkubator di rumah sakit di Afrin, bayi yang baru lahir itu sudah mendapatkan perawatan. Bagian tubuhnya yang terluka sudah diobati. Tampak perban melilit di tangan kirinya. Dahi dan jari-jarinya masih membiru karena kedinginan. Dokter terus memantau kondisi kesehatannya.
”Sekarang kondisinya sudah stabil. Namun, di sekujur tubuhnya banyak memar. Ia juga mengalami hipotermia karena cuaca yang sangat dingin. Kami harus menghangatkannya dan memberikan kalsium,” kata Maarouf.
Kota Jindayris direbut oleh Turki dan proksi oposisi Suriahnya dalam serangan pada tahun 2018 saat mereka mengusir pasukan Kurdi dari wilayah Afrin. Terputus dari wilayah yang dikuasai pemerintah, kawasan itu sangat bergantung pada bantuan dari Turki. Wilayah tersebut tidak bisa melakukan tanggap darurat yang efektif karena tidak memiliki SDM untuk itu.
Banyak organisasi masyarakat Turki disibukkan dengan upaya penyelamatan di daerah perbatasan sehingga pencarian korban yang selamat di kota-kota Suriah, seperti Jindayris, menjadi tertunda. Menurut kelompok penyelamat, White Helmets, yang beroperasi di daerah yang dikuasai oposisi di Suriah, sekitar 210 bangunan sudah rata dengan tanah, 520 bangunan lainnya sebagian hancur, dan ribuan bangunan lain rusak.
”Kami mengimbau semua organisasi kemanusiaan dan badan internasional untuk memberikan dukungan dan bantuan material. Kita tidak punya banyak waktu lagi. Ratusan orang masih terperangkap di bawah reruntuhan. Setiap detik sangat berarti karena bisa menyelamatkan nyawa,” cuit White Helmets di Twitter.
Bantuan asing
Puluhan negara, termasuk Amerika Serikat, China, dan negara-negara Teluk, sudah berjanji akan membantu korban gempa. Pasokan bantuan mulai berdatangan. Namun, badai musim dingin menambah kesengsaraan karena banyak jalan—beberapa di antaranya rusak karena gempa—hampir tidak dapat dilalui sehingga mengakibatkan kemacetan panjang lalu lintas.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan, sedikitnya 23 juta orang dapat terkena dampak gempa besar di Turki dan Suriah. Mereka menyeru komunitas internasional agar segera mengirimkan bantuan ke daerah bencana.
Bulan Sabit Merah Suriah mengimbau negara-negara Barat untuk mencabut sanksi dan memberikan bantuan ke Suriah. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan AS tidak akan bekerja sama dengan Pemerintah Suriah. ”Dana bantuan ini nanti, tentu saja, untuk rakyat Suriah, bukan untuk rezim,” ujarnya.
Badan-badan bantuan juga meminta Pemerintah Suriah mengizinkan penyeberangan perbatasan dibuka kembali untuk membawa bantuan ke daerah-daerah yang dikuasai kelompok oposisi. Perbatasan antara Turki dan Suriah adalah salah satu zona gempa yang paling aktif di dunia.
Gempa pada Senin lalu itu adalah gempa yang terbesar di Turki sejak 1939 dengan korban tewas mencapai 33.000 orang di Provinsi Erzincan Timur. Pada tahun 1999, gempa bumi bermagnitudo 7,4 menewaskan lebih dari 17.000 orang.
Para ahli sudah sejak lama memperingatkan gempa besar akan bisa menghancurkan Istanbul, kota yang berpenduduk 16 juta jiwa yang banyak tinggal di rumah-rumah tidak layak. (AP/AFP)